Konsep Dasar Hak Asuh Anak dan Mediasi

Nor Faisal
Nor Faisal
Oleh : Nor Faisal*

maduraindepth.com – Secara etimologi, hak asuh dalam hukum Islam masyhur dengan istilah hadhanah yang memiliki makna meletakkan sesuatu ke tempat pangkuan/tulang rusuk. Sedangkan ulama fikih mendefinisikan hadhanah sebagai tindakan untuk melakukan pemeliharan terhadap anak kecil (belum mumayyiz) dengan memberikan kepstian hidup yang pantas baginya, memelihara dari sesuatu yang bisa menyakitinya, memberikan pendidikan baik jasmani, rohani, maupun akalnya. Hal itu dilakukan sebagai upaya memberikan kebaikan kepada anak tersebut sehingga diharapkan anak tersebut dapat hidup secara mandiri dan bertanggung jawab kepada dirinya sendiri maupun orang lain.

Seorang anak pada dasarnya merupakan individu yang tidak mengerti apa-apa sehingga membutuhkan arahan dan bimbingan orang tua. Orang tua memiliki tanggung jawab penuh untuk dapat mendidik jiwa dan raganya untuk dapat mempersiapkan hidupnya di masa mendatang. Dalam hal ini, proses penjagaan anak tersebut butuh seorang yang telaten (mempunyai kasih sayang dan kesabaran), mempunyai keinginan kuat untuk menjadikan anak yang saleh dan beriman, serta mempunyai cukup waktu didalam mendidiknya. Tugas tersebut diimben oleh orang tua khsusnya seorang ibu. Hal ini sebagaimana hadits Nabi Muhammad SAW :

banner auto

“Dari Abdullah bin Umar bahwasanya seorang wanita berkata : Ya Rasulullah, bahwasanya anakku ini perutkulah yang mengandungnya, asuhankulah yang mengawasinya dan air susukulah minumannya. Bapaknya hendak mengambilnya dariku. Maka berkatalah Rasulullah: Engkau lebih berhak atasnya (anak itu) selama engkau belum nikah (dengan laki-laki yang lain)”.

Menurut riwayat Imam Malik dalam kitab Muwaththa’ dari Yehya bin Sa’id di mana Qosim bin Muhammad berkata bahwa Umar bin Khattab memiliki seorang anak yang bernama Asyhim bin Umar yang kebetulan ia bercerai dengan istrinya. Setelah itu, Umar bin Khattab melakukan perjalanan ke Quba untuk bertemu dengan anaknya tersebut yang kebetulan sedang bermain di Masjid. Kemudian Umar membawa anaknya itu dan meletakkannya di atas kuda untuk dibawa pergi. Di waktu bersamaan, ada seorang nenek anak tersebut yang menjerit dan berteriak seraya berkata “anakku”. Perkara tersebut dibawa ke Khalifah Abu Bakar R.A untuk diputuskan oleh khalifah. Setelah itu, Khslifsh Abu Bakar R.A menetapkan hak asuh anak tersebut jatuh kepada hak ibunya dengan didasarkan pada:

“Ibu lebih cenderung (kepada anak), lebih halus, lebih pemurah, lebih penyantun, lebih baik dan lebih penyayang. Ia lebih berhak atas anaknya (selama ia belum kawin dengan laki-laki lain)”.

Menurut dalil-dalil di atas, maka dapatlah ditetapkan bahwa Ibu adalah seseorang yang memiliki tanggung jawab dan menjadi orang yang paling memiliki hak untuk melalukan hadhanah, baik ketika seorang ibu masih dalam ikatan pernikahan dengan suaminya maupun ketika telah ditalak pada masa iddah-nya (baik raj’i maupun bain), ataupun ketika setelah habis masa iddah-nya juga dengan syarat ia masih belum menikah dengan orang lain.

Sementara itu, mediasi merupakan jalan damai atau musyawarah yang dilakukan dan disepati oleh pihak yang bersangutan di luar pengadilan, namun pada saat sekarang mediasi sudah diterapkan pula dalam sistem pengadilan sebagai bagian dari uapaya penyelesaian persengketaan yang terjadi.Institusionalisai mediasi di pengadilan dilakukan dengan berdasarkan filosofi bangsa dan negara kita yaitu Pancasila, dimana pada sila yang ke-empat menekankan proses penyelesaian sengketa dilalui dengan proses musyawarah untuk mencapai mufakat yang dilandasasi semangat kekeluargaan (spirit of family) melalui cara berunding/berdamai diantara pihak-pihak yang memiliki kepeningan untuk kemudian mencari solusi yang dianggap adil dan memuskan semua pihak (mutual agreement).

Secara historis mediasi digunakan oleh pengadilan pada awalnya dilalkukan sejak tahun 2002 dengan mengacu pada Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 1 Tahun 2022 yang. SE tersebut berkaitan tentang pelaksanaan dan penerapan sistem perdamaian pada tingkatan pengadilan tingkatan pertama. Hal itu kembali diatur dengan lahirnya peraturan MA RI Perma) Nomor 2 Tahun 2003. Karena kedua ketentuan di atas masih dirasakan belum efektif dan memadai, maka Mahkamah Agung RI (MA) kembali mengeluarkan Perma Nomor 1 Tahun 2008 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan tahun 2008 sebagai pengganti dari sebelumnya. Pada perjalannya, Perna ini juga dianggp masih belum memadai sebab prosentasi keberhasilannya cenderung masih sangat minim. Argumentasi ini kemudian menjadi sebab lahirnya Perma yang baru yakni Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2016 yang memuat beberapa ketentuan tentang pelaksanaan mediasi di pengadilan yang berlaku sampai saat ini.

Dalam mediasi, titik tekan penyelesaian sengketa didasarkan kepada musyawarah dan kerelaan dari pihak-pihak yang berselesih untuk kemudian secara bersama-sama mencari dan menerima solusi yang ditawarkan oleh seorang Mediator (di luar Pengadilan) atau seorang hakim (dalam Pengadilan) dan dianggap dapat memuaskan pihak yang berselisih tersebut. Hal ini pada dasarnya merupakan manifestasi dari substansi dari Pancasila sila keempat, bahwa musyarah adalah faktor penting dalam setiap mengambil keputusan demi kemaslahatan bangsa.

Dalam Perma No. 1 tahun 2008 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan pasal 1 (ayat 7) disebutkan bahwa mediasi dilakukan malalui proses musyawarah/berunding dengan harapan mendapatkan konsessus/ kesepakatan yang ditengahi oleh seorang mediator. Senada dengan Perma tersebut, Perma No. 1 tahun 2016 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan sebagai pengganti Perma No. 1 tahun 2008 di pasal 1 (ayat 1) tersebut. (*)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

banner auto