Opini  

NU Sebagai Infrastruktur Sosial yang Menyangga Kehidupan Berbangsa

Alimuddin, Mahasiswa Universitas Tribuana Tungga Dewi, Malang. (Foto Ali for MI)
Oleh : Alimuddin *

Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang diikat oleh Pancasila dan UUD 1945 serta berdiri di atas prinsip Bhinneka Tunggal Ika merupakan prinsip-prinsip final yang harus dipertahankan sampai kapanpun, oleh karena itu di usia yang ke 94 tahun Nahdlatul Ulama sebagai organisasi kemasyarakatan merasa perlu mengingatkan kembali seluruh elemen bangsa tentang khittah NKRI.

NKRI didirikan oleh para founding fathers dengan semangat kebersamaan, pancasila adalah konsensus yang menengahi seluruh perbedaan, tenda besar yang menaungi seluruh komponen bangsa tanpa membedakan asal-usul suku, ras, dan agama. Proses integrasi dipupuk untuk mengatasi segregasi horizontal dan vertikal dalam rangka menghapuskan diskriminasi sosial dan ekonomi. Seluruh warga negara sama kedudukannya di muka agama, tidak ada mayoritas dan minoritas, tidak ada ras dan etnis tertentu yang lebih unggul dibandingkan yang lain.

banner 728x90

Di tengah gelombang pergulatan politik, ekonomi, sosial dan cultural jalan satu-satunya harus kembali ke agama, para politisi hendaknya berhenti mengeksploitasi agama sebagai basis preferensi elektoral. Dalam pergulatan hari ini atas dasar keberadaannya Nahdlatul Ulama perlu mengingatkan tentang trilogi ukhuwwah sebagai fundamen membangun persaudaran yaitu, persaudaran keislaman (ukhuwwah Islamiyah), persaudaraan kebangsaan (ukhuwwah wathaniyah), dan persaudaraan kemanusiaan (ukhuwwah basyariyah/insaniyah). Dia yang bukan saudaramu seagama adalah saudaramu sebangsa setanah air.

Dia yang bukan saudaramu seagama dan sebangsa adalah saudaramu sesama anak manusia. Kebangkitan kembali ke agama hendaknya tidak melahirkan sektarianisme yang menimbulkan segregasi dan skisma sosial. Ambil saja seperti maraknya kampanye yang mengharamkan ucapan selamat Natal, sebagai contoh adalah wujud kegagalan mentransformasikan trilogi ukhuwwah itu.

Baca juga:  Sikapi RUU HIP, Ketua PCNU Sampang: Kami Mengikuti Arahan PBNU dan PWNU

Semakin kuat kembali ke agama justru semakin cenderung ke arah eksklusivisme dan intoleransi. Seharusnya kembali ke agama adalah kembali ke ajaran menghargai tanpa menghujat, lapang dada, adil, dan proporsional. Dalam konteks NKRI, beragama harus senafas dengan berbangsa, kita bisa menjadi pemeluk agama yang taat sekaligus warga negara yang baik.

Salah satu kekuatan bangsa Indonesia adalah peran dan keberadaan ormas-ormas keagamaan yang menjalankan fungsi kohesi sosial. Ormas-ormas keagamaan seperti Nahdlatul Ulama telah berperan penting menjadi jangkar sosial yang merekatkan bangunan sosial sebagai infrastruktur pembangunan. Tanpa keberadaan ormas-ormas keagamaan dan kemasyarajat, salah satunya seperti Nahdlatul Ulama, pemerintah akan kesulitan mengonsolidasikan masyarakat yang sangat majemuk seperti Indonesia.

Pancasila yang disusun secara hirarkis piramidal, runtutan sila-sila Pancasila terikat dan menjiwai sila-sila di bawahnya. Prinsip ketuhanan menjiwai dan mengandaikan lahirnya humanisme, humanisme membingkai dan hidup dalam taman sari nasionalisme, nasionalisme menjiwai demokrasi, dan demokrasi diperkuat dalam rangka menghasilkan keadilan sosial. Keadilan sosial yang sejatinya adalah output dari basic values penyelenggaraan kehidupan berbangsa dan bernegara merupakan nilai yang tertinggal dibanding yang lain.

Prinsip keadilan sosial belum menjiwai kehidupan politik, hukum, dan ekonomi, rakyat kebanyakan masih menjadi objek politik yang dimobilisasi dalam ajang politik lima tahunan, tetapi kemudian ditinggalkan dalam proses pengambilan kebijakan publik, hukum masih tajam ke bawah tetapi tumpul ke atas.

Baca juga:  REFLEKSI AKHIR TAHUN 2019 "Pamekasan Satu. Satu Pamekasan Untuk Satu Tujuan"

Ekonomi masih dikuasai oleh segelintir orang, proses integrasi digalakkan di level horizontal, tetapi tidak bisa optimal karena integrasi vertikal dalam bentuk pemerataan penguasaan sumber-sumber daya publik tidak berjalan dengan baik. Keadilan sosial adalah output (ghâyah) dari seluruh penyelenggaraan kehidupan publik. Tanpa bertumpu pada prinsip keadilan sosial, maka pembangunan sehebat apa pun hanya akan menjauh dan lepas dari jiwa Pancasila.

Pembangunan kohesi sosial ini tidak bisa diabaikan oleh siapa saja, terlebih jika kita menengok keadaan negara lain. Di negara-negara Timur Tengah dan Afrika yang mayoritas Muslim, mereka dilanda konflik yang parah pasca Arab Spring, saling bertikai di antara sesama orang Islam. Ini terjadi karena tidak adanya fungsi intermediasi yang dijalankan ormas-ormas keagamaan seperti di Indonesia.

Di Indonesia, tensi sosial bisa diredam secara berjenjang dari bawah hingga ke atas karena bekerjanya fungsi intermediasi yang dijalankan ormas-ormas keagamaan. Karena itu, ormas-ormas keagamaan dan kemasyarajatan seperti NU ini harus menjadi tulang punggung pembangunan dan menjadi infrastruktur sosial yang menyangga kehidupan kebangsaan.

Nahdlatul Ulama harus mampu melihat arah gerak pembangunan nasional yang belum mampu melenyapkan penyakit ketimpangan. Penyakit ini telah diwariskan sejak era kolonial yang menciptakan stratifikasi sosial berdasarkan penguasaan atas ekonomi, penyakit ini diwariskan turun temurun setelah Indonesia merdeka.

Baca juga:  Riset Membangun Kekuatan Negara

Terlihat dari langgengnya oligarki yaitu penguasaan atas aset ekonomi oleh segelintir orang, meski presiden dan pemerintahan silih berganti, tetapi oligarki tidak pernah pergi. Oligarki punya kemampuan adaptif untuk berkolaborasi dengan siapa pun yang berkuasa di negeri tercinta ini. Maka dari itu NU perlu mengingat serta mendorong penguasa untuk memotong mata rantai oligarki ini. Oligarki akan menimbulkan penyakit sosial berupa persepsi tentang ketidakadilan dan prasangka etnis yang dapat mengoyak integritas bangsa.

Selamat hari lahir Nahdlatul Ulama ke-94 meneguhkan kemandirian NU untuk perdamaian dunia, nilai-nilai kehidupan berbangsa dan bernegara kau suguhkan untuk keharmonisan bersama. Perisai perjuangan dalam pengabdian ditampilkan semata-mata menyejukkkan dunia, menciptakan kedamaian menyatukan bangsa-bangsa.

Boleh saya katakan, keberadaannya ibarat samudra yang merangkul seluruh nusa, tanpa pamrih menyebarkan kebaikan demi kemaslahatan, karena nilai-nilai para leluhur tetap dipertahankan sampai ujung tutup usia.

*Penulis adalah Mahasiswa asal Pulau Mandangin, Sampang. Dia menempuh study S1 Ilmu Komunikasi, konsentrasi Jurnalistik di Universitas Tribhuwana Tunggadewi Malang.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *