Sebuah Dialog Tentang Rasa

Resonansi
Mas@be Zain
Oleh : Mas@be Zain

maduraindepth.com – Bila rasa itu hadir, intelektual sekaliber apapun, tampil dengan wajah jenaka. Di depan orang yang dicintainya, seluruh teori tentang rasa, ambruk dan ia terlihat seperti salting. Cinta, rasa yang tidak biasa.

Ketika tidak berada di dekatnya, rindu menggebu, untuk berjumpa. Saat bertemu, berat untuk berpisah. Gugup dan gagap tiba-tiba hadir. Degub jantung berdetak lebih kencang, semua itu datang seketika.

Cinta, membutakan dan karena itu yang terlihat hanya cinta. Reportoar inilah yang sedianya dibangun oleh siapapun khususnya para pemimpi atau pengambil kebijakan.

Rasa, cinta, memberi dan atau menerimanya, akan menampilkan kekuatan dan keberanian pada saat yang sama. Konsentrasi yang dimiliki, menumbangkan perhatian terhadap yang lain.

Seandainya ditanya, apakah pemimpin memiliki rasa cinta terhadap rakyatnya, hampir pasti jawaban yang akan dilontarkan adalah “ya”. Ketika seorang pemimpin yang dalam pencalonan dan kemenangannya didukung oleh kelompok tertentu, hampir pasti yang mendapatkan prioritas perhatian adalah kelompok ini.

Secara emosional, sikap ini rasional-psikologik. Tetapi secara fundamental-teritorik, differensiasi prilaku ini menimbulkan iri, cemburu dan sakit hati yang larut, akut.

Masalahnya adalah, pemimpin membuat kotak-kotak terhadap rakyatnya. Ada rakyat yang dianggap dan sebaliknya, diabaikan sebagai rakyat, dengan alasannya sendiri. Di dalam politik, di kenal dengan koalisi dan oposisi. Peran ini menegasikan logika dan akal sehat. Akibat dari ini semua, rakyat terbelah dan terbagi ke protagonis dan antagonis.

Kadrun, misalnya, akan menjadi komunitas tersendiri yang berpotensi menilai cebong sebagai kelompok antikadrun. Begitu juga sebaliknya, cebong terhadap kadrun dan realitas ini akan berlangsung secara terus menerus. Pada saat yang sama, amarah dan kebencian antarpihak berlangsung, yang usia hidupnya, setara dengan umur manusia sendiri.

Dalam situasi ini, negara hanya terkesan hadir dan berada di wilayah yang protagonis dan tidak pada domain antagonis. Begitu juga oposisi hanya memiliki satu perspektif tentang kebenaran, yang berada dalam spektrumnya. Mempertahankan pola pikir yang tanpa rasa, tanpa cinta, membuat nenek bilang, itu berbahaya.

Inilah kondisi negeri dimana persatuan dan kesatuan hanya menjadi sila dan bukan sebagai nyata. Peristiwa ini, secara tidak langsung membuat keretakan tersendiri karena rasa dan cinta itu raib, atau sengaja dibunuh pemiliknya.

Cinta dan rasa, adalah hak dan kewajiban semua bangsa. Berbeda adalah satu hal tetapi yang dilupakan adalah bahwa berbangsa adalah hal yang sama, dan tak terpisahkan.

Negara, pemimpin, butuh rasa, perlu cinta. Ia membutuhkan sintesa dari perang tesa melawan antitesa. Membiarkan baratayuda dalam tesa vs antitesa, maka lahirlah rajalela, pemimpin yang sering lupa, merajalela, menjadi raja yang sering lupa dan bahkan amnesia.

Jika ada yang bertanya, apakah Indonesia termasuk negara yang amnesia rasa dan cinta? Jawabannya pasti tergantung kacamata yang dikenakannya. Tetapi setidaknya, ini tetap Indonesia, bukan Korea Utara atau Sisilia. (*)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *