Oleh : Mas@be Zaen
maduraindepth.com – Seekor luwak, memuntahkan kembali biji kakau yang terlanjur ia makan, pahit. Ketika coklat itu diolah, diberi susu, gula, dan sedikit krim, luwak itu meminumnya, dan tidak ada masalah. Historio-personifikatik ini mengkursus lalu waktu pada jeda kehidupan yang menuntut siapa saja agar menghargai proses. Luwak akhirnya memahami bahwa kakau yang dikonsumsi bukan biji, tetapi sesuatu yang selain biji meski tidak selalu kulitnya juga.
Konstruk ini mengursus kehidupan tentang substansi rasa. Ia tidak selalu terletak pada biji. Bahwa kacang, kedelai dan sejenisnya, tentu saja yang diperlukan adalah biji. Berbeda dengan mangga begitu juga salak ataupun kedondong. Bagaimana dengan kecipir, jambu air, atau pir? Semua jenis buah memiliki rasanya sendiri-sendiri, yang mungkin bagi satu pihak mengenakkan tetapi bagi pihak lain mengenegkan. Tentu saja, soal rasa dimana satu buah dengan buah lainnya berbeda sebagaimana lidah seseorang tidak sama dengan lidah manusia lainnya.
Itu sebabnya, spiritualitas rasa ini sejatinya telah menjadi religiusitas hari-hari. Penjual singkong tidak pernah konflik dengan penjual semangka.
Penjual labu, rambutan, salak dan durian, ia berada di garis kitarnya sendiri. Ibarat tata surya, ia beredar di garis orbitnya masing-masing yang membentuk keteraturan hidup berdampingan satu sama lain antarbuah dari varietas yang tidak sama.
Bhinneka Tunggal Ika senafas dengan itu yang belakangan dicerai-beraikan para pihak yang gagal paham. Ada yang berbeda pengertian, misalnya tidak dipahami sebagai bagian dari keanekaragaman hayati. Merah itu satu hal sebagai hijau, biru, kuning dan abu-abu, itu juga sesuatu yang lain yang bisa diurai, bukan diberai. Serupa warna, rasa bisa jadi sama atau sama sekali berbeda. Bahwa kemudian tidak sama pada satu diktum tertentu, tidak harus dituduh sesat karena bukan golongannya. Mungkin ia lupa bahwa negara ini adalah Indonesia, bukan Denosia (negeri yang dihuni para deno (Madura, jin dan gunderowo).
Rasa berindonesia yang multi-perspektif ini sedianya dirawat, bukan dibabat atas nama surga. Setiap individu, memiliki harapan untuk berada di surganya masing-masing, yang rasanya, pastilah tidak sama. Maka kunci dari semua ini adalah kedaulatan dalam kepemilikan rasa bermanusia. Sedang Tuhan, sebagaimana dikutip Musthofa Bisri, sangat dekat tetapi banyak yang teriak-teriak atau membentak-bentak ketika memanggilNya. Tidakkah Tuhan Mahamendengar bahkan suara yang gemerisik sekalipun?
Dalam kepemilikan rasa berbangsa inilah memerlukan kebersamaan dalam menjaga, kebersamaan dalam mengeja rasa bernegara. Konstruksi kemanusiaan inilah yang urgen seperti tidak saling menyalahkan antarpihak, apapun perbedaannya. Sebab, yang dibutuhkan adalah titik tengah dengan berpayung pada konteks kemanusiaan itu sendiri yang berpijak pada Bumi Manusia sebagaimana ditulis Pramodya Ananta Toer.
Bung Karno, pada sebuah untaian kata menuliskan bahwa mawar itu harum tanpa perlu menjelaskan dirinya sebagai yang wangi. Bahwa di sekitar mawar terdapat duri, maka pemetik tidak perlu menusukkan jarinya pada duri untuk meraihnya. Ini pula yang dipuisikan Sutardji Calzoum Bachri tentang kata.
Verbalitas kata telah berhasil menjelaskan maknanya sendiri tanpa diurai lebih panjang. Begitu juga menjadi diri yang merasa baik, tidak dibutuhkan penjelasan dari diri kepada yang lain sebagai yang baik. Manusia telah memliki rumusannya sendiri berdasar kamus kemanusiaan untuk membedakan antara yang baik atau buruk sekalipun.
Kisah orang buta yang membawa obor di gelap malam tidak perlu ditertawakan karena menganggap obor pada orang buta tidak ada gunanya. Ia memang buta dan karenanya tidak bisa melihat. Tetapi, dengarlah penjelasan dan argumentasinya tentang obor yang dibawa memang bukan untuk menyinarinya, melainkan sebagai rambu agar yang melihat tidak menabrak.
Dalam cerita lain, seorang sufi dianiaya. Meski secara fisik ia bisa melawan, tetapi hal itu tidak dilakukannya karena bertimbang rasa. Ia hanya berdoa, agar dirinya dijadikan korban terakhir dari kejahatan orang yang dzalim di sekitarnya. Bagaimana jika dengan doa itu tidak atau belum terkabul? Sang sufi berdoa pada opsi kedua, memohon agar Tuhan bersedia membimbingnya ke jalan yang lebih baik. Bila doa inipun belum dikabul dan penjahat itu tetap merajalela? Sang Sufi Kembali berdoa, jika parazalim tidak berkehendak berubah kepada yang lebih baik. “Ya Rabb, jika orang zalim itu belum mau berbenah, semoga Engkau berkenan untuk menerimanya kembali. (*)