Opini  

Polarisasi Cebong Kampret

Cebong Kampret
Penulis adalah Alumni Universitas Tribhuwana Tungga Dewi Malang Jurusan Ekonomi Manajemen.
Oleh : Abu Rakso*

madiraindepth.com – Hadirnya ibadah lima tahunan sebagai momen yang sakral mengisyaratkan demokrasi tetap berjalan sebagaimana mestinya di era reformasi. Pemilihan presiden merupakan bentuk kepedulian penghuni negeri untuk memilih, mengangkat sosok yang pantas menjadi pimpinan tertinggi negara secara universal. Meskipun, pada pesta pemilihan umum 2019 lalu banyak menyisakan luka derita anak bangsa yang gugur di ajang demonstrasi, serta keresahan masyarakat yang mengucurkan darahnya demi membela setiap dukungannya masing-masing. Sehingga terciptalah adagium “cebong kampret” diantara pendukung A dan pendukung B.

Polarisasi tersebut mulai didengungkan sejak kampanye tahun lalu hingga saat ini. Seolah menjadi santapan empuk di tengah-tengah masyarakat, terkhusus menjadi sayur lodeh di dunia sosial media. Entah siapa yang mencetuskan pertama kali dan sampai kapan laqob tersebut akan berakhir. Serasa, istilah “Cebong Kampret” bukan istilah yang mudah luntur dan terkubur. Sebab, perihal tersebut telah mengakar dan terukir bahkan menjadi catatan di setiap individu.

banner auto

Setidaknya, para pelajar, para pemikir, para aktivis bahkan para honoris pun jangan sampai terbawah arus politik yang tidak sehat agar fanatisme politik tidak membawa virus yang membabi buta, menyudutkan dan mengkerdilkan sesama pendukungnya. Bagaimana pun juga, yang terpilih adalah bentuk ikhtiar manusia dan restu Tuhan. Jadi, tidak perlu saling menjatuhkan.

Baca juga:  Politik Lokal Ajang Perebutan Kekuasaan

Persaingan politik adalah suatu kewajaran, yang telah memberi ruang dan pelajaran arti penting demokrasi. Apabila kaum intelektual serta para pemilik akal normal juga menciptakan suasana yang tidak kondusif pertanda telah terjerumus ke dalam aras globalisasi yang buruk serta hanyut dalam arus politik yang ambruk.

Berdasarkan data empiris sosial media, baik di kolom komentar atau pun di sudut beranda bahwasanya penamaan “Cebong Kampret” muncul dari stigmatisasi politik praktis yang sebagian oknum over dosis. Artinya, menunjukkan bahwa telah kekeringan literatur dari efek kemarau moralitas.

Oleh sebab itu, mungkin perlawanan Cebong dan Kampret menjadi kisah sejarah yang memikat bagi generasi masa kini. Memang, jika dipandang dari nilai manajamen kata “Cebong Kampret” sebagai hasil pemikiran yang inovatif dan kreatif sehingga berakibat viral, mendunia dan lucu. Bahkan dari saking lucunya, menurut penulis pertempuran Cebong dan Kampret seakan lebih menarik perhatian mengalahkan pemikiran Anderson terkait dalam menyajikan hubungan yang bersifat dinamis yang terlupakan anatara gerakan anarkis internasional dengan gerakan nasionalis Filipina kala itu masih hijau yang terjadi di abad ke-19.

Adanya berbagai dinamika, para penyandang ilmu pengetahuan memiliki tuntutan untuk menjadi mediasi kerukunan antarumat. Sesuai syari’at bahwa yang menjadi pilihan utama adalah jalan tengah, dalam bahasa fiqh (al-Khairu Ausathuhu) perbuatan yang mulia (nikmat, baik) adalah yang tengah-tengah. Maka tidak heran ketika para pencinta poligami dengan semangat berdalil (Sunnah Rasul) karena mereka sudah merasakan bagaimana nikmatnya dunia selangkangan.

Baca juga:  Manusia dan Kresek Kebenaran

Ternyata, ada yang lebih penting dan berharga dari pembahasan Cebong, Kampret, dan poligami, yaitu kedamaian. Sebagaimana peristiwa yang dihadapi Kanjeng Rasul, terjadi kekacauan sengit antara kaum Hanifiyah dan kaum Kafiriyah. Sehingga untuk meredam konflik yang sangat genting tersebut Kanjeng Rasul menjadi peran sentral sebagai mediator guna menyatukan kedua belah pihak yang berkecambah dengan konfilik. Pada akhirnya, Kanjeng Rasul berhasil menciptakan perdamaian dengan sangat signifikan.

Perlu kiranya, para kaum terdidik mengambil ibarat (lambang kiasan yang terkandung) dalam kisah di atas. Artinya, jangan sampai terkooptasi oleh penamaan “Cebong Kampret” yang akan merusak kejernihan otak. Agar mampu mengambil jalan tengah sebagai alat perdamaian. Oleh karenanya, kaum bestari berujar, bahwa kesejahteraan, kerukunan dan kedamaian jauh lebih mulia nilainya dari sekedar memikirkan isi perut dan kedudukan. Wallohu A’lam Bisshowab. (*)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

banner auto