Pelangi Negeri di Alam Mimpi

Oleh: Mas@be Zain

Resonansi
Mas@be Zain

maduraindepth.com – Sembilan dari sepuluh tetangga yang ditanya, (apakah masa depan negara suram?), mereka menjawab ya. Satu orang lainnya, mengatakan tidak.

Orang pertama, mengaku modernitas menenggelamkan skala kepatutan sebagai bangsa. Bukan bermaksud membandingkan kekinian zaman dengan tempoe doeloe : era lampau memang paceklik karena tidak bisa mengolah alam. Era kini paceklik sebab terlalu pintar mengolah alam, dan melacurkannya.

banner 728x90

Kedua, menyatakan situasi mutakhir tidak jelas rivalnya. Satu orang merasa bersaing dengan lainnya, untuk keperluan cuan. Harmonitas akhirnya menjadi barang langka. Benar yang Bung Karno sampailan, perlawanan terbesar bukan karena berhadapan dengan penjajah, melainkan lantaran menghadapi bangsanya sendiri yang angkuh.

Praktik ini menyesakkan dada warga republik karena hampir seluruh aktivitas diukur berdasarkan uang. Akibatnya, nilai dan semangat memiliki negara bangsa lebih dititikberatkan pada cuan, bukan sebagai kewajiban nasio-patriortik.

Ketiga, rasa bernasoinalisme teramputasi satu pemahaman yang menyesatkan karena menempatkan materialisme sebagai tuhan kecil.

Keempat, isyarat teralenasinya warga republik di negerinya sendiri, kian terasa. Posisi strategis dalam dunia properti, ekonomi, politik dan teknologi, berada dalam kuasa pihak lain. Keterus-menerusan situasi ini bisa membuat bangsa tidak lagi miliki kedaulatan.

Kelima, menyatakan langgengnya perselingkuhan penguasa dengan pengusaha, menimbulkan kesenjangan dan jurang pemusah antara elit dan alit. Tercerabutnya akar kesatuan ini menimbulkan kecemburuan antarwarga bangsa dan lahirlah disintegrasi, lalu negara terbelah

Baca juga:  Kontribusi dan Apresiasi Negara Terhadap Penyelesaian HAK Asuh Anak Melalui Mediasi

Kedelapan, hilangnya rasa bersaudara sesama anak bangsa, ikut merobek keutuhan negeri. Sesuatu yang tidak utuh, biasanya rapuh, tidak kokoh dan mudah roboh. Lalu jatuh, luluh, tersimpuh, Ini juga menjadi hermenetika zaman depan tentang replika bangsa yang berpotensi tertatih.

Keenam, oligarki semakin merajalela dan hal ini mempertonton rapuhnya bangsa masa depan. Penyubur oligarkhi membonsai generasi yang tidak punya atau dilemahkan aksesnya menuju kuasa karena bukan bagian dari pemeluk oligarkiisme. Walaupun, secara capacity building, lebih mumpuni.

Ketujuh, menyempitnya lahan pertanian, erosi yang berlebihan pada sungai maupun abrasi di bibir pantai, menjadi indikator yang perlahan tapi pasti atas raibnya negara, pada akhirnya. Teritori itu, saat ini, semakin menyempit dan dimiliki asing, atau dikuasai pihak lain atas nama pro kekayaan diri dan kelompoknya, bukan aras nama bangsa masa depan.

Kesembilan, tidak adanya integrasi antarlembaga negeri. Sinergitas yang tumpul ini membuat antarlembaga tak berdaya, NKRI gaya mati, dan hanya tinggal menunggu saja, untuk kolabs karena bangsa ini dibunuh sendiri, oleh pemiliknya.

Orang kesepuluh, optimistik. Meyakini negeri akan maju pesat. Pemerintah kuat. Penegak hukum, dahsyat.  Ekonomi , tidak melarat. Politik amat sangat pro rakyat. Pertahanan, growth. Keamanan ready to shoot. Kesejahteraan, meningkat. Keadilan, tumbuh pesat. Lelaki itu bersemangat. Ia bercerita tentang mimpinya setelah tidur lelap dalam hujan yang sangat lebat. (*)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *