Oleh: Holikin, S.Pd.I*
maduraindepth.com – Pada pertengahan bulan Sya’ban tahun lalu, saya sempat menulis status di akun Facebook saya mengenai perbedaan pendapat di kalangan ulama terkait shalat Nisfu Sya’ban yang rakaatnya cukup melimpah itu. Penekanan penting dalam status (tulisan) saya itu, yaitu pendapat Imam Nawawi yang terangkum dalam kitabnya, Al-Majmu’ Syarhu al-Muhazzab, yang mengemukakan bahwa shalat tersebut hukumnya bid’ah.
Pada hakikatnya, tujuan sebenarnya tulisan saya itu tidak sedang memantik perdebatan, apalagi untuk mendulang sentimen baru di tengah-tengah masyarakat yang sedang betapa terpusatnya segala upayanya melawan wabah virus ini. Namun, semua dilakukan, ditulis, berdasarkan karena ada salah seorang penanya yang kebetulan itu teman lama saya. Ia bertanya perihal status hukum shalat itu, tentu saya jawab sesuai kemampuan saya bedasarkan pada argumen terkuat yang telah menjadi konsensus ulama fiqhiyah yang mu’tabarah.
Alih-alih menjadi sesuatu yang mencerahkan, demikian malah menjadi jarak semakin renggangnya sebuah hubungan. Alasan dan niat baik, begitu sulitnya mendapatkan perhatian yang baik pula. Masyarakat kita seolah mengalami traumatik yang begitu dalam akan kata “bid’ah” atau yang semakna dengannya. Seolah-olah kata bid’ah tak pernah ditemukan dalam khazanah fiqih kita. Padahal, kata tersebut begitu melimpah kita jumpai dalam literatur ulama kita, baik klasik maupun kontemporer.
Memandang respons yang tidak mengenakkan itu, saya sebenarnya merasa bersalah. Persoalan furu’iyah (cabang hukum) semacam ini tidak perlu kita angkat tinggi-tinggi. Malah, menurut saya, ini bukanlah sesuatu yang urgen. Yang terpenting dari semuanya adalah nilai-nilai kemanusiaan berupa silaturahmi, ikatan atau hubungan baik antarsesama, dan persatuan.
Kita (saya, khususnya) semakin menyadari, betapa kita terperosok begitu jauh ke dalam bingkai perbedaan yang ujungnya menjadi perpecahan. Saya teringat akan pesan Al-Ghazali dalam kitabnya, Ihya Ulumidin, puluhan tahun lalu, “Umat ini, akhir-akhir ini begitu sibuk pada urusan-urusan polemik dan perdebatan kusir, berbangga-bangga dalam forum diskusi, dan semacamnya, padahal bukan untuk itu ilmu diturunkan.”
Dan, dalam kasus yang saya alami tahun lalu itu, semakin menguatkan akan kebenaran kalam Syekh Abdul Qadir al-Jailani, “Janganlah kamu terperangkap dalam jerat perbedaan. Sebab, perbedaan kadang menjadi sebab akan perpecahan (lianna al-ikhtilafa sababu al-firaq).”
Diskursus soal nisfu Sya’ban (pertengahan bulan Sya’ban) termasuk juga hal-hal yang berkaitan dengan kultur dan spiritual yang berhubungan dengannya, memang terdapat ragam ikhtilaf di tengah-tengah cerdik pandai kita. Ikhtilaf seputar itu sengaja dihadirkan dengan tujuan meneguhkan keyakinan betapa kayanya khazanah keilmuan yang umat ini miliki. Sebagaimana kita tahu, bahwa ikhtilaf adalah bentuk lain dari kasih sayang (al-ikhtilafu rahmatun). Sedangkan kasih sayang fitrahnya jelas menyatukan.
Jamak disadari, persatuan kita akhir-akhir ini mengalami keterbengkalaian. Perbedaan baju seragam dan almamater, tak ayal menjadikan perpecahan. Apalagi perbedaan pilihan politik. Semua, menjadi alasan diri manusia hilang status makhluk sosialnya dan menjadi individual dan nafsi-nafsi.
Kenyataan semacam ini, diperparah dengan sikap saling melempar tuduhan dan sematan. Yang satu disematkan label “liberal” dan satunya disematkan label “radikal”, bahkan ahlissunah, ahlil bid’ah, hingga kafir, dan sebagainya, menjadi model pembeda yang gampang beredar. Umat ini dipecah atau diserak bagai timur dan barat. Hal kecil, teramat sering menjadi pemantik perkelahian verbal bahkan fisik.
Di tengah masyarakat yang gampang terpantik ini, kita tidak butuh pemampangan narasi-narasi furu’iyah terlalu melebar semacam kasus yang saya alami tahun lalu itu. Penjelasan apapun di hadapan yang kontra, tetaplah akan dipandang sebuah pembeda yang nantinya mengerucut pada sikap disintegrasi dan disinternasi. Masyarakat kita, senyatanya belum terlalu dewasa menyikapi perbedaan lama semacam ini. Apalagi, demikian itu menyangkut pada pelabelan hukum yang dengan eksplisit disebutkan kata bid’ah. Tak pelak, banyak kita jumpai di media sosial, antartokoh saling melempar jawaban dan disambut euforia perpecahan di tengah pengikut awam.
Semuanya patut untuk meredam. Hukum yang statusnya furu’iyah, pandanglah ia sebagai kelas kedua yang masing-masing orang punya argumentasinya. Dari sana, perlu kita bentangkan kesadaran, bahwa semuanya memiliki dalil kebenaran yang diyakini. Jauh dan sangat jauh lebih penting dari segalanya, adalah persatuan. Kesadaran akan pentingnya sebuah persatuan, di tengah ragamnya perbedaan ini.
Bagi yang menunaikan ibadah di malam pembaruan buku catatan amal ini, panjatkan doa dan harapan agar persatuan tetap terjaga selain ketiga harapan selepas pembacaan surat Yasin itu. Bagi yang enggan, tetap wujudkan persatuan dan toleransi di tengah perbedaan ini. Sebab, perbedaan di tengah-tengah bangsa ini, umat ini, tak lebih hanyalah seutas rambut. Dan, sisanya yang banyak itu merupakan persamaan yang layak untuk kita jadikan alasan untuk selalu dan tetap bersatu. (*)
* Guru dan Penulis asal Pulau Madangin Sampang.