Oleh: Nor Faisal
maduraindepth.com – Para pendiri Republik Indonesia secara tegas menyakini bahwa pembentukan Republik Indonesia harus diilhami oleh sebuah negara yang berdasarkan hukum (rechtstaat). Artinya, Indonesia bukan negara yang berdasarkan kekuatan (machtstaat).
Hal di atas dinyatakan secara tegas di dalam Pasal 1 ayat (3) Undang – Undang Dasar 1945 yang berbunyi, “Negara Indonesia adalah Negara Hukum”. Menurut Logemann, negara hukum adalah negara yang bertindak dan menempatkan hukum sebagai parameter utama dalam menjalankan kekuasaan.
Namun, perlu disadari bahwa kekuasaan negara bukanlah kekuasaan yang tidak terbatas. Melainkan, kekuasaan yang dibatasi dengan hukum. Baik itu secara konstitusi maupun hak asasi manusia.
Ciri dari suatu negara hukum adalah adanya perlindungan negara terhadap manusia atas tindakan sewenang wenang dari penguasa (detournement de pouvoir). Dalam hal ini, hak-hak dan kebebasan perseorangan (individual freedom) harus diakui. Pengakuan atas kebebasan perseorangan ini mempunyai hubungan erat dengan kesetaraan di hadapan hukum (equality before the law).
Pembentukan negara hukum Indonesia secara tegas tercermin dalam alinea keempat Pembukaan UUD 1945 tentang tujuan Pemerintahan Indonesia. Yaitu, melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia; memajukan kesejahteraan umum; mencerdaskan kehidupan bangsa; dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.
Adapun implementasi prinsip keadilan sosial sebagaimana diamanatkan dalam Pembukaan UUD 1945 dalam bidang hukum dan hak asasi manusia tercermin dalam Pasal 27 UUD 1945. Dalam pasal tersebut dijelaskan bahwa negara memberikan pengakuan kepada setiap warga negara atas kesamaan kedudukan di mata hukum dan pemerintahan.
Pada kenyataanya, seringkali kebijakan – kebijakan pemerintah tidak sesuai atau bertentangan dengan pembukaan UUD 1945 di atas. Padahal, sebagaimana diketahui, hak asasi manusia merupakan suatu hak dasar manusia yang bersifat integral dan inheren.
Hak asasi manusia tidak dapat dicabut dari setiap individu (non derogable right) atau dipilah-pilah (in-alienable right). Tidak dilaksanakannya suatu hak asasi manusia saja dapat diartikan sebagai pelanggaran seluruh hak asasi manusia.
Keadilan sosial pada hakikatnya adalah persoalan yuridis, karena terwujudnya keadilan sosial sangat bergantung kepada produk legislasi dan kebijakan pemerintah. Produk legislasi dan kebijakan pemerintah yang sensitif dan berpihak kepada kepentingan dan kebutuhan rakyat merupakan instrument utama dalam mewujudkan keadilan sosial. Terkait dengan hal ini, Aristoteles menyatakan bahwa keadilan adalah kebijakan politik yang menjadi dasar dari peraturan negara. Selain itu, keadilan sangat menentukan hak dan menjunjung tinggi asas persamaan bagi setiap warga negara.
Ketika Presiden Soeharto berkuasa, pemerintahan kala itu lebih berkonsentrasi pada pembangunan ekonomi daripada pengembangan hukum. Pada saat itu program reformasi hukum nasional diabaikan. Sehingga mengecewakan banyak ahli dan praktisi hukum.
Kala itu pejabat di negeri ini dikenal korup. Tidal ada kesesuaian antara kebutuhan negara dengan masyarakat. Peradilan tidak independen maupun imparsial. Ini adalah hasil dari pemerintahan yang bersifat otokrasi yang menggunakan hukum sebagai alat untuk mempertahankan kekuasaan.
Selama era orde baru itulah hampir semua lembaga demokrasi tidak berfungsi dengan baik. Parlemen dianggap sebagai lembaga stempel yang menyetujui semua rancangan Undang – Undang yang dibuat oleh pemerintah. Peradilan hanyalah kepanjangan tangan dari kekuasaan eksekutif yang melindungi kepentingan pemerintah dengan mengorbankan kepentingan rakyat.
Banyak putusan pengadilan saat itu memihak pemerintah. Hukum tidak dibuat untuk menegakkan dan menghormati hak asasi manusia. Korupsi merajalela karena rendahnya gaji dan kurangnya control sosial terhadap lembaga penegak hukum seperti polisi, jaksa, hakim, dan pejabat publik lainnya.
Konsep reformasi hukum selama pemerintahan Soeharto memfokuskan hukum sebagai alat pengatur masyarakat. Saat itu, konsep reformasi hukum tidak dideskripsikan lebih lanjut ke arah terciptanya masyarakat yang adil dan makmur. Akibatnya, menghasilkan sistem hukum yang rapuh yang memberi jalan bagi penyalahgunaan kekuasaan oleh lembaga eksekutif dan yudikatif.
Program reformasi hukum yang tidak jelas juga menghasilkan pelanggaran hak-hak rakyat. Seperti hak politik, hak ekonomi dan hak sosial. Kondisi tersebut ditandai dengan maraknya pelanggaran hak asasi manusia dan korupsi peradilan dalam sistem hukum. Meski produk hukum di Indonesia Serikat (1949), dan Undang Undang Dasar Sementara (1950) menjamin penghormatan terhadap hak asasi manusia, tetapi faktanya sejumlah Undang-Undang tidak sesuai dengan konstitusi tersebut.
Itulah alasannya mengapa setelah kemerdekaan Republik Indonesia, kita masih bisa melihat maraknya pelanggaran hak asasi manusia. Seperti penembak misterius, peristiwa Lampung, peristiwa Tanjung Priok, peristiwa semanggi, pembantaian Santa Cruz, Pelanggaran hak asasi Aceh dan Papua, Kasus Marsinah dan Kasus Munir.
Kasus judicial killing terbaru yang diduga melanggar HAM berat salah satunya adalah kasus terduga ODGJ, almarhum Herman di Sumenep. Pria asal Kecamatan Lenteng tersebut meregang nyawa akibat 7 peluru yang bersarang di tubuh. Hal itu terjadi akibat tembakan yang dilancarkan empat anggota resmob Polres Sumenep beberapa pada 13 maret 2022 lalu.
Kasus terbaru adalah pembunuhan berencana terhadap brigadir J di rumah dinas mantan kadiv Propam Mabes Polri pada Agustus 2022 lalu. Terakhir, tragedi yang terjadi di stadion Kanjuruhan malang pada 1 Oktober 2022 yang merenggut 131 korban jiwa dan ratusan orang luka luka.
Dalam hal ini negara gagal memberikan perlindungan hukum pada warga negaranya. Aparat penegak hukum yang seharusnya menjadi pelindung hak-hak warga negara justru melakukan hal yang sebaliknya atas nama penegakan hukum. Pembunuhan di luar hukum atau penghukuman mati di luar hukum adalah pembunuhan yang dilancarkan pemerintah tanpa melalui proses hukum terlebih dahulu. Tindakan semacam ini dianggap melanggar hak asasi manusia karena telah mengabaikan hak seseorang memperoleh proses hukum secara adil.
Oleh karena itu, agenda 65 reformasi hukum nasional di Indonesia memerlukan lebih banyak waktu dan usaha untuk mengimplementasikannya. Agenda reformasi hukum yang terintegrasi dan komprehensif harus dilaksanakan. Baik di bidang struktur hukum, hakikat hukum, budaya hukum dan lembaga penegak hukum. (*)