Oleh : Faisal Ramdhani*
maduraindepth.com – Perayaan Imlek, dikenal sebagai Tahun Baru China, menjadi hari libur nasional. Hal itu menunjukkan eksistensi etnis Tionghoa di Indonesia bagian tak terpisahkan di negeri ini.
Eksistensi kaum Tionghoa hingga mempunyai kedudukan sederajat dengan warga bangsa lainnya di Indonesia, tak lepas dari sosok KH Abdurrahman Wahid atau yang lebih dikenal dengan panggilan Gus Dur. Presiden keempat RI itu berperan penting, mengakui eksistensi masyarakat etnis Tionghoa itu, melalui kebijakan-kebijakan saat memimpin negeri ini.
Selama Orde Baru berkuasa etnis Cina tak diakui sebagai suku bangsa dan dikategorikan sebagai nonpribumi. Seturut politik kebangsaan Orde Baru, etnis Cina diharuskan mengasimilasikan diri dengan suku-suku mayoritas di tempat mukim mereka. Misalnya, jika seorang Cina tinggal di Bandung, mereka harus jadi orang Sunda.
Selain itu, kebijakan diskriminatif lainnya ialah penutupan sekolah-sekolah berbahasa pengantar China. Puncak rasisme rezim Si Jenderal yang Tersenyum adalah terbitnya Inpres No. 14/1967 tentang larangan agama, kepercayaan, dan adat istiadat Cina. Sejak itu, perayaan Imlek haram diramaikan di depan publik. Seni liongsamsi setali tiga uang. Pelarangan juga menyangkut pemakaian aksara Cina. Lagu-lagu berbahasa Mandarin pun lenyap dari siaran radio.
Menurut begawan antropologi James Dananjaya, kebijakan itu berdampak lebih jauh daripada sekadar pergantian nama atau agama. Perlahan orang Tionghoa benar-benar melupakan jatidirinya. Akibat indoktrinasi yang dilakukan dengan sistematis tersebut, kebanyakan orang Tionghoa yang patuh pada politik pemerintahan Orde Baru, dengan sadar atau dengan tidak sadar, telah berusaha melupakan jati diri etnisnya sendiri, sehingga terjadilah autohypnotic amnesia.
Di tengah tengah kebijakan rasisme itu, muncullah Gus Dur lah yang kemudian bertindak lebih jauh lagi. Ia muncul membela hak komunitas Cina dengan konsep kebangsaan baru yang diperkenalkannya. Dalam konsep kebangsaannya, tak ada yang namanya pribumi dan nonpribumi. Dikotomi semacam itu adalah kesalahan dan gara-gara itu komunitas Cina dinafikan dari nasionalisme Indonesia.
Bagi Gus Dur tak ada yang namanya “keturunan masyarakat asli” di Indonesia, karena bangsa Indonesia dibentuk oleh perpaduan tiga ras, yakni Melayu, Astro-melanesia, dan Cina. Ia sendiri mengatakan dirinya adalah keturunan blasteran Cina dan Arab.Untuk melepaskan diri dari belenggu rasis semacam itu, Gus Dur lantas memperkenalkan konsep kebangsaan yang nonrasial.
Leo Suryadinata dalam buku Etnis Tionghoa dan Nasionalisme Indonesia mencatat, bahwa Gus Dur menyebut kelompok-kelompok etnis di Indonesia sebagai ‘orang’ bukan ‘suku’. Ia berbicara tentang orang Jawa (etnis Jawa), orang Maluku (etnis Maluku) dan orang Tionghoa yang kesemuanya adalah orang Indonesia.
Dalam perkembangannya, rupanya Gus Dur tidak hanya berterori belaka. Saat terpilih menjadi Presiden Indonesia pada tahun 1999, Ia pun merealisasikan konsep kebangsaan barunya itu. Cucu pendiri NU Kiai Hasyim Asy’ari yang sejak lama dikenal sebagai pluralis itu menganulir Inpres No. 14/1967 dengan menerbitkan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 06 Tahun 2000.
Dengan dikeluarkannya Kepres tersebut, masyarakat Tionghoa diberikan kebebasan untuk menganut agama, kepercayaan, dan adat istiadatnya termasuk merayakan upacara-upacara agama seperti Imlek, Cap Go Meh dan sebagainya secara terbuka.
Gus Dur kemudian menindaklanjutinya dengan mengeluarkan Keputusan Presiden Nomor 19/2001 tertanggal 9 April 2001 yang meresmikan Imlek sebagai hari libur fakultatif. Baru pada tahun 2002, Imlek resmi dinyatakan sebagai salah satu hari libur nasional oleh Presiden Megawati Soekarnoputri mulai tahun 2003.
Dengan kebijakannya tersebut, maka tak heran jika Gus Dur maka pada tanggal 10 Maret 2004 di kelenteng Tay Kek Sie dinobatkan sebagai “Bapak Tionghoa Indonesia”. Gus Dur hadir dalam penobatan itu dengan pakaian lengkap menggunakan baju cheongsam meski harus duduk di kursi roda.
Maka tak heran pengakuan salah seorang tokoh Katolik keturunan Cina. F.X. Triyas Hadi Prihantoro dalam surat pembacanya yang ditayangkan Kompas (5/2/2008) menulis bahwa setiap kali menjelang perayaan Imlek, dirinya selalu ingat Gus Dur. Sejak menjabat sebagai Ketua Nahdlatul Ulama, tiada henti Gus Dur membela penganut aliran kepercayaan dan pemeluk Konghucu untuk memperoleh haknya sebagai warga negara.
Maka juga tak heran pelbagai media memberitakan, jika saat perayaan imlek tiba terdapat puluhan warga tionghoa yang datang silih berganti untuk berziarah ke makam Gus Dur. Bahkan ada yang menangis di makam Gus Dur.
Mereka khusuk menaikkan doa buat Gus Dur agar Tuhan Yang Maha Esa mengampuni dosa-dosanya dan menerima semua amal ibadahnya. Karena mantan Presiden Indonesia keempat itu dinilai sangat berjasa karena warga etnis Tionghoa bisa mengekpresikan kebudayaannya, termasuk merayakan hari raya Imlek..
Gong Xi Fa Cai !!!
*Penulis adalah Ketua Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia PCNU Sampang