Opini  

Lebaran Ketupat, Antara Budaya dan Agama

Ketupat
Ketupat. (Foto: Istimewa)
Oleh: Holikin, S.Pd.I*

maduraindepth.com – “Ketika kaffah menjadi kupat kemudian berubah wujud menjadi ketupat, maka kalung-kalung makanan menjadi prioritas dan generasi brutal menjadi mayoritas.” (Anoname)

Dulu sekali, ada salah seorang yang bertanya kepada saya, “Apa status hukum lebaran ketupat menurut pandangan Islam?”

banner 728x90

Di daerah saya, tujuh hari selepas Idul Fitri hampir seratus persen masyarakat membuat ketupat dari helaian janur kuning (daun kelapa yang masih muda) yang dibentuk menyerupai kubus kemudian di dalamnya diisi beras. Lalu, memasaknya, yang selanjutnya (biasanya) bikin rujakan (bikin rujak), dan aneka masakan lainnya. Kemudian, disantap ramai-ramai bersama keluarga besar atau sanak kerabat yang lain. Ketupat, di daerah saya (Madura) dikenal dengan sebutan topa’ atau lontong.

Ketupat, dalam istilah Jawa dikenal dengan nama kupat. Menurut salah seorang budayawan, kata kupat berasal (serapan) dari bahasa Arab, yaitu kafat atau kaffah, yang maknanya adalah menyeluruh atau totalitas. Demikian dapat dilihat dalam ayat, “Udkhulu fi al silmi kaffah…” (masuklah Islam secara menyeluruh atau totalitas).

Lebaran ketupat merupakan inisiasi Sunan Kalijaga saat awal-awal penyebaran Islam di Nusantara. Ia dibuat sebagai transformasi dari budaya Jawa Hindu kuno atau masyarakat animis ke dalam tradisi Islam. Seperti biasanya, dalam khasanah dakwah Islam ala Wali Songo, beliau tidak menghilangkan secara total budaya di luar Islam, namun diasimilasikan ke dalam formula baru yang sesuai dengan subtansi ajaran-ajaran Islam. Demikian rasanya masuk dalam terma, “Al-akhdu bi jadidi al-ashlah” (mengambil sesuatu yang baru yang dianggap memiliki nilai-nilai yang jauh lebih baik).

Baca juga:  Belajar dari Kulon Progo

Budaya tersebut diciptakan, salah satu fungsinya adalah biasanya, setelah hari raya Idul Fitri banyak kaum hawa melaksanakan puasa untuk menggantikan (qadha’) selama uzur puasa pada bulan Ramadhan. Pelaksanaan lebaran ketupat ini satu minggu atau tujuh hari setelah hari raya Idul Fitri. Sebabnya adalah, karena lumrahnya (fi al ghalib) para kaum hawa (muslimat) mengalami menstruasi (haidl) selama satu minggu (tujuh atau enam hari).

Selain itu, tradisi lebaran Ketupat juga memiliki fungsi perayaan atau seremoni bagi kaum Muslimin yang menunaikan puasa Syawal. Sebab dalam banyak hadits, ibadah puasa tujuh hari di bulan Syawal (mayoritas melaksanakannnya selepas Idul Fitri) memiliki keistimewaan (fadhilah) yang sangat melimpah. Maka, lebaran Ketupat hadir sebagai bentuk penghormatan teruntuk mereka yang menjalankan puasa tersebut. Kemudian, dari sanalah lebaran Ketupat lahir sebagai kultur budaya Nusantara yang mengikat hingga masa kini.

Ketupat sarat akan makna filosofis, di antaranya adalah terdapat dalam empat sudut belah ketupat yang sama jumlahnya dengan “arkanu al-hamdi” (rukun memuji), yaitu hamdun qadimun li qadimin (Allah memuji diriNya), hamdun qadimun li haditsin (Allah memuji makhlukNya), hamdun haditsun li qadimin (makhluk memuji Allah), dan hamdun haditsin li haditsin (makhluk memuji makhluk). Semua merupakan bentuk dari rasa syukur umat manusia atas limpahan rahmat dariNya yang telah diterimanya.

Baca juga:  Harakiri, Dekonstruksi atas Asumsi Keabadian

Lebaran ketupat bagian dari produk budaya. Jelas, yang namanya produk budaya bukan sesuatu yang mesti harus ada. Ia lahir dari rahim budaya, bukan berasal dari ajaran agama yang qath’i (pasti) dan tidak dapat ditawar-tawar lagi. Namun, meski begitu, ia ada dibentuk dari sesuatu yang memiliki koneksasi dengan ajaran agama. Memoles wajah tradisi leluhur yang kontra dengan nilai-nilai suci agama Islam, menuju tradisi yang berkesesuaian dengan Islam. Dari sanalah kemudian lebaran Ketupat berakar dan membudaya hingga ini masa.

Jika ditanya hukumnya, patut kita pahami sebuah qaidah fiqhiyah, “Al ‘adatu muhakkamatun..” (adat kebiasaan atau tradisi adalah dapat dijadikan dasar hukum). Lebaran Ketupat status hukumnya mubah (boleh kita laksanakan), dan bisa juga bernilai sunah manakala demikian itu kita isi dengan ragam aktifitas kesunahan yang Nabi Saw ajarkan, seperti bersedekah, meramaikan syi’ar islam, silaturahmi, dan semacamnya, atau seperti di pesantren saya (Pramian) lebaran Ketupat diisi dengan shalat Dhuha berjamaah di Masjid. Sebab, Islam fis a fis dengan budaya, selama tidak menyalahi esensi Islam itu sendiri. (*)

*) Guru dan penulis asal Pulau Mandangin Sampang.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *