Eskatologi, Refleksi di Cermin Hati

Resonansi
Mas@be Zain
Oleh : Mas@be Zain*

maduraindepth.com – Pekerjaan terumit dalam hidup, sejatinya, adalah sabar. Ia seperti ekspresi penikmat kopi yang diseruput tanpa gula. Seseorang yang minum kopi tanpa gula, merasa pahit. Tetapi ketika cairan kopi itu menelusup ke tenggorokan, penikmat kopi konsisten pada wajah yang tersenyum; suatu fragmentasi yang berbeda dari peminum jamu. Manakala jamu yang juga dirasakannya pahit, ekspresi peminum jamu, menampilkan aura yang berbeda dengan penikmat kopi. Dua-duanya pahit, tetapi pancaran rona dari wajah, sama sekali berbeda.

Jika, mengutip WS Rendra, kesadaran adalah matahari, kesabaran adalah bumi, keberanian menjadi cakrawala, maka perjuangan adalah pelaksanaan kata-kata. Pada konteks melaksanakan kata-kata inilah, sebagai manifestasi dari bagaimana bersabar, belum banyak yang terdidik dengan apik. Sebab, tuhan seringkali dipersepsikan sebagai Aku yang ekspektatif dalam kehendak manusia. Seakan, ada pemaksaan kehendak diri untuk menjadi yang diinginkannya, meski mungkin berbeda dengan yang tuhan kehendaki. Lalu kecewa, dan dengan kekuasaan atau kebuasan sebagai diri yang menganut binatangisme, apapun dilakukan, untuk sesuatu yang hendak dicapai, dan lupa bahwa yang paling berkuasa adalah tuhan.

Dari situlah barbarianisme lahir, sebagai simbol dari amnesia diri yang berkepanjangan. Padahal, perjalanan hidup ini sebenarnya pengembaraan menuju sunyi. Siapapun, pada akhirnya akan sendiri dan sepi, yang tentu saja, sebagaimana sepi, pasti sunyinya akan terasa lebih perih daripada tertikam belati. Sabar dan sadar melenyap, berganti syahwat untuk berkuasa, atas nama bintang di pundak, pada bumi yang dipijak.

Baca juga:  Menolak Tunduk, Menuntut Tanggung Jawab

“Darah itu merah Jenderal”, tulis Seno Gumira Adjidarma puluhan tahun silam. Narasi itu menjadi tanda bahwa keamanan itu selalu bersanding dengan kenyamanan dan ketidaknyaman itu sendiri. Banyak yang ragu pada akhirnya, bahwa gerakan pemberontakan 30 September di tahun itu, sebagai permusuhan ideologis. Pantas diduga, pemberontakan itu sesungguhnya adalah diskursus tentang ketidaksabaran para pihak dengan penyusunan skenario, seolah-olah begitu, walaupun, boleh jadi tidak begitu situasinya. Tetapi sejarah, di mana pun, selalu ditulis oleh penguasa yang bertahta, di zamannya.

Di jaman Nabi, ketika serdadu pulang dari perang dan menganggap Badarlah sebagai perang terbesar, Rasul menolak persepsi itu. Sebab, perang terbesar adalah pertempuran melawan dirinya sendiri, pertarungan yang menyandingkan kesabaran dan ketidaksabaran. Pada konstalasi pertarungan inilah, kesabaran seringkali terkalahkan. Ketika ketidaksabaran yang keluar sebagai pemenang, semut teriak, terisak, dan terinjak-injak.

Ketidaksabaran dan kesabaran, adalah invinita kembar. Keduanya selalu ada, dalam diri, terutama bersemayam pada tubuh yang tertatih dan yang terlatih. Namun kuasa atau merasa bertahta atau berharta, menganggap persoalan bisa selesai dengan dua hal itu (dan negeri ini terbiasa menyelesaikan dengan cara itu). Sedangkan kemanusiaan, yang seharusnya ada pada manusia, terjerembab dan bertekuk lutut di hadapan meja kuasa-harta.

Pada akhirnya, memanusiakan manusia, lunglai sebab pandemi amnesia merajalela; lupa bahwa lorong lahir sesungguhnya adalah patahan belantara, sejenis jalan yang akan mengantar pulang, menuju sepi, sunyi, dan sendiri. Fir’un mengalami, merasa telah menjadi orang yang beriman pada saat jiwanya terancam samudera. Ia terjatuh dari tahta, gagal menjadi tuhan, dan tidak berhasil Menyusun scenario, di hidupnya. (*)

Baca juga:  Kalkulasi

* Penulis merupakan Akademisi, kolumnis

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

banner auto