maduraindepth.com – Adalah Pulau Mandangin. Pulau ini dihuni puluhan ribu jiwa. Dahulu, sebelum tanahnya ditanami rumah-rumah, terbentang ladang dengan batang-batang jagung yang melambai-lambai dan bergoyang-goyang. Selain jagung, singkong, timun, bengkoang, dan aneka umbi-umbian menjadi jantung kehidupan masyarakat Desa Pulau Mandangin.
Era penjajahan hingga masa detik-detik berakhirnya orde baru, penduduk Pulau Mandangin memiliki dua mata pencaharian mayoritas, yaitu nelayan dan bercocok tanam. Namun, selang masa berikutnya hingga hari ini, sawah ladang tidak lagi membentang. Semua hilang. Tidak berbekas. Resmi, petani-petani lokal Desa Pulau Mandangin telah punah.
Nyaris serupa, kini nasib kehidupan nelayan (reng majang) tidak menentu. Dulu, profesi ini sangat menjanjikan. Sekali berangkat, berton-ton ikan tertangkap. Nyaris, orang-orang tua kita bersorban dan dipanggil pak haji karena profesi ini. Karena profesi ini pula, anak-anaknya dipondokkan (jadi santri), dan mengenyam pendidikan tinggi. Karenanya pula, mereka mampu bangun rumah. Mewah-mewah. Hingga muncul semacam adagium di tengah-tengah masyarakat Pulau Mandangin, “jika kehidupan nelayan bergerak, maka bergerak pula seluruh roda perekonomian masyarakat”. Nelayan benar-benar hidup dan memberi kehidupan bagi masyarakat Pulau Mandangin.
Namun, setahun bahkan beberapa tahun terakhir ini berbeda. Masyarakat Desa Pulau Mandangin alami masa sulit. Setahun lebih laep (paceklik). Tidak ada nelayan yang melaut, atau kalau terpaksa melaut mereka pulang dengan tangan hampa. Demikian ini terjadi -menurut penuturan mereka- di laut saat ini sedang musim paceklik ikan.
Musim paceklik ikan tidak hanya melanda nelayan pursein, tapi juga nelayan kecil seperti nelayan jaring bubuh atau nelayan menangkap rajhungan (kepiting). Jika pun dipaksakan melaut, hasil tangkapannya hanya cukup untuk biaya operasional saja. Biaya bekal melaut, dan biaya solar. Mereka terpaksa menjual perabotan rumah tangga mereka demi memenuhi kebutuhan sehari-hari, sebagaimana dilansir maduraindepth.com.
Dalam skala nasional, profesi nelayan kita telah berkurang 44,9 persen dalam sepuluh tahun. Pada 2003, jumlah rumah tangga usaha penangkapan ikan mencapai 1,6 juta, namun pada 2013 hanya tinggal 868 ribu keluarga. Hal yang sama juga terjadi di Desa Pulau Mandangin, pedagang-pedagang ikan yang dulunya banyak kini banyak yang gulung tikar.
Minimnya penghasilan yang didapat ditambah besarnya risiko saat melaut membuat penduduk pesisir pantai lebih memilih profesi lainnya yang memberikan penghasilan lebih baik. Maraknya illegal fishing yang mengeksploitasi hasil laut dengan menggunakan kapal ukuran yang jauh lebih besar, teknologi yang lebih canggih membuat para nelayan kecil makin sulit mendapatkan ikan di laut.
Demikian ini ditambah lagi dengan kebijakan pemerintah yang tidak pro nelayan lokal dengan melakukan impor ikan dari negara tetangga. BPS (Badan Pusat Statistik) merilis data perdagangan internasional periode 2019. Sepanjang bulan Agustus 2019, tercatat ekspor ikan kita jatuh 9,99 persen. Kemudian bandingkan dengan data impor yang terkontraksi sebesar 15,6 persen. Memandang temuan ini, Front Nelayan Indonesia (FNI) menyebutnya sebagai anomali (keanehan) impor ikan.
Spesies ikan di laut Indonesia mengalami penyusutan yang sangat drastis, bahkan nyaris mendekati kepunahan. Demikian ini terjadi disebabkan rusaknya karang yang berfungsi sebagai tempat ikan berkembang biak dan salinitas hingga pencegahan abrasi pada pantai. Terumbu karang di Indonesia yang masih dikategorikan baik hanya 6 sampai 24 persen, sedangkan yang bersifat cukup baik atau terancam rusak mencapai 35 persen, dan 35 persen sisanya telah mengalami kerusakan atau telah punah.
LIPI merilis temuan, kondisi terumbu karang laut Indonesia secara mayoritas mengalami kerusakan. Menurutnya, demikian terjadi disebabkan maraknya jual beli terumbu karang secara bebas. Sementara itu, Tirto.id menyebutkan, bahwa lebih dari separuh terumbu karang di wilayah tanah air mengalami kerusakan yang cukup parah. Hal yang serupa dinyatakan oleh Trubus.id, bahwa 2,5 juta hektare terumbu karang yang tumbuh di dasar laut kita dan separuh darinya (50 persen) mengalami kerusakan serius.
Rusaknya terumbu karang ini juga terjadi di laut Pulau Mandangin. Panglimanews.com menyebutkan, bahwa 70 persen terumbu karang di perairan Pulau Mandangin rusak. Hal ini disinyalir akibat dari alat tangkap nelayan lokal yang tidak ramah lingkungan dan beberapa penduduk yang melakukan penambangan batu-batu karang. Untuknya maka, tidak berlebihan jika dikata bahwa minimnya perolehan ikan nelayan Pulau Mandangin itu semua karena ulah mereka sendiri.
Problem laut Pulau Mandangin cukup pelik untuk dibicarakan. Satu sisi mereka letakkan jantung hidup mereka ke dalam dasar laut, di sisi yang berbeda mereka tidak serius melapangkan kesadaran untuk jotaratajo (bahu membahu, bersama-bersama) merawat laut. Sampah plastik dan semacamnya masih mereka lemparkan ke tengah laut, penambangan pasir tepi pantai masih mereka keruk dengan dalam, terumbu karang masih mereka hancurkan, dan disaat yang sama mereka gantungkan hidup mereka, hidup anak cucu mereka ke tengah laut.
Pada akhirnya, sumber makan kita habis, ikan kita habis. Kita (penduduk Pulau Mandangin) sedikit demi sedikit beralih profesi untuk sekedar menghirup nafas. Laut seperti tidak menjanjikan apa-apa, mereka berbondong-bondong alih profesi. Supir bentor, pedagang online (yang kini sudah banyak berjubel di media sosial), berbondong-bondong merantau melintas pulau, bahkan ke luar negeri menjadi TKI menjadi solusi. Laut yang seharusnya melimpah, memberi kehidupan tanpa lelah, semua ditinggal pergi.
Singkat kata, reng majang (profesi nelayan) mulai terancam punah. Jika hal ini dibiarkan terus terjadi, bukan tidak mungkin nasib profesi nelayan Pulau Mandangin tinggal nama, sebagaimana yang pernah terjadi pada profesi tani yang dulunya menjadi profesi mayoritas kedua setelah nelayan. Untuk itu, dimulai dari hari ini, rawat laut kita, pelihara ia bersama-sama. Jaga ia untuk kita warisi pada anak cucu nanti. Sebab, jelesveva jayamahe, di laut kita Jaya!
Oleh: Holikin, S.Pd.I*
*) Penulis buku “Narasi Cinta”, “Pendidikan Karakter ala Syekh Abdul Qodir Al-Jailani”, dan “Asa di Ujung Senja”, tinggal di sebuah pulau terpencil di Kab. Sampang.