Opini  

Ramadhan dan Kultur Konsumerisme di Tengah Pandemi

Ramadhan
Penulis, Holikin tinggal di Pulau Mandangin.
Oleh: Holikin, S.Pd.I*

maduraindepth.com – Syekh Majdi al-Hilali menulis dua kitab yang berjudul Kaifa Nuhyi Qulubana fi Ramadhan dan Hatta Laa Nakhsyuru fi Ramadhan. Jika kita terjemahkan dari judulnya saja masing-masing dapat kita simpulkan bahwa isinya bertemakan Ramadhan. Yang pertama, bagaimana cara menyalakan lentera hati di bulan Ramadhan, dan yang kedua, agar kita tidak mengalami kerugian di bulan Ramadhan.

Dua kitab tersebut disajikan dengan bahasa yang sungguh bernash, dan menurut pantauan saya memang ditulis dengan resapan jiwa yang cukup dalam. Keduanya tersebut nyaris purna memberi suguhan keindahan untuk kita yang merindu taman surga dengan membelai hangat lembutnya aroma Ramadhan. Saya tidak mau terjebak terlalu dalam mengomentari isi kitab tersebut, tanpa memberikan sesuatu yang urgen yang tertuang di dalamnya. Satu poin penting, kedua kitab yang ditulis abad kontemporer itu, cukup melimpah menyajikan kritik, tentu kritik yang membangun (mubanna) akan lelaku masyarakat kita yang hanya memoles lahiriyah dengan hal-hal yang sia-sia.

Nyaris, masyarakat kita seperti memandang, bahwa Ramadhan hanya sebatas rutinitas tahunan. Sehingga seperti terekam dalam benak komunal, Ramadhan ibarat pesta ulang tahun yang tidak memberikan refleksi kebaikan di sisa sebelas bulan berikutnya. Terkesan memvonis, akan tetapi begitulah faktanya.

Budaya hedon masyarakat kita memandang semua hal dengan kacamata konsumerisme, tak terkecuali di bulan suci Ramadhan. Merebaknya wabah virus di berbagai daerah tidak menyurutkan laju budaya hedon tersebut. Kita bisa memperhatikan kurva pergerakan pasar online yang dari hari ke hari di bulan ini semakin naik, meski secara fisikly pasar-pasar offline melakukan penutupan sementara.

Baca juga:  Jelang H-1 Ramadhan, Harga Bahan Pokok di Sumenep Melambung Tinggi

Tempo hari, tetangga sebelah rumah berujar begini. Katanya, bulan Ramadhan pengeluaran belanja bukannya turun malah semakin naik. Kalimat tersebut turut dibenarkan orang-orang sebelahnya. Kemudian katanya, kita tidak cukup berbuka dengan nasi dan air putih, akan tetapi perlu kulak, es dan jus buah, dan sebagainya. Ditambah lagi dengan belanja nanti menjelang hari raya.

Dapat dipastikan, demikian itu tidak hanya terjadi pada satu dua orang, namun hampir semua orang. Mengapa terjadi?

Ramadhan menurut kaum kapital tak lebih hanyalah momentum emas mendulang emas. Dualisme bisnis antara insan media dan pelaku usaha telah membentuk ragam citra yang mencipta sakralitas Ramadhan sebatas budaya konsumerisme masyarakat luas. Ini cukup jelimet memahaminya. Pendeknya, ada distorsi nilai yang sangat akut, dari sakral (takwa) jatuh menjadi profan.

Bayangkan, di televisi ada iklan elektronik dengan peran tunggal artis kondang, ia mencipta propaganda begini, “Ramadhan lebih berarti dengan bla bla bla (produk disamarkan).” Atau ada alagi, “Moment Ramadhan, saatnya berbuka dengan bla bla bla (produk disamarkan).” Duet seksi antara pelaku media dan pengusaha berhasil mencipta kultur konsumerisme ke tengah-tengah masyarakat kita.

Ada kesan terbalik dari sebuah kata “meramaikan syiar ramadhan”. Pertama, subjektifitas media. Apa yang dapat menghasilkan materi yang melimpah, maka di sana adalah lahan yang paling basah. Momentum Ramadhan juga disadari oleh pelaku media sebagai input mendulang materi. Maka, materialisasi Ramadhan jelas terasa bau sedapnya bagi mereka. Dan kesempatan ini tidak mereka abaikan begitu saja.

Baca juga:  Lebaran Ketupat, Antara Budaya dan Agama

Kedua, konsumerisme masyarakat. Puasa siang hari penuh, tidak berarti kantong tidak terkuras. Apalagi saat-saat menjelang lebaran. Pelaku usaha yang tak lain adalah kaum kapital, menyadari betul akan hal ini. Untuknya maka, sering kita jumpai sepanduk-sepanduk gede di mall-mall yang juga gede, atau di zaman digital seperti saat ini, terpampang dengan begitu menarik di sepetak layar android sebuah tatanan bahasa dengan selogan Ramadhan sebagai penarik konsumen. Apa coba, jika bukan Ramadhan menjadi sebuah trap (jebakan) kapitalisasi akan konsumerisme masyarakat yang telah mengakar dan membudaya.

Ketiga, politisasi kaum elit. Ramadhan kerap dijadikan alat politik yang paling bahenol. Taktik ini tak jarang kita jumpai di tengah-tengah para pelaku politik. Maka, sering kita dengar sebuah adagium “Bukber (buka bersama) politik”, “Zakat politik”, “Sembako murah politik”, dan seterusnya. Barangkali Ramadhan tahun ini tidak begitu kentara lantaran tidak berhadapan dengan musim politik. Namun, pola semacam ini akan sangat terasa tatkala saatnya tiba, dan buktinya sudah banyak terjadi di tahun-tahun sebelumnya.

Ramadhan yang seharusnya kita petik sebagai pelajaran berharga akan nilai-nilai ruhiyah kita, atau nilai-nilai lahiriyah yang berkorelasi dengan nilai ruhiyah seperti silaturahmi dan sebagainya. Mestinya, demikian ini lebih membudaya di bulan penuh berkah ini. Apalagi saat musibah pandemik ini, banyak di sekitar kita lebih membutuhkan uluran tangan. Bukan malah mempertajam keinginan (tamak) akan hal-hal yang berbau materi, kemudian meladeni hasrat nafsu pribadi yang tak pernah berkesudahan.

Baca juga:  Omnibus Law di Indonesia Untuk Siapa?

Sebab, puncak takwa dalam agenda wajib ibadah puasa sebagaimana tersirat dalam surat al-Baqarah ayat 183, tak melulu terikat pada diri sendiri. Takwa selalu searus dengan keimananan, sebagaimana definisinya adalah membenarkan dengan hati lalu diaplikasikan dengan gerakan tubuh. Ia tak hanya mengendap dan bersarang dalam jiwa masing-masing orang, namun diperlukan gerakan nyata melalui raga. Termasuk meringankan beban sesama, terlebih kepada mereka yang terkena dampak pandemi. (*)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

banner auto