Opini  

Berislam dengan Gembira

Islam
Istimewa.
Oleh : Abu Rakso*

maduraindepth.com – Islam sendiri memiliki arti selamat (keselamatan). Menyelamatkan diri sendiri, keluarga dan orang lain. Selamat dari lisan yang selalu meng-update kesalahan orang lain, sehingga kesalahan pribadinya seakan tak ter-instal. Selamat dari tindakan arogansi, melukai, mencelakai orang lain. Oleh karenanya, Islam adalah agama kasih sayang bukan asal tendang.

Sekian problem keagamaan meluluh-lantahkan pandangan dan pendengaran. Akhir-akhir ini ada secuil manusia yang mencari kehidupan, sensasi dalam agama bukan menghidupi dan menjalankan esensi agama itu sendiri. Ironi dan menjengkelkan sekali kisanak. Sampai tidak sadar diri karena mabuk; mabuk popularitas, mabuk identitas agar dipandang dirinya paling berkualitas.

Bahkan, ada yang paling meresahkan di ruang WAG (WhatsApp Grup) seperti redaksi azan dirubah sesuai keinginan otak dan perut pribadinya. Jika hal tersebut benar adanya, sungguh menjadi bagian dari musibah akbar di zaman (Z). Perihal ini perlu diwaspadai serta diedukasi agar tidak sampai tumbuh subur.

Seperti kata jihad yang selalu dimaknai peperangan (membunuh sesama), sehingga lupa bahwasanya memerangi kebodohan, kelaliman, dan hawa nafsuh juga termasuk jihad. Tidak kalah menariknya, menjaga kestabilan ekonomi, mencari nafkah untuk keluarga, adalah jihad yang harus dilestarikan.

Namun sebaliknya, jika hubungan sosial rusak, perekonomian ambruk maka kita akan lebih mudah dilemahkan, baik pelemahan secara eksternal maupun secara internal. Di sinalah kewajiban para kaum melenialis untuk senantiasa ikut serta berperan aktif membendung gerakan perusak Negara Kesatuan Republik Indonesia lebih-lebih perusak ruh Islam yang santun.

Baca juga:  Gus Dur dan Madura

Maka, sangat penting bagi kita (manusia beragama) yang berada di bumi yang multi agama, sama-sama kembali merenungi, meratapi, kemudian menghadirkan tuntunan kanjeng nabi Muhammad sang estafet kemanusiaan. Agar Islam kita menjadi Islam yang senantiasa menciptakan kegembiraan, bukan permusuhan dan pertikaian.

Artinya, sekali ber-islam, sekali ber-Indonesia jangan pernah diganti pada yang lain. Kalau kata Buya Hamka “biarkan kemudi patah, biarkan layar robek, itu lebih mulia daripada membalik haluan pulang”.

Ungkapan di atas merupakan hikmah yang seharusnya dijadikan penegasan bahwa komitmen harus ditanam sejak dini agar tidak mudah terbawa arus, yang mana hanya ikan mati yang terbawa arus kemana ia akan sandar.

Tentu, akan lahir keyakinan bersama menjalankan tugas pokok agama dengan penuh kegembiraan. Ketika setiap personal mampu mengendalikan kehendak pribadinya maka perampasan terhadap kehendak orang lain pasti terhapuskan. Langkah ini sangat tidak mudah, tetapi berupaya menata keharmonisan, kemaslahatan, itu jauh lebih baik daripada tidak sama sekali berbuat apa-apa.

Sehingga boleh dikata, pengabdian yang pernah dilakukan saat ini adalah sejarah pada generasi selanjutnya, sekaligus bukti otentik bahwa ada orang hebat sebelum menobatkan diri menjadi orang hebat. Allahu a’lam Bisshowab

* Penulis merupakan Ketua Ranting Gerakan Pemuda Ansor Bancamara Giliyang Pulau Oksigen

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

banner auto