Opini  

Sampang, Episentrum Perjuangan Melawan Kolonialisme di Madura

Sekelompok tentara barisan di Madura sedang siaga. (FOTO: Istimewa)
Oleh: Hasani Utsman*

maduraindepth.com – Sampang menjadi episentrum perjuangan melawan kolonialisme di Madura yang datang dari lingkaran santri, kiai, pondok pesantren dan masyarakat secara umum. Penulis berkesimpulan demikian karena jika ditelusuri, ada dua perlawanan penting yang kemudian menjadi inspirasi bagi orang-orang Madura dalam melawan kolonialisme.

Pertama, apa yang telah dilakukan oleh Trunajaya (1649-1680-M) yang memobilisasi orang-orang Madura untuk melawan Mataram dan Belanda yang saling bekerjsama. Seperti disampaikan oleh Sartono Kartodirjo dalam Pengantar Sejarah Indonesia Baru: 1500-1900, perlawanan Trunajaya dilatarbelakangi oleh adanya ideologi religius. Ia telah mengkampanyekan anti-kafir Belanda di Madura. Trunajaya berkeyakinan, pihak kolonial selain akan mengeruk sumber daya alam juga memiliki agenda mengkristenkan Madura.

Kedua, setelah kalahnya Trunajaya, Madura termasuk daerah yang minim pemberontakan rakyat terhadap pihak kolonial secara besar-besaran. Kuntowijoyo dalam Perubahan Sosial dalam Masyarakat Agraris Madura 1850-1940 menyebutkan, hanya ada beberapa pemberontakan saja, seperti pada tahun 1895 yang diketuai oleh seorang Kiai dari Prajjan Sampang. Perlawanan yang sempat meluas sebelum pihak kolonial bertindak represif.

Perlawanan kaum santri dan orang-orang pesantren terhadap pihak kolonial di Madura memang sempat tidak terorganisir sampai pada tanggal 22 Oktober tahun 1945, ketika Hadratussyaikh Kiai Hasyim Asy’ari mengeluarkan Resolusi Jihad berisi fatwa perang melawan Tentara Sekutu. Fatwa yang kemudian banyak memiliki pengaruh terutama dalam organisasi perjuangan orang-orang pesantren di Madura. Di kalangan pesantren di Madura, Kiai As’ad Syamsul Arifin memiliki peran yang sangat penting, ia memang mendapatkan tugas mensosialisasikan Resolusi Jihad di Madura, mengorganisir dan memobilisasi massa dari berbagai pesantren guna dilatih perang sebagai persiapan menghadapi Belanda.

Baca juga:  Membangun Karakter Unggul Bidang Riset

Lingkaran pesantren menanggapi Resolusi Jihad dengan bergabung bersama Hizbullah dan Sabilillah. Pada tanggal 10 November tahun 1945 terjadi perlawanan besar kota di Surabaya. Pesantren di Madura kemudian banyak yang menjadi markas dua pasukan non-reguler tersebut. Tanggal 22 Oktober yang menjadi tanda keluarnya Resolusi Jihad, hari ini diperingati sebagai Hari Santri Nasional, sedangkan tanggal 10 November menjadi Hari Pahlawan Nasional.

Sebelum Hadratussyaikh Kiai Hasyim Asy’ari mengeluarkan Resolusi Jihad, di Sampang Madura, Kiai Prajjan (Kiai Semantri) atau sering juga disebut dengan Kiai Lanceng yang merupakan putra dari Kiai Congkob dari Desa Prajjan Sampang telah menjadi pemimpin langgar keluarga menggantikan saudaranya, yaitu Kiai Bungso. Kiai Semantri banyak dipengaruhi oleh Haji Mustari yang baru saja pulang dari Tanah Suci. Haji Mustari membawa “oleh-oleh” dari kota Makkah, yaitu doktrin religius anti kolonial. Terhitung sejak bulan November tahun 1895, Belanda telah melarang masyarakat Madura mengunjungi Kiai Semantri yang telah mengeluarkan fatwa perang suci melawan kafir kolonial. Kiai Prajjan bersama istrinya dan para pengikutnya kemudian diringkus. Dalam peristiwa itu, 28 orang Madura tewas dan belasan lainnya mengalami luka-luka.

Setelah Proklamasi Kemerdekaan tanggal 17 Agustus tahun 1945, yang dikhawatirkan memang benar terjadi, Belanda melancarakan Agresi Militer II. Terhitung sejak tanggal 6 Oktober tahun 1946 Belanda terus berusaha menguasai pesisir selatan Madura seperti Kamal di Bangkalan, Camplong di Sampang, Tlanakan di Pamekasan dan Prenduan di Sumenep. Pada minggu pertama bulan Agustus tahun 1947, Belanda berhasil menguasai daerah-daerah tersebut. Orang Madura yang aktif berjuang dan siap menyambut Belanda dalam kesatuan tentara reguler dan non non-reguler secara keseluruhan mereka berjumlah 5.700 orang.

Baca juga:  Jumlah Peserta Upacara Peringatan HSN di Sampang Terbesar Kedua di Jatim

Pada awalnya, di Madura akan didirikan kesatuan resimen tapi kemudian menjadi dua resimen. Untuk Sampang dan Bangkalan di bawah resimen V dengan pimpinan Raden Asmorojudo, sedangkan untuk kabupaten Pamekasan dan Sumenep di bawah kendali resimen VI di bawah pimpinan Chandra Hasan. Menurut dokumen-dokumen Belanda yang malaporkan, bahwa invasi Belanda ke Madura itu untuk mengamankan industri garam, selain juga dalam rangka membentuk negara boneka bernama Negara Madura. Para pejuang Madura banyak yang tergabung dalam kesatuan tentara non-reguler seperti Hizbulloh dan Sabilillah.

Semangat perjuangan mereka waktu itu ditopang oleh kepemimpinan para kiai yang kharismatik se-Madura yang bersidang di kota Pamekasan, kemudian menghasilkan keputusan yang menyatakan, bahwa wajib hukumnya bagi setiap orang Islam laki-laki dan perempuan untuk ikut perang suci mempertahankan kemerdekaan dan mengusir penjajah Belanda. Perjuangan rakyat dalam mempertahankan kemerdekaan waktu itu juga didorong oleh motif menegakkan agama Islam. Para ulama berkeyakinan, selama Indonesia masih dijajah Belanda, agama Islam akan sulit tegak dan kokoh di tanah Madura.

Serangan Umum 16 Agustus tahun 1947 dari para pejuang kemerdekaan di Pamekasan terjadi, menewaskan 600 orang Madura. Ketika Madura sudah sepenuhnya dikuasi oleh pihak kolonial. Belanda melancarkan operasi penangkapan terhadap para tokoh pejuang, salah satunya adalah Kiai Abdullah Sajjad yang akhirnya dieksekusi mati setelah dijebak oleh Inlichtingen Velligheids Groep (IVG). Peristiwa yang menjadi tanda kalahnya para pejuang kemerdekaan di Madura secara keseluruhan. Mereka kemudian memilih eksodus ke Jawa melalui Pesisir Selatan Madura guna membantu para pejuang di tanah Jawa.

Baca juga:  Ketua PCNU Sampang : Santri Siaga Jiwa Raga Menjaga Keutuhan NKRI

Yang kemudian menjadi catatan bagi penulis, perlawanan terhadap kolonialisme di Madura memang tidak pernah menang, sejak zaman Trunajaya hingga Agresi Belanda jilid II yang selalu berakhir dengan kekalahan. Tetapi apa artinya kekalahan jika dibandingkan dengan perlawanan terhadap penindasan dan penjajahan sampai titik darah penghabisan? Yang menjadi catatan lain bagi penulis, Sampang sebagai The Epicentrum of Madura bukan menyangkut soal city branding, tetapi dalam sejarahnya berkaitan dengan pusat getaran perlawanan rakyat Madura terhadap kolonialisme yang dimulai dari Sampang. Selamat Hari Santri. Selamat Hari Perlawanan.

*Penulis tinggal di kota Sampang, pemerhati sejarah dan budaya Madura

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

banner auto