Opini  

Saatnya Kyai Kembali ke Khittah

Muhammad Aunul Abied Shah
Muhammad Aunul Abied Shah.
Oleh: Muhammad Aunul Abied Shah*

maduraindepth.com“Kyai, dimanakah dirimu kini?”. Mungkin itulah ungkapan kerinduan masyarakat dan santri karena tidak mendapatkan gurunya ada saat mereka membutuhkan pengayoman, perlindungan, bimbingan dan teladan. Tidak dipungkiri bahwa masyarakat Madura secara umum tetap menghormati guru-gurunya. Tetapi yang menjadi persoalan adalah ketika banyak keturunan guru yang tidak menghormati teladan para pendahulunya. Lalampa bengeseppo yang baik mulai banyak ditinggalkan, seperti mengajar mengaji, menjawab persoalan-persoalan hukum sehari-hari yang muncul di masyarakat, mendampingi masyarakat saat mereka mengalami persoalan hidup, dan sebagainya.

Seorang kyai yang dulunya menjadi pemimpin masyarakat, yang membersamai masyarakat dalam suka dan duka, kini berubah menjadi golongan elitis yang mempunyai dunianya sendiri. Kyai yang dulunya identik dengan keistiqamahan dalam memimpin ibadah dan mengajar kitab kuning setiap waktu, kini tak lebih dari manusia berlabel genetik yang ikut-ikutan terseret arus perubahan sosio-economical politics nan keras. Tak sedikit kyai masa kini yang lebih sibuk dengan artificial business-nya daripada dengan mengurusi santri dan kitabnya.

banner 728x90

Padahal ke depannya tantangan masyarakat akan semakin berat. Sejak 1400-an tahun yang telah lampau, Nabi Muhammad SAW sudah mengingatkan bahwa godaan dunia akan semakin dahsyat. Sehingga orang yang beriman di waktu pagi tak mampu menahan diri untuk melakukan perbuatan kafir di sore hari. Beliau juga mempunyai nubuat bahwa suatu saat nanti orang yang konsisten berpegang teguh pada agamanya bagaikan menggenggam bara api nan panas.

Baca juga:  Mahalnya Sebuah Identitas, Nasib Guru Honorer di Pusaran Politik

Lalu siapakah yang akan menjadi pemimpin dan pendamping mereka di saat itu kalau bukan seorang kyai yang alim, amil, waskita dan bijaksana? Seorang kyai yang mewarisi keilmuan, kepemimpinan dan pengayoman yang sesuai dengan teladan Kanjeng Nabi ? yaitu beliau yang memberikan “pendampingan melekat” kepada masyarakat sahabat pada masa itu – langsung mengingatkan mereka kalau salah jalan, mendampingi mereka dalam kesusahan, menguatkan mereka dengan pancaran spiritual -. Lebih dari itu, Kanjeng Nabi SAW adalah pemegang otoritas yang mumpuni sebagai pemimpin yang mengingami gerbong perubahan sosial -dari keburukan menuju kebaikan yang terang benderang -.

Menurut EJH Carr, selama otoritas itu masih ada dan kuat memegang kontrol masyarakat, maka jalannya perubahan sosial yang berlangsung dalam masyarakat tetap akan berlangsung dengan baik dan teratur menuju tujuan yang diharapkan. Kalau tidak, maka anarkisme (kekacauan dan ketidakteraturan) yang akan menggantikannya.

Dan masyarakat Madura khususnya, juga Indonesia umumnya, pada saat ini memasuki era krisis multi-dimensi. Yaitu sebuah krisis yang terniscayakan sebagai akibat langsung-tidaklangsung dari terjadinya pergeseran dan pergesekan di ranah internasional, nasional dan regional. Maka, dalam pusaran krisis ini, sudah menjadi kelumrahan pula bahwa masyarakat akan mencari pegangan dan teladan. Dan siapakah yang mampu mengisi “slot kosong” tersebut di masa kini, di saat masyarakat umumnya merasa “terancam” akibat perubahan yang dipaksakan oleh relasi kuasa yang tengah berlangsung, sedangkan mereka – di sisi lain – kehilangan kepercayaan kepada semua pihak?

Baca juga:  Lebaran, Silaturahmi, dan Physical Distancing

Tonton Video

[td_block_video_youtube playlist_title=”” playlist_yt=”rVfBnoyGl68, BpqRqkfLmCQ” playlist_auto_play=”0″]

Di Madura, harapan pertama tentunya digantungkan kepada para kyai yang ditunggu selalu sabda bijaksananya oleh santri dan masyarakat. Maka, para kyai par excellence di masa kini perlu kembali ke khittah Rasulullah SAW: meneladani beliau secara utuh zhahiran wa bathinan, dalam aspek eksoteris dan esoteris, dalam aspek ritual dan mempunyai kepedulian sosial. Sungguh celaka Madura ini kalau kehilangan barokah hidup, disebabkan kyainya tidak lagi peduli pada orang-orang alit. Lebih celaka lagi Indonesia ini kalau para ulama dan kyai tidak didengar suaranya, sampai menegaskan: lepas tangan lepas tanggungjawab kalau pemerintah keluar dari rel-rel kebaikan dan kebenaran!. (*)

* Penulis merupakan Khadimul ‘Ilm wat Thariqah An-Naqsyabandiyah, Pengasuh PP Darus Salam Torjun Sampang, anggota BASSRA (Badan Silaturrahmi Ulama Pesantren Madura).

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *