Fadol ke BPS: Anak yang Mondok Jangan Dianggap Putus Sekolah

Ketua DPRD Sampang
Ketua DPRD Sampang, Fadol menemui wartawan di Graha Paripurna. (FOTO: Alimuddin/MiD)

maduraindepth.com – Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten Sampang, Fadol meminta Badan Pusat Statistik (BPS) memperbaharui data kemiskinan. Menurutnya, meski sulit diperbarui tapi pergantian data itu sangat diperlukan.

Selama ini, dia mengaku tidak percaya dengan angka kemiskinan yang ada di Kabupaten Sampang. Meski acap kali mengalami penurunan, posisinya tetap saja paling buncit.

banner auto

“Kita sering membicarakan Sampang itu paling miskin, ini salahnya di mana kok kita bisa miskin, kita semacam tidak percaya dengan data itu,” ucap Fadol pada maduraindepth.com, Selasa (31/1).

“Saya pikir ini harus ada pembaharuan data, tapi baik legislatif maupun eksekutif untuk merubah data itu sudah tidak mungkin,” katanya lagi.

Fadol menyinggung soal anak usia sekolah yang masuk sebagai indikator angka kemiskinan di Sampang. Padahal banyak siswa yang masuk atau sekolah di pesantren. Mereka oleh BPS dicatat sebagai anak putus sekolah.

Hal itu yang menjadi pemicu mengapa kemiskinan dan indeks pembangunan manusia (IPM) di Kabupaten Sampang selalu berada di urutan paling bawah. “Saya kadang bertanya apakah karena memang banyak anak usia sekolah di Sampang ini hanya mondok, tapi oleh BPS dicatat sebagai anak putus sekolah,” ucap Fadol mempertanyakan.

Baca: Tahun 2022 Angka Kemiskinan di Sampang Menurun

Legislator yang karib dengan sapaan ustadz itu menegaskan, jika BPS tetap menganggap anak yang mondok sebagai anak putus sekolah, maka eksekutif dan legislatif akan kesulitan menurunkan angka kemiskinan dan menaikkan IPM. Meski upaya yang dilakukan sudah mati-matian.

Baca juga:  Pimpinan Definitif Dilantik, Fadol Pimpin DPRD Sampang Lima Tahun Ke Depan

Seharusnya, tegas Fadol, BPS memasukkan pondok pesantren sebagai kriteria yang memiliki kuesioner sendiri. “Sekuat apapun kita berusaha agar meningkatkan IPM di Sampang, itu akan tetap saja rendah. Kecuali pendidikan di pesantren itu masuk dalam kriteria BPS sebagai data,” ucapnya.

Bahkan pihaknya juga sudah menyampaikan akan pentingnya pembaharuan data itu saat Musyawarah Perencanaan Pembangunan (Musrenbang) Kabupaten Sampang, tentang perubahan rencana kerja pemerintah daerah.

“Kalau di Dewan sendiri sudah menyampaikan saat Musrenbang perubahan RKPD, jadi di BPS itu perlu dibenahi datanya dulu,” ucap Fadol.

BPS: Harus Sekolah Formal

Sementara, Koordinator Fungsi Sosial Badan BPS Sampang, Wahyu Wibowo mengaku, pondok pesantren di Sampang memang banyak. Namun konsep pengambilan data sesuai aturan BPS pusat dalam menilai IPM harus sekolah formal.

Sedangkan, ponpes yang tersebar di Sampang masih sedikit memilki kurikulum yang setara dengan sekolah umum. “Memang banyak, tapi rata-rata Ponpes di Kota Bahari belum memiliki pendidikan yang setara dengan sekolah umum,” ungkapnya saat dikonfirmasi, Selasa (31/1).

Pada saat porses survei, Wahyu mengaku memang terbentur dengan konsep. Artinya mereka yang mondok di pesantren dan tidak berkurikulum, maka mereka dianggap sebagai putus sekolah.

Sementara data yang diambil BPS melalui sampel, dalam artian tidak datang langsung ke Ponpes. “Metode pengambilan data yang dilakukan BPS Sampang adalah dengan survei melalui pengambilan sampel, kalau menggunakan sensus kami terkendala dana,” ucapnya lagi.

Baca juga:  Ketua DPRD Apresiasi Langkah Bupati Slamet Junaidi untuk Pembangunan Sampang

Disebutkan, pada porses survei itu, ketika responden ditanyakan soal status sekolah dan menjawab sekolah di pesantren. Maka tim survei BPS akan tanyakan lagi apakah ada kurikulumnya atau tidak.

“Kalau tidak ada program kurikulum umum resmi, kami anggap mereka tidak sekolah dan satu orang bisa mewakil lainnya yang satu pondok itu,” tutupnya. (Alim/MH)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

banner auto