Opini  

Esensi Asketisisme Beragama

* Oleh : Abu Rakso

Sudah tidak kaget lagi, bahwa Indonesia adalah mayoritas berpenduduk muslim bahkan menjadi rujukan dunia tentang sikap bertoleransi. Islam merupakan agama yang paling besar di Nusantara, agama yang mewujudkan kemaslahatan bukan melahirkan kehancuran. Sepatutnya menjadi tauladan, karena Islam tidak mengajarkan kekerasan dalam ucapan dan tindakan. Dapat diketahui bersama, bahwa semua agama mengajak pada kebaikan dan menolak keburukan. Jika ada yang berbuat anarkis itu bukan salah agamanya tetapi kesalahan personalnya.

Agama adalah kiblat untuk senantiasa saling merangkul dalam tatanan kemanusiaan. Jadi, teringat akan ungkapan KH. Musthofa Bisri (Gus Mus) yang sangat puitis bahwa, “agama itu merangkul bukan memukul”. Maka, esensi agama yang santun tetap terpelihara dan tidak ada pergeseran makna oleh kepentingan-kepentingan sesaat dan sesat. Sehingga ruh agama dan negara Indonesia tetap harum di seantero dunia.

Mengapa kita harus merawat keharuman Indonesia? Karena Indonesia adalah negara yang besar, negara yang kaya akan budaya, dan mengedepankan toleransi antar Agama. Sampai saat ini, budaya terus dilestarikan, toleransi tetap dikokohkan disetiap situasi, guna mengenang perjalanan para leluhur dalam melakoni kedamaian. Sebab, adanya budaya dan toleransi kita lebih paham mengenai arti penting kebersamaan, tanpa melihat kelas sosial.

Jelas. Ketika kita kehilangan budaya dan toleransi, maka secara samar kita kehilangan jejak untuk meraih keharmonisan dalam berwarga. Karena, akhir-akhir ini, tanpa jeddah mendengungkan kecintaannya terhadap agama sehingga lupa mencintai manusia. Artinya, dengan maraknya ungkapan bela agama atas klaim penistaan di bumi pertiwi mengakibatkan perpecahan, permusahan sesama anak bangsa. Sementara agama diturunkan untuk merubah pemikiran-pemikiran primitif menuju manusia yang produktif dan aktif bukan provokatif. Sehingga kemaslahatan menjadi vibrator yang positif.

Baca juga:  Omnibus Law di Indonesia Untuk Siapa?

Manuskrip naskah keilmuan sebagai penguat menghadapi kegentingan yang melanda bangsa. Mencerminkan sifat asketis merupakan suatu keniscayaan menjadi perekat negara. Maka, dengan demikian agama pembawa nafas persaudaraan. Tentu, jika Nasionalisme dengan Agamisme senantiasa dibenturkan maka Indonesia akan disuriahkan, menjadi Indonestan. Pertumpahan darah akan terus tercecerkan. Padahal, Agamis dan Nasionalis merupakan mata rantai yang tak dapat dipisahkan sebagai alat penangkal kekerasan. Tentu, generasi milenial saat ini harus semakin bijak dalam mengamalkan ilmu yang telah di dapat dari sejak sekolah dasar hingga perguruan tinggi. Agar republik ini tidak hancur oleh benturan perbedaan yang seakan tak berujung.

Ketika perbedaan dijadikan Cinta dan Rahmat, maka kebersamaan ini akan langgeng sampai dunia tidak lagi berotasi dan berevolusi. Setiap pemilik akal normal serta penyandang hati lapang, menggunakan akal pikiran dan hatinya pada jalan yang bermoral maka tidak tertutup kemungkinan dunia akan selamat dari perpecahan. Jika boleh, di bagian ini penulis akan mencatat kalimat sederhana bahwa, jika tidak karena cinta manusia diciptakan, niscaya kehidupan di dunia yang luas ini akan lebih sempit dari lubang biawak.

Maka, patut rasanya bahkan wajib hukumnya untuk memperjuangkan kebersamaan dalam beragama, berbangsa, dan bernegara. Sehingga Nusantara benar benar menjadi “baldatun Toyyibatun” (negara yang baik, negara yang damai) yang sama-sama menjadi harapan besar kita.

Baca juga:  Belajar dari Kulon Progo

Banyaknya polemik yang melanda negeri ini, dari isu terorisme, anarkisme, radikalisme, dan isme-isme yang lain merupakan kedangkalan dan kejumudan oknum dalam memahami agama sehingga lupa terhadap peran kemanusiaan. Apabila tidak sama persis dengan pemikiran kelompoknya dicap kafir dan halal dibunuh. Mungkin mereka lupa atau memang tidak pernah dikaji tentang Firman Tuhan dalam kitab Agungnya (Al-Qur’an) yang bernarasi:
Hai Manusia, sesungguhnya aku menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal (satu sama lain). Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling takwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.

Berdasarkan Firman Tuhan diatas, memberi isyarat bahwa terbentuknya Maya pada dan diutuskannya manusia sebagai pengelola planet bumi adalah merupakan Rahmat yang sangat luar biasa. Jadi, tidak perlu kita memperdebatkan ketidak samaan diantara kita, karena manusia lahir ke dunia untuk menebarkan kasih sayang sesama makhluq dan mengabdikan diri secara totalitas kepada sang Kholiq.
Sebab, sikap mendasar bagi manusia selaku kholifah di muka bumi adalah menjunjung tinggi persaudaraan, dan menjalankan roda kepemimpinannya secara jujur. Bukti kecintaan seorang pemimpin terhadap rakyat dan negara adalah tidak melakukan korupsi. Serta bukti kecintaan seorang hamba kepada Tuhannya adalah melaksanakan apa yang telah dianjurkan dan menjauhi apa yang telah di larang. Katika perihal itu dapat diamalkan, membuktikan bahwa kita tergolong orang-orang yang “Ulul Albab”.

Baca juga:  Episentrum, Petaka Dalam Ironi Keadilan

* Penulis adalah alumni Univ. Tribhuwana Tungga Dewi Malang Jurusan Ekonomi Manajemen.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

banner auto