Oleh: Holikin, S.Pd.I*
maduraindepth.com – Telah kita jumpai situasi yang sebenarnya tidak diinginkan. Tidak kita tebak sebelumnya. Tidak kita prediksi. Dan begitu tiba-tiba terjadi. Pandemi memaksa merubah tatanan hidup manusia menjadi tidak biasa. Seolah semuanya harus mengalah, menyerah pada virus yang tak kasat ini. Tempat-tempat ibadah mengalah. Kegiatan di sekolah dan pesantren mengalah. Walimah nikah mengalah. Nyaris semuanya.
Merespon kenyataan baru ini pula, Buku Saku Fikih Pandemi dihadirkan. Terkesan latah. Di dalamnya berisi, seperti berdayung sambut akan kondisi yang tak normal seperti saat ini. Seolah semuanya perlu mengalah. Shalat jumat, shalat Idul Fitri, hingga pada pengurusan jenazah korban pandemi. Termasuk juga pada aktivitas ibadah haji. Sekali lagi, semua serba baru, menghadirkan praktek fikih baru, dan tak biasa. Lagi-lagi, demikian itu seakan memaksa mengalah pada pandemi.
Pandemi juga memunculkan situasi yang tak lazim dalam kebudayaan. Sosial perlu diaral. Kebersamaan perlu direnggang. Kontak fisik terisolatif. Tak hanya tak lazim dalam kebudayaan, pandemi juga memunculkan banyak rumor. Tentang data, fakta-fakta dan berita, hingga pada konspirasi. Termasuk juga memunculkan istilah-istilah baru dalam jagad kebahasaan kita. Ada ODP, OTG, PSBB, dan sebagainya. Pula memunculkan dunia baru dalam bernegara. Mulai dari munculnya UU baru, hingga pada banyaknya jumlah penghuni tahanan baru di tengah bebasnya penghuni lama. Pandemi membangkitkan hal-hal baru yang tidak ada di masa sebelumnya.
Ketidaklaziman pula terjadi dalam dunia kerja. Sebagian dipaksa bekerja dari rumah. Sebagian lagi karena pandemi kehilangan pekerjaannya. Di satu sisi, pandemi membuka lapangan kerja baru, profesi baru. Seperti ramainya penjual masker dadakan. Namun, di sisi yang berbeda ada yang kelimpungan untuk sekedar mencari makan. Semua juga berdampak pada ambruknya perekonomian negara. Dari sanalah kata RI-1, bahwa kita harus berdamai dengan virus, menemukan korelasi bahkan patut dibenarkan.
Noval Noah Harari, dkk, dalam bukunya, Wabah, Sains, dan Politik, sedikit menggelitik pikiran saya melalui kalimat singkat ini, “Pandemi seperti memaksa kita tidak berbicara kehidupan setelah kematian…” Ya, kita seolah disibukkan melakukan sesuatu yang nyaris melepaskan identitas diri sebagai manusia; manusia yang beragama, makhluk sosial, dan berbudi. Agaknya, kalimat tersebut sangat pas jika kita tautkan pada satu kenyataan baru ini. Saya contohkan satu saja. Saat daerah saya masih berstatus zona hijau, di masjid saat shalat Jum’at banyak orang merasa enggan berjabatan tangan seusai shalat. Kemudian, saya bertanya perihal kenyataan yang tak biasa ini. Hampir jawabannya, saking seringnya mendengar kalimat “jaga jarak” sehingga kesadaran kita memaksa tidak melakukan itu yang pada masa sebelumnya demikian itu lumrah kita lakukan.
Pandemi memaksa mematikan budaya guyub rukun dan tradisi mulia saling menolong. Malah, sebagian masyarakat seolah merasakan ketakutan yang berlebihan, sehingga memberikan kesan buruk pada siapa saja yang terkena virus. Tak jarang di berbagai daerah, memberikan stigma buruk jenazah korban Covid-19 ini. Sebagian seperti beranggapan kematian akibat virus ini adalah kutukan, sehingga memaksa memblokade daerahnya sendiri dan menolak jenazah Covid-19 dikuburkan di daerahnya.
Padahal kita tidak hidup di masa gelap akan tertutupnya informasi. Juga tidak hidup di masa yang segalanya harus mengalah pada informasi yang datang ala kadarnya. Seutuhnya informasi-informasi itu bisa dengan mudah kita akses sehingga berimplikasi pada minimalnya gesekan buruk dan dis-integrasi. Di titik ini mestinya sains perlu hadir bersamaan dengan khotbah-khotbah keagamaan yang bersih dari hoax dan takhayul. Keduanya mestinya kita hadirkan dengan membawa fungsinya masing-masing.
Sains berfungsi mengatur pemberi kebijakan melakukan dosis-dosis dan sistem protokoler agar masyarakat melakukan ikhtiar jasadiyah, di samping memberikan informasi dengan utuh terkait gejala-gejala dan dampak pandemi dipandang dari sudut medis. Sehingga tidak menimbulkan gejala sosial lebih buruk di tengah-tengah mereka. Sementara khotbah-khotbah keagamaan berfungsi menancapkan satu keyakinan dan spiritual, bahwa mestinya dengan adanya pandemi ini masyarakat lebih erat dalam persaudaraan sehingga mampu melaluinya bersama-sama dengan tabah.
Kesemrawutan informasi di tengah situasi ini melangsungkan satu kenyataan tatanan baru yang lebih tidak menentu. Masyarakat seperti beranggapan, dan bahkan menutup diri dari kejujurannya. Mereka ketika sakit flu, misalnya, enggan ke rumah sakit. Sebab, mereka telah termakan opini, bahkan banyak orang di media sosial ramai-ramai menceritakan pengalamannya. Keluarganya sakit diabetes, tapi di rumah sakit bukan diabetesnya yang diperiksa malah dites Swab Covid-19. Informasi perihal ini perlu direspon dengan sejujurnya dan seadil-adilnya.
Informasi-informasi di atas tidak harus direspon dengan lebih menakutkan lagi. Bahkan, penyebar hoax soal pandemi akan diancam dengan kurungan sekian tahun. Demikian tidak patut kita hadirkan di tengah situasi “mencekam” ini, dan bahkan justru semakin menambah rasa takut di tengah masyarakat kita.
Zizek dalam buku barunya, Pandemic, menyatakan kira-kira begini, “Pandemi ini tidak abadi, yang abadi catatan-catatan sosial buruk kita selepas ini…” Kita bisa saja hidup normal kembali, namun kemarin-kemarin yang saling menutup jalan tanpa ada alasan yang jelas, saling curiga dan marah-marah, menganggap semuanya adalah kutukan sampai direkam dan videonya diupload di media sosial, atau yang kemarin jenazah-jenazah yang dikubur tanpa pelayat dan keluarga yang mengantarnya, jejak-jejak digital berseliwernya data-data hoax, semua adalah abadi dan terus tertanam dalam benak dan hati.
Sejatinya, kita perlu menahan diri agar tidak gegabah bertindak yang bukan-bukan. Para stakeholder dan oknom-oknom terkait perlu jujur dan adil menyampaikan semuanya. Pandemi mau tidak mau telah terjadi, namun yang maha penting dari semuanya adalah kita tetap menormalkan hubungan bahkan lebih erat lagi agar semuanya dapat dengan mudah melalui masa-masa sulit ini bersama-sama.
* Guru dan penulis asal Pulau Mandangin Sampang.