maduraindepth.com – Malam itu Abdullah bersimpuh lebih lama dari biasanya. Di sudut kecil rumah kayunya yang redup, sajadah tua terbentang menjadi panggung bagi bisikan langit dan gema rindu yang telah lama tertahan.
Angin malam hanya sesekali menyentuh tirai bambu, seolah memberi jalan bagi suara dzikirnya yang mengalun pelan. Tak ada yang istimewa secara kasat mata [kecuali waktu]. Waktu yang tak biasa. Karena malam ini adalah malam pertama di bulan Muharram, Malam Satu Muharram, Malam Tahun Baru Islam.
Usai salam, Abdullah tak langsung bangkit. Ia menunduk dalam, mematung dalam hening yang ganjil. Wirid-wirid yang biasa meluncur dari bibirnya kini hanya menjadi desir samar yang nyaris tak terdengar, seperti hembusan angin yang malu-malu mengetuk pintu langit.
“Hu..Allah..Hu..Allah..Hu..Allah” bisiknya, bukan dalam suara, melainkan dalam napas.
Itulah dzikir nafas [lelaku para salik dalam tarekat], yang memadukan tarikan dan hembusan napas dengan asma Ilahi. Allah saat menarik nafas, Hu saat menghembuskannya. Sebentuk wirid batin yang tak membutuhkan suara, karena suara hati lebih nyaring dari segala gema.
Dalam dzikir ini, napas bukan sekadar hidup, tapi menjadi jembatan antara makhluk dan Khalik. Bukan dalam lidah, melainkan dalam getar. Getar yang berasal dari kedalaman paling sunyi, tempat ruh-ruh pulang untuk bertemu kekasihnya.
Malam itu terasa lebih pekat. Waktu berjalan pelan, seperti menunggu sesuatu. Dan benar saja [di tengah wirid yang belum selesai], terdengar suara lirih, aneh, dan menusuk dada.
“Duk… duk… duk…”
Suara itu datang dari arah tempat Abdullah biasa menggantung keris warisan Kakeknya. Suara yang tak keras, tapi mengguncang sunyi, seolah ada tangan dari dunia lain yang mengetuk dinding malam.
Abdullah membuka mata. Lampu minyak di pojok ruangan masih menyala temaram, cahayanya menari-nari di antara bayang dan harap. Tapi dinding kayu itu bergetar. Bukan karena angin, bukan karena gempa. Tapi karena sesuatu yang tak bisa dijelaskan oleh pancaindra, namun bisa dirasakan oleh hati yang terjaga.
Ia bangkit pelan, mendekati sumber suara dengan hati berdebar. Di sanalah keris warisan itu tergantung. Keris yang memiliki luk tujuh dengan gambar pamor mirip bunga melati yang diuntai benang. Tampak bilahnya sudah berkarat, warangkanya kusam penuh debu dan pamornya nyaris tak tampak.
Dulu, setiap malam satu Suro, Kakeknya selalu memandikannya dengan air bunga tujuh rupa dan wirid yang diselipkan dalam napas. Namun sejak Kakeknya wafat, keris itu seperti ruh yang tak lagi disapa. Ia tergantung seperti tubuh tanpa jiwa, diam namun menyimpan napas. Dan malam ini, seolah ia kembali bicara.
Abdullah memejamkan mata, mencoba masuk ke dalam hening yang lebih dalam. Ia tarik napas panjang. Dada terasa lapang. Dan tiba-tiba, dalam sunyi yang hanya dipahami oleh hati yang gelisah, ia merasakan dirinya berpindah.
Ia tak lagi berdiri di ruang kasat mata. Tapi di sebuah hamparan putih tak berbatas. Heningnya tidak sunyi, tapi teduh. Tercium aroma melati dan tanah basah. Di hadapannya, seorang lelaki berdiri dengan sorot mata yang tak asing.
“Kek…” Abdullah terisak.
“Ndul…” Suara itu tak berubah. Penuh kelembutan seperti embun pagi. Itulah suara yang dulu membangunkannya untuk shalat subuh, yang dulu menuntunnya melafal syahadat untuk pertama kali.
Kakeknya melangkah mendekat. Di tangannya, keris itu bersinar. Pamornya yang dulu tertutup karat kini berpijar. Cahaya samar menyelubunginya, seolah keris itu bukan lagi besi, tapi ruh.
“Ndul, kau tahu kenapa keris itu mengetukmu malam ini?”
Abdullah menggeleng.
“Karena kau telah lama membiarkan ruhmu berkarat. Dan ia, yang tergantung diam itu, adalah cermin dirimu sendiri.”
Kakeknya duduk bersila di hadapan Abdullah. Langit-langit ruang itu seperti berdenyut, seperti dada yang menyimpan cinta terlalu lama.
“Keris itu bukan benda. Ia bukan hanya pusaka. Ia adalah lambang manusia. Warangkanya adalah ragamu Bilahnya adalah ruhmu, jiwamu. Pamornya adalah nur Allah dalam hatimu. Jika tak kau jaga, ia akan karatan. Jika tak kau bersihkan, cahayanya padam.”
Abdullah menunduk. Kata-kata itu seperti air yang menghantam karang, menghancurkan dinding yang ia bangun bertahun-tahun: dinding kesibukan, dinding keraguan, dinding pengabaian atas suara batin.
“Jamasan, Ndul,” ujar Kakeknya, suaranya berubah menjadi gema yang merambat sampai ke relung jiwa.
“Jamasan bukan sekadar budaya. Ia adalah tafsir dari suluk tasawuf. Ia adalah dialog sunyi antara yang fana dan Yang Kekal. Maka bersihkanlah dirimu, sebagaimana kau membersihkan pusaka. Sebab keris yang bercahaya hanya berguna jika tangan yang menggenggamnya juga bercahaya.”
Ia melanjutkan, suaranya semakin lirih tapi justru kian menancap dalam dada.
“Air jamasan itu adalah air tobat. air cinta yang turun dari langit, untuk membasuh setiap luka yang kau sembunyikan. Bunga tujuh rupa itu adalah nafsu tujuh lapis yang harus ditundukkan. Bau harum itu bukan dari bunga, tapi dari ruh yang mulai bersih. Dan tangan yang mengusap bilah itu, hakikatnya adalah tangan Allah yang membelai hamba-Nya yang rindu pulang.”
Kakek menghela napas, seperti hendak mengalirkan makna dari samudera sunyi.
“Kau tahu, Ndul! ketika kau jamas keris, sejatinya kau sedang menjamas dirimu sendiri. Sebab sejatinya ia adalah tazkiyatun nafs [penyucian jiwa], pemurnian batin, pembersihan cermin ruh agar kembali memantulkan cahaya Tuhan.”
Sebagaimana Allah berfirman dalam Al-Qur’an:
قَدۡ أَفۡلَحَ مَن زَكَّىٰهَا (٩) وَقَدۡ خَابَ مَن دَسَّىٰهَا
“Sungguh beruntung orang yang menyucikannya (jiwa itu), dan sungguh merugi orang yang mengotorinya”. [QS. Asy-Syams: 9 – 10]
Ia diam sejenak, lalu melanjutkan dengan sorot mata bening.
“Nabi Muhammad bersabda, ‘Ketahuilah, sesungguhnya dalam tubuh ada segumpal daging. Jika ia baik, maka seluruh tubuh akan baik. Jika ia rusak, maka seluruh tubuh akan rusak. Ketahuilah, itu adalah hati.’ (HR. Bukhari dan Muslim). Maka jamaslah hatimu, Ndul. Jangan hanya mengelap warangka dan bilah, tapi usap pula hatimu yang letih, yang haus akan dzikir, yang rindu disentuh oleh Nur Allah.”
Abdullah meneteskan air mata. Malam itu, malam Muharram, menjadi malam di mana bukan hanya keris yang ingin dijamas [tapi ruhnya sendiri yang ingin dimandikan oleh air suci dari langit].
“Muharram, Ndul, adalah waktu di mana ruh paling siap dijamas,” ujar Kakek perlahan.
Dalam tradisi kita, bulan ini juga disebut bulan Suro. Sebutan itu berasal dari kata ‘Asyura’, lidah nusantara fasih menyebutnya dengan Suro, Tapi jangan kira ini hanya soal istilah.
Suro. Ia pengingat, di hari kesepuluh dalam bulan Muharram, ada peristiwa agung yakni Nabi Musa yang berani melawan kezaliman, lolos dari kejaran Fir’aun dengan membelah laut, bukan karena kekuatan tangannya, tapi karena keyakinan yang membuat air pun tunduk pada kehendak Tuhan.
Sehingga Nabi SAW sangat menganjurkan minimal puasa di hari kesepuluh Muharram itu. Kalau tidak bisa puasa selama tiga hari, mulai hari kesembilan hingga kesebelas.
“Di sepuluh Muharram itu juga” lanjutnya dengan tenang, Karbala menjadi saksi luka cinta [di sana, cucu Rasulullah, Husain, menorehkan darah suci di pasir kering], demi membela kebenaran yang lebih berharga dari hidup itu sendiri.
Adam diturunkan dari surga ke bumi [bukan sebagai hukuman], sebagai awal hijrah dari cahaya langit ke pencarian cahaya sejati di tanah yang basah oleh peluh dan doa.
Nuh diselamatkan dari banjir besar karena keteguhan dan sabar yang membelah murka menjadi rahmat. Ibrahim dilepaskan dari kobaran api, sebab api dunia tak sanggup membakar keyakinan yang menyala dari dada yang pasrah.
Kakek terus menuturkan kisah-kisah itu, seolah sedang mengeluarkan mutiara dari dasar samudra sunyi [satu per satu] ia selami, ia rengkuh dengan lembut, seperti menyelam ke kedalaman lautan jiwa yang telah lama menyimpan cahaya-cahaya rahasia.
Yusuf keluar dari penjara, sebab kejujuran tak bisa lama terkurung oleh fitnah dunia. Ayyub disembuhkan dari derita panjangnya, karena sabar dan ridha adalah pintu kesembuhan paling dalam.
Yunus terlempar dari gelapnya perut ikan ke terang pantai ampunan, karena dzikir di tengah malam kelam bisa membelah langit yang diam. Sulaiman diberi kerajaan, bukan karena kemegahan tahtanya, tapi karena kerendahan hatinya yang tak ingin jadi tuhan di atas manusia.
Isa diangkat ke langit karena cahaya yang tak bercela tak bisa ditinggal terlalu lama di dunia yang penuh cela.
Lalu suara Kakek perlahan berubah, bukan lagi seperti suara manusia biasa, melainkan seperti oase yang berbisik di tengah gurun sunyi. Lembut, teduh, dan menyusup ke relung kalbu.
“Ndul, peristiwa-peristiwa agung itulah yang menjadikan Muharram bukan sekadar penanda tahun baru, tapi penanda perjalanan ruhani yang tak pernah selesai. Ia adalah bulan di mana sejarah berbicara dengan suara langit,sejarah penyucian. Sejarah pelampauan diri. Sejarah kesetiaan kepada Tuhan walau dunia menampakkan taringnya. Para pecinta Tuhan diuji dengan luka, dengan rindu, dengan pengorbanan,” ucapnya.
Mata Kakek menatap Abdullah dengan kasih yang tak bersyarat [tatapan yang tak sekadar melihat], tapi menembus hingga ke dasar jiwa. Dengan tangan renta yang penuh berkah, ia menepuk lembut pundak cucu kesangannya itu, lalu berbisik bagai angin malam yang membawa pesan langit.
“Ndul… ruh-ruh para pecinta selalu mengabarkan kisah hijrah [dari gemerlap dunia menuju pelukan Tuhan]. Dalam laku spiritual Jawa, bulan ini bukan sekadar pergantian angka, tapi ruang batin yang dibuka langit. Saat langit turun merendah, dan suara leluhur menitis di antara detak hati yang bening. Ini bukan sekadar tanggal dalam kalender, tapi kesempatan yang jarang dibukakan. Sebuah gerbang sunyi untuk menundukkan ego, menyucikan jiwa, dan kembali menjadi cahaya [cahaya yang mengenali Sang Cahaya]. Maka, siapa yang tak menyucikan dirinya di bulan ini, seperti membiarkan keris pusaka karatan di balik lemari gelap [tak bersinar], tak bersuara, padahal di dalamnya tersimpan nur yang tak ternilai.”
Abdullah menggigil. Bukan oleh dingin, tapi oleh sesuatu yang selama ini ia tahan dalam dirinya. Sebuah pintu batin terbuka. Pintu yang selama ini ia kunci rapat, karena ia takut mendengar suara yang bisa mengubah hidupnya.
Kakeknya berdiri. Kemudian menempelkan tapak tangannya ke dada Abdullah, seolah hendak menurunkan cahaya terakhir malam itu ke dalam tubuhnya.
“Keris itu telah memanggil, Ndul. Dan kau telah mendengar. Maka jamaslah ia. Tapi jangan lupa, jamaslah pula hatimu. Bersihkan pamor ruhmu, sebab dunia ini hanya sebentar. Dan cahaya itu hanya akan tinggal bila kau bersedia menjaganya.”
Tiba-tiba, Abdullah kembali ke tempat saat ia sholat. Nafasnya tercekat. Ia menatap ke sekeliling [sunyi masih sama], sajadah masih hangat, dan suara jangkrik kembali menyanyi. Tapi ada yang berbeda: keris itu, yang tadi bergetar, kini diam.
Namun dalam diamnya, ia seperti memantulkan cahaya yang lembut, seperti pagi yang tak ingin membangunkan malam sepenuhnya.
Malam itu juga, Abdullah menyiapkan air bunga. Ia menyentuh kain putih seperti menyentuh masa kecilnya. Ia jamas keris itu dengan hati yang basah oleh tangis.
Setiap usapan bukan hanya mengangkat karat dari besi, tapi membersihkan kegelapan yang menempel pada sisi terdalam dirinya. Ia membaca shalawat dengan suara serak. Ia istighfar, berkali-kali.
Saat pamor kembang melati itu mulai menampakkan dirinya [lembut, samar, bercahaya] seperti cahaya yang baru terlahir.
Abdullah tersedu. Karena ia tahu, melati bukan sekadar bunga. Ia adalah simbol kesucian, kelembutan hati, dan kerinduan yang tak tercemari. Dan cahaya yang memancar dari pamor itu, bukan hanya pantulan logam yang bersih. Itu adalah ruhnya sendiri yang akhirnya mau menyala kembali, setelah dijamas oleh dzikir dan air tobat.
Keris sejatinya adalah bayangan. Dan jamasan adalah dialog—antara jiwa dan cahaya. Ia adalah bentuk hijrah dari kekakuan menjadi kelembutan, dari diam menjadi rindu, dari mati rasa menuju hidup batin.
Malam perlahan surut, seperti tirai gelap yang ditarik lembut oleh cahaya. Embun mulai turun diam-diam, menyusup ke celah kayu dan menyentuh kulit subuh dengan dingin yang suci. Abdullah berdiri dalam diam, menatap langit yang mulai terang dari balik jendela kayunya yang kusam [langit yang perlahan berubah warna], seolah hendak menyampaikan sesuatu yang tak bisa ditulis oleh waktu, hanya bisa dibaca oleh hati yang terjaga.
Ia tak tahu apakah Kakeknya benar-benar datang, atau itu hanya mimpi yang disulam oleh rindu dan wirid. Tapi yang pasti, sejak malam Muharram itu, Abdullah bukan lagi Abdullah yang lama.
Ia telah dijamas oleh cahaya. Ia telah hijrah. Dari gelap ke terang. Dari lalai ke ingat. Dari karat menuju pamor.
Selamat Tahun Baru Islam, 1 Muharram 1447 Hijriyah.Sugeng Warsa Enggal 1 Suro 1959 Dal, Semoga setiap ruh kita kembali bersinar, dan setiap langkah kita adalah dzikir menuju-Nya. (*)
*Penulis adalah Aktivis dan Pendiri Nahdliyin Bergerak (NABRAK) Madura, Kolumnis di Pelbagai Media Massa.