Opini  

Urgensi Budaya “Ase-Bherse” Menjelang Bulan Ramadhan

Ramadhan
Holikin
Oleh: Holikin, S.Pd.I

maduraindepth.com – Ramadhan tahun ini sudah sekian kalinya penulis tanpa orang tua (ayah dan ibu). Beliau berdua meninggalkan kami lebih awal (semoga Allah SWT senantiasa merahmati mereka berdua. Amin). Namun, aroma tradisi menjelang bulan Ramadhan peninggalan beliau seperti masih terasa bahkan tetap berlangsung hingga kini.

Menjelang bulan suci Ramadhan, keluarga kami memiliki kebiasaan yang bisa dibilang unik. Yaitu, membersihkan semua prabot dapur, mengecat rumah, hingga mencuci semua pakaian, dan membersihkan lingkungan sekitar. Semua dilakukan dengan niat menyambut datangnya bulan suci Ramadhan.

banner 728x90

Kebiasaan semacam itu, konon sering juga dilakukan oleh atau ada sejak leluhur kami sebelumnya. Demikian, terus dipertahankan oleh orang tua kami, hingga ke generasi kami. Dan rupanya kebiasaan atau tradisi semacam itu juga dilakukan oleh hampir semua penduduk di lingkungan sekitar kami. Seolah ada yang mengomando, semua masyarakat melakukan hal itu persis satu minggu pra-Ramadhan.

Tradisi “ase-bherse” (bersih-bersih) menjelang Ramadhan tersebut, memiliki nilai edukasi tinggi selain manfaat yang melimpah. Orang tua kami, seperti sedang memberikan petuah tentang betapa pentingnya menjaga lingkungan. Kita tahu, pengajaran tentang kebersihan dan keindahan lingkungan sesuatu yang amat ditekankan dalam Islam. Hingga Nabi SAW mengkaitkan perihal itu dengan agama dan keimanan melalui dua haditsnya yang masyhur: “Buniya al-din ‘ala al-nadhafah” (agama dibangun atas kebersihan) dan “Al-nadhafatu min al-iman” (kebersihan bagian dari iman). Dimana akhir-akhir ini persoalan lingkungan menjadi perkara pelik yang tak pernah tuntas terselesaikan. Itu yang pertama.

Baca juga:  Sebuah Dialog Tentang Rasa

Yang kedua, bersih-bersih menjelang Ramadhan memiliki dimensi batiniyah. Bersih-bersih lingkungan rumah yang secara fisik berarti membersihkan lahiriyah tersebut, sejatinya sedang memberikan tuntunan agar secara bersamaan kita senantiasa membeningkan fikiran dan hati. Mensucikan hati dari sifat-sifat radzail (tercela) seperti iri, dengki, takabur, ingin dipuji, merasa paling benar, dan sebagainya sangat dianjurkan oleh Nabi. Sebab, kebeningan hati merupakan puncak cemerlang akan kebeningan seluruh tubuh lainnya. Nabi SAW bersabda, “Terdapat segumpal daging dalam dada manusia, yang mana jika segumpal daging itu baik maka baik seluruhnya, jika buruk maka buruk pulalah seluruhnya. Ketahuilah, ia adalah hati.”

Ketiga, melakukan “ase-bherse” secara berjama’ah di lingkungan keluarga, memiliki indikasi akan betapa pentingnya sebuah kebersamaan, persatuan, dan kerukunan. Pelajaran ini sangat penting lagi berharga. Orang tua, dengan tidak langsung menciptakan harmoni di antara sanak famili. Di samping itu, juga mengajarkan akan pentingnya budaya gotong royong, serta dengan secara nyata menghadirkan manfaat kalimat ringan sama dijinjing berat sama dipikul, yang sebelumnya hanya berujud sebatas selogan.
Keempat, tarhib (penyambutan) dengan mengadakan kegiatan terpuji semacam itu merupakan satu bentuk ekspresi kebahagiaan akan datangnya bulan yang mulia. Demikian, jelas bernilai mulia pula. Nabi SAW bersabda, “Barangsiapa yang merasa bahagia akan datangnya bulan Ramadhan, maka Allah haramkan jasadnya masuk ke dalam api neraka.”

Baca juga:  Sekilas tentang Desa Ombul

Kelima, budaya “ase-bherse” menjelang Ramadhan memiliki korelasi dengan silaturahmi. Sebagaimana kita tahu bahwa silaturahmi sangat Nabi tekankan. Banyak hadits Nabi SAW nyatakan akan pentingnya silaturahmi, salah satunya berbunyi, “Barangsiapa yang ingin diluaskan rezekinya dan dipanjangkan umurnya, hendaknya ia bersilaturahmi.” Membersihkan rumah dan lingkungan sekitarnya merupakan bentuk lain dari kesanggupan pemiliknya menerima kunjungan sanak kerabat atau menjalin hubungan antar sesama (silaturahim), baik yang dekat maupun jauh.

Jelas, sebuah keniscayaan budaya tersebut tetap terus dipertahankan, agar selalu eksis dan tidak punah dimakan zaman. Islam hadir tidak untuk memberangus budaya leluhur yang ada. Justru, islam memiliki karakter yang mampu beradaptasi dengan budaya. Harmonisasi agama dan budaya perlu kita hadirkan ke dalam jantung kehidupan kita sekaligus perlunya berjalan beriringan membawa sinergi yang sama.

Budaya perlu kita afiliasikan ke dalam format yang berkesesuaian dengan agama jika prakteknya bertabrakan dengan pokok-pokok agama, dengan tidak memberangusnya secara revolusioner. Budaya-budaya jahiliyah yang lahir sebelum islam tidak Nabi berangus total semacam tradisi anak angkat, contohnya. Demikian, salah satu bukti akan benarnya diktum yang dipaparkan di atas.

Dan lagi, kadang budaya yang lahir di tengah-tengah masyarakat lampau merupakan sebuah karya yang telah terkontaminasi oleh semangat agama. Rasanya, kenyataan demikian itu salah satu contohnya adalah budaya “ase-bherse” yang telah dijelaskan di atas. (*)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *