maduraindepth.com – Pengurus Himpunan Mahasiswa Prodi Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (HMP PPKn) STKIP PGRI Sumenep menggelar nontor bareng (nobar) dan bedah Film Pesta Oligarki. Kegiatan tersebut, merupakan rangkaian dari acara pelantikan pengurus periode 2024-2025 yang dilaksanakan pada Kamis (7/11).
Sekretaris Umum HMP PPKn STKIP PGRI Sumenep Moh. Nurul Hidayatullah mengungkapkan, kegiatan nobar dan bedah Film Pesta Oligarki itu adalah untuk edukasi politik terhadap masyarakat. Khususnya, kepada mahsiswa di lingkungan kampus setempat.
“Ini untuk memberikan pemahaman terkait sistem demokrasi di Indonesia yang dipengaruhi oleh oligarki,” ucapnya.
Dalam agenda nobar dan beda film karya Wathdoc Documentary yang disutradarai oleh Ari Trismana itu, menghadirkan tiga narator diskusi. Meliputi, Praktisi Hukum Marlaf Sucipto, Akademisi Hukum Imam Syafi’i dan Jurnalis maduraindepth.com Moh. Busri.
Marlaf Sucipto menyampaikan, bahwa Film Pesta Oligarki memang layak untuk ditonton serta didiskusikan oleh kalangan mahasiswa. Terutama, dalam momentum seperti saat ini yang hampir menghadapi Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serentak 2024.
“Mahasiswa adalah ujung tombak pengawal demokrasi,” ungkapnya saat melangsungkan diskusi.
Maka dari itu, lanjut Marlaf, di tengah situasi keraguan masyarakat terhadap nilai-nilai demokrasi di Indonesia, mahasiswa harus hadir di garda terdepan. Tujuannya, tidak lain adalah untuk mengawal pelaksanaan pesta demokrasi yang jujur dan adil.
“Pengaruh oligarki terhadap sistem politik di Indonesia, memang sangat luar biasa. Mengenai itu, maka pendidikan politik harus digencarkan melalui generasi berpendidikan seperti mahasiswa,” tegasnya.
Sementara itu, Imam Syafi’i yang merupakan dosen di STKIP PGRI Sumenep, juga mendorong mahasiswa agar lebih aktif mengawal demokrasi. Menurutnya, mahasiswa harus bisa membuktikan kontribusinya sebagai generasi perubahan.
“Seharusnya, kekritisan mahasiswa dalam berpikir dapat diterapkan secara nyata. Yaitu, dengan mengawal tiap potensi kecurangan dan pelanggaran pada pelaksanaan pesta demokrasi,” katanya.
Eksistensi mahasiswa, lanjut dia, tidak bisa sekadar hidup dalam meja-meja diskusi semata. Tetapi, harus ada gerakan atau aksi nyata yang dilakukan di tengah masyarakat. Jika situasi saat ini sudah dianggap krisis nilai-nilai demokrasi, maka hal demikian wajib untuk disuarakan sebagai langkah edukasi pendidikan politik.
“Jangan pernah pesimis untuk mengawal kebenaran. Sebab, mahasiswa adalah ujung tombak pengawal demokrasi,” tegasnya.
Moh. Busri juga menyampaikan pendapat yang sama. Mahasiswa merupakan kelompok pemuda berpendidikan yang kritis. Melalui modal tersebut, tentu mahasiswa memiliki pengaruh luar biasa dalam mengawal demokrasi.
“Dalam Film Pesta Oligarki, banyak sekali dugaan pelanggaran yang diungkap pada saat pelaksanaan pemilu 2024. Hal itu, tidak boleh terjadi kembali pada pesta demokrasi berikutnya,” kata dia.
Menjelang pelaksanaan Pilkada Serentak 2024, mahasiswa diminta perperan aktif mengawal potensi pelanggaran dan kecurangan yang dimungkinkan terjadi. Tiap proses tahapan pelaksanaan pilkada yang dianggap menyalahi aturan, dapat didokumentasikan dan dilaporkan kepada lembaga berwenang.
“Mahasiswa tidak boleh diam saja ketika menemukan dugaan pelanggaran. Sebab, jika kesalahan dibiarkan terjadi berulang-ulang, akan dianggap sebagai sebuah kebenaran,” pungkasnya. (bus/*)