Opini  

Pisau dan Skematis Teroris

Abu Rakso. (Istimewa)
Oleh : Abu Rakso*

maduraindepth.com – Sosial media telah digemparkan dengan kabar tentang penusukan terhadap Syekh Ali Jaber. Perbuatan tersebut adalah perbuatan yang sangat tidak wajar bahkan kurangajar. Maka lebih tepatnya manusia yang melakukan tindakan kriminal tersebut mempunyai watak yang tidak jauh beda dengan sifat-sifat kebinatangan. Barangkali memiliki niat untuk terkenal di seantero jagat raya bahwa dirinya adalah sosok pejantan, namun dirinya mempunyai karakter sama dengan setan.

Kejadian penusukan yang telah diperankan serasa bukan tidak terstruktur, justru merupakan langkah yang sistematis bagi sosok teroris dalam melakukan aksinya. Sehingga visi-misinya penuh skematis dalam berupaya untuk melumpuhkan lawan.

banner 728x90

Konyolnya, sorotan kamera telah merekam perbuatannya serta amukan jemaah menjadi suatu nasib bagi dirinya.
Penyerangan yang serupa tidak hanya dirasakan oleh Syekh Jaber, tetapi juga pernah menyerang kepada bapak Wiranto tempo itu. Bahkan, ada sebagian orang mengatakan bahwa Mbah Moen (alm) juga pernah mendapat serangan dari orang yang tidak dikenal, tetapi beliau tidak sampai menjadi korban seperti yang telah dialami oleh keduanya; Syekh Jaber dan Wiranto.

Tindakan ekstremisme yang menimpa Wirantosempat menjadi perdebatan yang kontroversi di ruang sosial media. Ada yang bersuara adalah tidak ubahnya sinetron yang penuh sandiwara. Ada pula yang berujar adalah tindakan separatis manusia apatis. Karena gesekan semacam itu yang diinginkan si pelaku.

Baca juga:  Lebaran Ketupat, Antara Budaya dan Agama

Begitu juga dengan peristiwa yang saat ini menimpa Syekh Ali Jaber. Banyak yang berharap pemberitaan tidak hanya berjalan sepekan. Tentu, harus ada tindakan konkrit serta putusan keadilan oleh pihak terkait.

Penusukan dengan menggunakan senjata tajam di depan ratusan mata hadirin merupakan suatu bonus bagi pelaku, karena telah berhasil melancarkan penyerangannya. Sementara secara sudut pandang teologis dan idealisme kemanusiaan yang diembannya adalah perbuatan yang memalukan dan membuktikan dirinya kering akan wajah peradaban ilmu pengetahuan.

Paul pernah mengungkapkan dalam karyanya “For The Defense”, bahwa dalam dunia radikal-ekstrim dan teror dalam basis teologis tidak pernah dikenal dengan istilah, “martir Tuhan yang gagal,” tetapi yang ada adalah, “martir Tuhan yang tertunda”.

Semua perbuatan yang di luar batas moralitas kehidupan manusia baik berbangsa dan bernegara adalah suatu bukti tergolong pada pemberontakan yang nyata. Sebab, kapan pun dan dimana pun kekerasan menjadi musuh bersama. Sama halnya dengan mereka yang melakukan penyerangan yang tidak pernah memandang di mana, dan kepada siapa pun. Boleh jadi, strategi yang digerakkan menunggu momen.

Sebab, dengan momentum yang selalu dinanti oleh para teroris atau separatis, meraka siap bersabar dengan kondisi apapun demi mewujudkan cita-citanya. Tidak peduli dirinya selamat atau pun terlaknat yang terpenting secara publikatif dirinya sedang eksis. Sehingga kesadarannya pun sirna dan tak merasa bahwa dirinya adalah manusia yang paling “anjay”.

Baca juga:  Manusia dan Kresek Kebenaran

Bagi manusia ekstrim-radikal, diam di tempat menandakan dirinya sedang berada dalam hibernasi dan bersarang dalam sel telur kebekuan. Maka tidak heran, jika para pelaku kekerasan selalu tampil secara publikasi – kecuali ideologinya mengalami pergeseran makna. (*)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *