Oleh: Holikin, S.Pd.I
maduraindepth.com – Muasal kata “sahur” diambil dari kata “sahar”. Dalam bahasa Arab, kata tersebut memiliki makna, akhir malam atau waktu menjelang terbitnya fajar (subuh). Sementara pengertian Sahur secara istilah yaitu makanan dan atau minuman yang dikonsumsi pada waktu sahur.
Nabi Muhammad SAW memerintah kita agar berpuasa tanpa meninggalkan sahur, melalui sabdanya “Barang siapa yang mau berpuasa hendaklah bersantap sahur dengan (mengkonsumsi) sesuatu.” (HR. Ibnu Abi Syaibah, Abu Ya’la dan Al-Bazzar).
Bahkan meminum seteguk air untuk sahur saja akan memberikan pahala bagi kita, sebagaimana sabdanya, “Makan sahur adalah barakah, maka janganlah kalian meninggalkannya meskipun salah seorang diantara kalian hanya minum seteguk air.” (HR .Ahmad), dan sabdanya yang lain, “Sahurlah kalian, karena sesungguhnya dalam sahur terdapat barakah.” (Muttafaq ‘alaih).
Selanjutnya, Nabi SAW memberikan pelabelan sunah bagi seseorang yang mengakhiri sahur. Mengakhiri bersantap sahur ini satu bukti lagi akan kasih sayang Islam terhadap umat manusia (kaum muslimin) yang menjalankan ibadah puasa, agar tidak merasa berat menjalankannya. Seirama dengan bukti ini, yaitu disunahkannya mempercepat berbuka puasa tatkala waktu berbuka benar-benar tiba.
Adapun jarak waktu sahur dan azan shalat subuh sesuai tuntunan Nabi, yaitu sekitar (durasi) membaca lima puluh ayat. Demikian penjelasan Nabi SAW dalam riwayat Bukhari dan Muslim. Dari hadis ini, maka muncullah istilah “imsak”, yaitu menahan dari sesuatu yang membatalkan puasa. Terma imsak ini juga memunculkan ragam khilaf (perbedaan) di tengah cerdik pandai kita. Diantaranya terkait dengan hukum seputar makan dan minum setelah waktu imsak tersebut.
Bersantap sahur di bulan puasa juga memunculkan ragam tradisi dan budaya. Secara teknis, Nabi SAW tidak memberikan tuntunan pasti perihal ajakan kolosal atau penanda sahur agar masyarakat bangun dari tidur kemudian melaksanakan santap sahur. Demikian, berbeda dengan perihal ajakan atau penanda shalat. Nabi SAW memberikan tuntunan agar mengumandangkan azan sebagai tanda tibanya waktu shalat dan iqamat sebagai tanda shalat segera didirikan. Dengan begitu, teknis ajakan bersantap sahur diberikan ruang kebebasan, asal tidak melabrak hukum lain yang telah Islam gariskan. Dan yang paling penting, pokok dasar adanya “sahur” memiliki tuntunan langsung dari Nabi, sementara teknis penyelenggaraannya dikembalikan pada kesepakatan umum di masing-masing komponen masyarakat.
Dari sana, kemudian lahirlah bacaan tarhim sahur, kemudian budaya daul atau daur (yang berarti saur atau sahur), dan atau tradisi yang baru-baru ini berkembang, yaitu berupa ajakan bersantap sahur dengan menggunakan diksi-diksi yang lucu.
Ajakan sahur dengan diksi-diksi kocak semacam itu dipandang perlu di tengah masyarakat yang antusiasnya terhadap ritual keagamaan mengalami pasang surut. Apalagi bagi anak-anak yang baru belajar menjalankan ibadah puasa, yang mana orang tuanya kadang merasa berat membangunkan mereka bersantap sahur. Perihal ini, diakui oleh salah seorang teman yang anaknya susah sekali bangun sahur. Semenjak adanya ajakan sahur kocak itu, kerja kerasnya membangunkan putra-putrinya menjadi mudah. “Ajakan sahur kocak yang semacam itu cukup membantu. Anak saya cepat melek dan tertawa mendengarnya,” tukasnya.
Fenomena ajakan sahur lucu yang baru-baru ini viral seperti memiliki daya tarik tersendiri. Terjadi di salah satu daerah kemudian tersebar dan banyak yang mengikuti jejaknya. Memang, hal-hal lucu tidak bisa dipisahkan dengan budaya nusantara, apalagi dalam kultur masyarakat Islam banyak dijumpai tokoh-tokoh humoris, seperti Nasrudin Hoja, Syekh Bahlul, atau yang paling terkenal, yaitu Abu Nawas, dan sebagainya.
Sesuatu yang lucu, diduga lahir dari rasa superioritas terhadap objek lain yang menjadi bahan kelucuan. Baik karena objeknya itu berhasil ia tipu, maupun karena objek kelucuannya sukses melakukan sesuatu yang memperlihatkan kebodohan, kelemahan, dan atau hal-hal lain seperti suara atau bunyi-bunyian yang menampilkan kelucuan.
Dari sisi fisiologis, hal lucu menurut sementara pakar mengaktifkan berbagai bagian dalam otak. Kata mereka, bagian otak yang bereaksi terhadap lelucon adalah medial ventral pefrontal cortex, dimana bagian ini turut berperan dalam perkembangan kognitif, kepribadian, dan sosial.
Uraian tentang kelucuan, pernah terjadi pada Nabi Sulaiman yang tertawa mendengar pimpinan sekelompok semut mengajak anggotanya untuk segera masuk persembunyian dengan alasan: “Jangan sampai Sulaiman dan tentaranya menggilas mereka (semut) tanpa sengaja.” Seketika itu nabi Sulaiman tertawa. Demikian itu tersirat dalam Al-Quran surat al-Naml. Tawa Nabi Sulaiman lahir dari sikap atau reaksi sejenis binatang kecil. Tawa ini adalah pertanda rasa puas atas aneka nikmat Allah yang beliau terima disertai harapan agar dianugerahi kemampuan untuk senantiasa mensyukurinya. Untuknya Nabi Sulaiman berkata, “Hadza min fadhli rabbi” (ini merupakan anugerah dari Tuhanku).
Al-hasil, sentuhan kocak mengenai ajakan bersantap sahur selain dari karakter humoris tidak dapat dipisahkan dari budaya dan luluhur kita, ia juga memberikan nuansa berbeda (kebahagiaan /kegembiraan) bagi siapa saja yang menjalankan ibadah puasa. Dimana kita tahu, ibadah puasa merupakan ibadah wajib yang terberat kedua setelah ibadah haji, maka seruan-seruan lucu menjelang santap sahur sebagai tonggak kekuatan menjalankan puasa, seperti keharusan adanya. (*)
* Guru dan penulis asal Pulau Mandangin Sampang.