banner 728x90
Opini  

Refleksi Spiritas Kiai Nawawi Pramian dalam Tradisi Literasi

Holikin.
banner 728x90

maduraindepth.com – Perintah membaca tertuang dalam Al-Quran surat Al-Alaq. Nama lain dari surat ini adalah Al-Qalam, yang berarti pena. (Lihat, Hasyiyah al-Shawi, jilid 4: 446). Qalam (pena) juga memiliki keterkaitan dengan budaya membaca yang sangat erat.

Dalam surat Al-Alaq, perintah membaca diulang dua kali dengan menyebutkan kata kerja yang berkonotasi perintah (fiil amar), yakni frasa iqra’, dimana kata yang kedua merupakan penegasan (taukid) dari kata yang pertama. (Lihat, Tafsir Jalalain).

banner 728x90

Quraish Shihab memaparkan, bahwa kata iqra’ terambil dari kata kerja qara’a yang pada mulanya bermakna menghimpun. Ketika seseorang telah merangkai huruf atau kata lalu mengucapkan rangkaian tersebut, maka sejatinya ia telah menghimpunnya, yakni membacanya.

Imam Nawawi al-Jawi, ketika menafsirkan frasa ayat “iqra’ wa rabbuka al-akram” menyatakan: “Laksanakan apa yang kamu perintahkan itu. Hal ini, sungguh Tuhanmu menyuruhmu membaca, dan Dia Maha Pemurah.” (Lihat, Marah Labid, jilid 2: 454).

Secara historis tradisi intelektual umat Islam dimulai dari pemahamannya terhadap Al-Quran. Pembacaan Al-Quran, yang tak hanya cukup dalam level tilawah itu, berlanjut pada level lebih tinggi, yakni memahami, meneliti, dan mengamalkan, maka dari sini Islam berkembang sebagai suatu peradaban yang dilandasi dengan wahyu, sehingga umat Islam membentuk pola tradisi intelektual yang pesat.

Ketika wahyu ilmiah yang diturunkan kepada umat Islam, yang memuat ilmu pengetahuan yang sangat komplit dan menyeluruh, sehingga secara otomatis agama yang berpijak di atas wahyu ini (Islam) tidak terpisahkan dengan ilmu (pengetahuan). Maka kemudian secara otomatis pula para pemeluknya menjadi komunitas ilmiah yang banyak menelurkan tradisi ilmiah pula, salah satu tradisi tersebut berupa literasi.

Membaca atau literasi menjadi budaya para cerdik pandai (ulama) kita sejak dulu. Berangkat dari para sahabat yang gemar menetap di emperan masjid Nabawi (Ashabu al-Shuffah) sebagai sebuah lembaga ilmiah pertama dalam pendidikan Islam, hingga berlanjut pada generasi penelaah yang melahirkan banyak karya dan inovasi.

Tak pelak, gairah literasi menjadi semacam kultur yang melekat kuat dalam generasi ulama tempo dulu. Dalam soal membaca, ulama-ulama kita paling gemar dan intens, sehingga waktu terasa cepat berlalu, dan dilaluinya hanya dengan membaca buku. Mereka adalah para literat hebat.

Sebutlah Abu Bakar bin Khayyath al-Nahwi, saking khusyu’nya membaca buku sambil berjalanpun beliau lakoni, hingga beliau tak sadar masuk jurang. Imam al-Dzahabi, beliau mampu mengkhatamkan bacaannya satu jilid buku sekali jalan. Imam al-Haramain, beliau jadwal makannya tak teratur, hingga disuapi sambil baca buku. Lain hal dengan kakek Ibnu Taimiyah, Majuddin Abu al-Barakat Abdussalam, saking gemarnya membaca beliau sampai mendengarkan bacaan dari dalam toilet.

Baca juga:  Ramadhan dan Kultur Konsumerisme di Tengah Pandemi

Banyak kisah serupa, karena keterbatasan ruang tidak bisa disebutkan satu-persatu. Jelasnya, para generasi salaf kita rata-rata figur-figur kutu buku. Barangkali kultur semacam itu juga diteladani oleh Kiai Nawawi Pramian, sebagai tokoh pendiri pesantren (Pondok Pesantren Hidayatus Salafiyah, Pramian) yang boleh dibilang tidaklah tanggung prihal kegemarannya dalam membaca (muwalla’ bi al-qiraah).

Kiai Nawawi Pramian, Sosok Muwalla’ bi al-Qiraah

Sebagai sebuah ungkapan tahaduts bi al-ni’mah, Kiai Nawawi Pramian pernah bercerita bahwa ia hafal Nadzam Al-Fiyah ibnu Malik, ketika menggembala sapi di waktu usia beliau sangat belia. Waktu-waktu senggang saat mengembala itu dimanfaatkan dengan menghafalkan nadzam bergaya nada rajaz sebanyak seribu bait (baris) itu.

Tak hanya itu, ia juga menuturkan, hafal Nadzam Imriti sejumlah seperempat dari seribu (250 bait) itu dalam perjalanannya berangkat dan pulang sekolah rakyat (sekarang SD). Perjalanan dari rumah Pramian ke sekolahnya di Desa Labuhan, ditempuh dengan berjalan kaki. Waktu tempuh kurang lebih satu sampai dua jam. Hingga waktu istirahat pun yang biasanya dihabiskan dengan bermain, namun juga gunakan dengan men-takrar (mengulang) hafalannya.

Membaca juga menjadi kegemarannya, terlebih saat ia menjadi santri. Hari-harinya di pesantren dilewati dengan muthalaah (baca kitab). Salah seorang santri pernah mendengar ceritanya, bahwa ia di pesantren (saat itu ia nyantri di Al-Falah, Ploso) pernah ditegur karena keranjingan baca kitab.

Bahkan, diceritakan pula, Kiai Nawawi suatu saat di pesantren sedang sakit, tangannya tidak bisa digerakkan. Namun hal itu tidak menghentikannya untuk membaca kitab. Ia tetap membaca dengan meminta bantuan temannya membukakan lembar demi lembar kitab yang dibacanya tersebut. Kadang kitab yang dibaca diikatkan pada jendela kamarnya untuk dibaca sambil rebaha.

Kisah lainnya, Kiai Nawawi ketika di kereta api, baik saat berangkat maupun pulang liburan dari pesantren, ia tidak bosan-bosan membaca. Di kereta, ia membeli koran, sesekali membaca isi koran tersebut, yang kemudian selanjutnya lembaran koran tersebut dibuat sampul kitab yang hendak dibacanya selama di kereta. Menurut penuturannya, selama di kereta ia mampu mengkhatamkan bacaannya, dua hingga tiga judul buku (kitab, red) dibaca dalam perjalanan.

Baca juga:  Meneropong Kuasa dan Pengaruh Media Sosial, dalam Kehidupan Demokrasi

Kisah kegemarannya terhadap buku tidak berhenti sampai di situ, dituturkan pula koleksi kitab yang terpajang di Ndhalem (rumah)-nya, jika diperhatikan hampir semuanya tebal-tebal dan berjilid-jilid. Semuanya sudah pernah dibaca dan khatam (sampai selesai). Demikian dapat dibuktikan dengan sampul kitab-kitab itu nyaris kusam, serta tulisan luarnya menjadi buram karena seringnya dipegang dan dibacanya.

Menurut penuturan tetangga pondok, Kiai Nawawi muda saat pulang liburan pesantren, kitab yang dibawa yang hendak dibaca selama liburan di rumah hampir memenuhi andong (dari stasiun kereta ke desa Pramian, ia biasa menaiki andong, karena saat itu mobil angkot belum masuk desa).

Selain itu, santri-santrinya sering menyaksikan di tengah malam ia sedang membaca (muthalaah). Penulis menyaksikannya sendiri, dengan diterangi lampu baca, ia khusyu’ membaca kitab, hingga menjelang azan Subuh, yang kemudian ia membangunkan para santri untuk salat Subuh berjamaah.

Bahkan sampai juga, Kiai Nawawi saat mengontrol pengerjaan bangunan gedung atau musalla, ia sempat-sempatnya membawa kitab dan membacanya, kadang di bawah pohon, kadang pula (menurut penuturan santri yang juga menjadi pekerja gedung itu) ia menemani para pekerja sambil membaca kitab.

Di mana pun dan waktu kapan pun selalu ia sempatkan membaca. Di dalam mobil saat ia meyos (bepergian) untuk menghadiri undangan baik dalam perjalanan dekat maupun jauh, ia selalu isi dengan kegiatan membaca, demikian yang dituturkan oleh santri yang ia bawa saat bepergian. Kiai Nawawi juga sering berbelanja kitab-kitab baru yang belum dimilikinya, baik saat di dalam negeri maupun di luar negeri, seperti saat menunaikan ibadah haji.

Suatu saat, ketika Kiai Nawawi menunaikan ibadah haji, ia membeli beberapa kitab, diantaranya kitab Tafsiru al-Manam. Menjelang kepulangannya ke tanah air, ia sempatkan membaca kitab yang tebalnya dua jilid itu. Nahas, ketika mau salat, kitab yang memuat perihal tafsir mimpi itu ia sandarkan di tiang masjid, namun sayang ia lupa membawanya dan tertinggal. Setelah sampai ke tanah air, ia sadar kitab tersebut tertinggal di tanah suci.

Kiai Nawawi bercerita, perasaannya begitu bimbang lantaran belum membacanya dengan tuntas. Beruntungnya, kitab tersebut sudah ia kasih nama dan alamat pengenal di lembar pertamanya. Syukur, betapa senangnya hati, beberapa bulan berikutnya ada yang mengembalikan kitab Tafsir al-Manam tersebut. Sehingga ia bisa menuntaskan bacaannya.

Kegemarannya pada buku tidak terhenti sampai pada tahap membaca, seakan bagi Kiai Nawawi Pramian dunia literasi menjadi semacam sarana muraqabah kedua setelah beribadah, kemudian kegemarannya tersebut merambah pada menelurkan karya tulis. Beberapa potongan nadzam telah ia tulis sebagai warisan, khususnya bagi para murid-muridnya. Di antara yang penulis tahu, yaitu potongan nadzam tak lebih dari lima belas bait yang diberi tajuk Tahniatu al-Qur’an.

Bahkan, ia sering menulis beberapa nadzam (tentu berbahasa Arab) sebagai hadiah untuk putra atau cucunya yang baru lahir. Barangkali ada potongan-potongan karya lainnya yang tak sempat ia rangkum dengan epik, karena sewaktu masih hidup sempat berencana menulis kitab.

Baca juga:  BOS untuk Bos?

Refleksi dan Renungan

Sudah selayaknya sepotong kisah di atas menjadi jalan inspirasi. Literasi tidak dipahami sebagai realitas sempit yang hanya sekedar membaca, menyalin tulisan, menghitung angka-angka. Paham literasi yang demikian itu telah berlalu mungkin puluhan tahun lalu, berubah seiring berkembangnya zaman.

Literasi perlu setangga demi tangga naik ke level lebih tinggi, yaitu perlunya menarik inspirasi yang mengejewantah sebagai refleksi, kemudian mewujud menjadi aksi. Sebagaimana telah ditunjukkan dalam potongan kisah di atas, yakni kisah ketakjuban seorang hamba Allah SWT yang mewujudkan perintahNya itu ke dalam bentuk lebih nyata, bergulir tak kenal waktu.

Kiai Nawawi Pramian telah dengan nyata membuktikan semuanya, bahwa mencintai buku bermakna mencintai ilmu, mencintai ilmu jelas bersendika dawuh terhadap perintah Tuhan. Kemudian mengerucut pada balasan yang lebih setimpal, lebih indah di sisiNya. Sebab, perintah iqra’ dalam potongan ayat dalam surat Al-Alaq merupakan perintah suci, yang dengannya (membaca) manusia menjadi manusia yang benar-benar ahsani taqwim (sebaik-baik ciptaan) yang telah Allah SWT siapkan untuk merawat semesta sebagai khalifah di muka bumi.

Itulah sebabnya di banyak ayat, Allah SWT menggelitik melalui kalimat “uli al-albab”, “afala tatafakkarun”, “afala tatadzakkarun”, “afala ta’qilun”, “fadzakkir innama anta mudzakkir”, dan lain sebagainya, yang pada dasarnya merangsang kemampuan nalar manusia mengolah diri dan sekitarnya. Tentu, semuanya itu hanya dapat dicapai dengan pandai membaca.

Membaca tak hanya dipahami secara literal tekstual, namun lebih pada kontekstual. Membaca, memahami, dan menelaah ayat-ayat tekstual yang tertuang dalam Al-Quran, harusnya pula dibarengi dengan membaca, memahami, serta menelaah ayat-ayat kauniah (alam semesta) sebagai wujud nyata dari bukti kebesaran Allah SWT. Membaca adalah aktivitas suci, sebab pada mulanya wahyu datang dan pada akhirnya agama ini berkembang. (*)

banner 728x90

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

banner 728x90