Kuasa Hukum Sri Suhartatik Mengaku Miliki Bukti Lebih Kuat, Kasus Sengketa Tanah – Bagian 2

sengketa tanah pamekasan nenek bahriyah sri suhartatik
Kuasa Hukun Sri Suhartatik, Sulaisi Abdurrazaq. (Foto: IST)

maduraindepth.com – Sri Suhartatik tidak ingin kalah dalam mempertahankan hak kepemilikannya atas tanah yang tengah sengketa di Kelurahan Gladak Anyar, Pamekasan. Melalui Kuasa hukumnya, Sulaisi Abdurrazaq, dia mengakui lebih kuat untuk memenangkan perkara di meja hijau.

Sulaisi menyampaikan, SHM atas nama Fathollah Anwar yang merupakan milik kliennya, lebih kuat dibandingkan SHM atas nama Bahriyah. Karena, tahun terbit SHM atas nama Fathollah Anwar jauh labih awal, yaitu tercantum 1999.

“Kemudian, pada tahun 2017, terbit SHM baru di objek yang sama atas nama Bahriyah. Sehingga mengakibatkan saling klaim,” ungkapnya.

Seharusnya, lanjut Sulaisi, jika sudah terbit SHM maka semestinya tidak ada sertifikat baru di objek tanah yang sama. Jika pada kenyataannya hal demikian terjadi, maka diduga kuat ada mafia di internal BPN Pamekasan.

“Bagi saya, yang kuat tetap sertifikat atas nama Fathollah Anwar,” tegasnya.

Menurutnya, dalam kasus ini ada yang dianggap aneh. Yaitu pada tahun 2016 ditemukan SPPT atas nama Bahriyah. Sedangkan, objek tanah tersebut sudah ber-SHM atas nama Fathollah Anwar dari tahun 1999.

“Klien saya menduga ada pemalsuan SPPT. Makanya, dilaporkan ke Polres Pamekasan,” tegasnya.

Setelah dilakukan penelusuran lebih lanjut, ternyata yang diduga bermasalah bukan sekadar penerbitan SPPT. Tetapi, Nenek Bahriyah juga diduga memanipulasi dokumen kependudukan. Tujuannya, adalah untuk menguatkan hak kepemilikannya atas tanah di Kelurahan Gladak Anyar, Pamekasan.

Baca juga:  Urat Nadi Dipotong, Pria Ini Ditemukan Tergeletak di Depan Toko

Kata Sulaisi, tahun lahir Nenek Bahriyah yang tercantum di SHM adalah 1963. Sedangkan, tanah tersebut diklaim dihibahkan kepada Nenek Bahriyah dari Pak Butum, pada tahun 1975. Maka dari itu, dapat diperkirakan bahwa saat itu usia Nenek Bahriyah masih 12 tahun.

“Ini kan tidak rasional, karena Nenek Bahriyah pada saat itu masih di bawah umur. Yaitu berusia 12 tahun,” katanya.

Untuk menguatkan hal tersebut, maka Nenek Bahriyah diduga melakukan manipulasi dokumen kependudukan dengan mencetak kartu tanda penduduk (KTP) baru pada tahun 2012. Tahun lahirnya diubah menjadi 1953.

“Jadi, dibikin lebih tua. Supaya, hibahnya tidak di bawah umur. Yaitu menjadi 22 tahun,” ujar Sulaisi.

Nenek dan Keponakan Saling Klaim Sebagai Ahli Waris

Kasus sengketa lahan antara Nenek Bahriyah dengan keponakannya, Sri Suhartatik tidak kunjung menemukan ujung penyelesaian. Keduanya sama-sama mengklaim sebagai ahli waris atas lahan yang sedang disengketakan.

Kuasa hukum Sri Suhartatik, Sulaisi Abdurrazaq mengungkapkan, bahwa Nenek Bahriyah mengakui mendapatkan tanah atas hasil warisan dari ayahnya, Pak Butum. Sedangkan, Sri Suhartatik juga mengkalim, bahwa orang tuanya merupakan ahli waris atas tanah tersebut.

“Titik mengakui, tanah itu adalah milik ayah dan ibunya, yang merupakan saudara Bahriyah,” ujarnya.

Untuk membuktikan hak kepemilikan atas tanah yang sah menurut hukum, maka saat ini sedang dilakukan sidang perdata di PN Pamekasan. Prosesnya, masih berlangsung pada tahap pembuktian.

Baca juga:  Ragam Pakaian Adat Warnai Upacara Sumpah Pemuda di Lapas Kelas IIA Pamekasan

Kata Sulaisi, Lurah Gladak Anyar yang menjabat pada rentang waktu sekitar tahun 2015-2017 sudah diminta keterangan dalam persidangan sebagai saksi. Kebetulan, tenggang waktu tersebut merupakan tahun proses pengajuan SHM atas nama Bahriyah ke BPN Pamekasan.

Bahkan, Lurah yang menjabat saat ini juga telah diminta keterangan oleh Majelis Hakim dalam proses persidangan perkara perdata di PN Pamekasan. Berdasar hasil keterangan dua saksi tersebut, tidak ada yang menguatkan bahwa Bahriyah benar-benar menjadi penerima hibah.

“Dua saksi menyampaikan keterangan dalam persidangan, bahwa tidak ada akta hibah atas tanah tersebut,” ucap Sulaisi.

Mengenai dasar penerbitan SHM atas nama Fathollah Anwar yang saat ini berada di tangan Sri Suhartatik, kata Sulaisi, merujuk pada dokumen yang sama. Yaitu Letter C, nomor 2208 yang merupakan hasil hibah dari Letter C, nomor 1317, atas nama Pak Butum.

“Hanya, Letter C, nomor 2208 itu, tidak disebutkan nama pemiliknya. Jadi, keduanya (SHM atas nama Fathollah Anwar dan Bahriyah) memiliki dasar yang sama,” tegasnya.

Kuasa Hukum Suhartatik Sebut Sengketa Tanah Harus Diselesaikan di PA

Sulaisi Abdurrazaq sebagai Pengacara dari tergugat Sri Suhartatik mengatakan, kasus sengketa tanah yang dialami kliennya harus diselesaikan secara komprehensif. Sedangkan, untuk mencapai semua itu, tidak dapat diselesaikan hanya dengan persidangan di PN Pamekasan.

Baca juga:  Polres Pamekasan Perketat Penjagaan Pasca Ledakan Bom di Polrestabes Medan

Menurutnya, perkara sengketa tanah ini harus diselesaikan melalui persidangan di Pengadilan Agama (PA). Karena, kata dia, masalah dasar dari kasus tersebut adalah tentang harta peninggalan dari Pak Butum.

“Masalah dasarnya, adalah harta peninggalan dari Pak Butum yang belum dibagi waris dan belum ditentukan ahli warisnya. Sehingga terjadi saling klaim,” katanya.

Dari hal demikian, untuk menyelesaikan persoalan secara mendasar, maka diperlukan penyelesaian hukum melalui PA. Supaya, dapat ditentukan secara jelas masing-masing ahli waris yang berhak mendapatkan harta peninggalan Pak Butum.

“Dengan begitu, maka masalah ini akan selesai secara komprehensif. Karena, masalah tersebut adalah perselisihan keluarga. Yaitu antara bibik dan keponakan,” tuturnya.

Jika sekadar dilakukan penyelesaian hukum terkait perkara perdata dan pidananya, maka masih dianggap berpotensi menyulut persoalan yang lebih besar dan berkelanjutan. Karena, bisa saja ada gugatan baru dari ahli waris lain yang juga merupakan keturunan Pak Butum.

Setelah menemukan jalan keluar mengenai pembangian harta waris berdasar hasil sidang di PA, maka dapat dilakukan mediasi lebih lanjut dengan melibatkan semua pihak. Sehingga, kasus pidana dan perdata yang sedang terjadi, bisa diselesaikan secara kekeluargaan.

“Dengan begitu, maka bisa sama-sama mendapatkan haknya. Bahkan, tidak akan ada dendam sesama famili. Makanya, harus diselesaikan melalui jalan tengah,” pungkasnya. (bus/*)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *