Oleh Faisol Ramdhoni*
maduraindepth.com – Saat ini siapa yang tidak kenal dengan nama Hasto Wardoyo? Bupati Kulon Progo yang awalnya menjadi dosen di Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada itu sejak juli 2019 resmi ditunjuk oleh Presiden Jokowi menjadi Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN).
Namun bukan jabatan yang sekarang itu yang membuatnya dikenal banyak orang. Hasto menjadi ispirasi banyak pihak karena kemampuannya saat menjadi Bupati Kulon Progo. Di bawah kepimpinannya Kabupaten Kulon Progo dulu dikenal sebagai Kabupaten termiskin kini menjadi salah satu daerah yang paling maju dan prestisius di Indonesia.
Saat awal menjabat sebagai Bupati, Kabupaten Kulon Progoro merupakan daerah termiskin di Provinsi Daerah Istimewa Yogjakarta. Gebrakannya terbukti mampu menurunkan angka kemisikinan di Kulonprogo, dari 22,54 persen pada 2013 menjadi 16,74 persen pada 2014. Hingga saat ini angka kemiskinan di Kulon Progo itu terus mengecil seiring dengan pesatnya kemajuan pembanguan dan meningkatnya kesjahteraan masyarakatnya.
Kisah Inspiratif Bupati Hasto dari Kulon Progo ini menarik untuk dipelajari dan dikorelasikan dengan Kabupaten Sampang. Mengapa demikian? Sebab keduanya memliki kesamaan yakni sama-sama dikenal sebagai Kabupaten Termiskin di Provinsinya masing- masing. Bedanya, Kulon Progo sudah bangkit dan terus menurunkan angka kemiskinannya.
Sementara Sampang masih tetap bertengger sebagai juara bertahan sebagai Kabupaten Termiskin di Jawa timur dengan angka sebesar 20,71 %. Meskipun mengalami penurunan dari angka 21,21% di tahun 2018 namun selisihnya cukup kecil dan tidak signifikan. Tidak hanya itu, capaian Indeks Pembangunan Manusia (IPM) sebesar 61,94 di Kabupaten Sampang tercatat juga sebagai terendah se Jawa timur.
Di tengah tengah realitas yang memprihatinkan ini lalu muncullah kebijakan pengadaan mobil dinas berkategori mewah bagi bupati, wakil bupati dan jajaran pimpinan daerah lainnya. Dinilai mewah karena jenis mobil mewah yang mau dibeli bernilai milyaran. Toyota Alpard untuk mobil dinas bupat/wakil bupati dan toyota fortuner untuk jajaran forkopimda.
Tentu saja, kebijakan tersebut menuai kritikan dari kalangan masyarakat. Sejumlah aktivis masyarakat sipil menilai bahwa kebijakan itu sangat kontradiktif dengan kondisi kemiskinan yang ada di Sampang. Pembelian mobil mewah dianggap berfoya-foya dalam pemanfaatan anggaran. Ironis!
Sebenarnya kebijakan yang sama juga pernah direncanakan oleh Pemerintahan Kabupaten Kulon Progo. Namun, sebagaimana dilansir banyak media massa, Bupati Hasto saat itu menolak pengadaan monil dinas itu. Hasto tidak mau “nggaya” memakai mobil dinas mewah sebab kabupaten yang dipimpinnya adalah kabupaten termiskin se Yogyakarta. Menurutnya, lebih baik dana yang digunakan untuk pengadaan mobil mewah itu digunakannya untuk peningkatan infrastruktur dan penanggulangan kemiskinan. Praktis, selama menjabat sebagai Bupati, Hasto tetap memakai mobil dinas Toyota Camri keluaran tahun 2009. Untuk blusukan, Hasto setia memakai Daihatsu Taft keluaran 2002.
Sebagai pemimpin, Hasto telah memberikan teladan dalam memegang komitmen dari prinsip yang selalu dikumandangkannya. Dalam mengelola pemerintahan dan membangun Kulon Progo, Hasto bermodalkan tiga ISI. Prinsip ini digali dan direkam dari jejak para pahlawan di medan perjuangan. Tiga ISI yang dimaksud adalah Inovatif (turunan visioner), Sederhana (Dalam Hidup) dan Ikhlas ( Niat Ibadah Tanpa Pamrih dalam Bekerja).
Keteladanan, Konsistensi dan Komitmen sang pemimpin inilah rupanya yang menjadi energi besar dalam menggerakan masyarakat kulon progro sehingga bisa keluar dari Kemiskinan. Spirit kerja sebagai ibadah itu itu tidak hanya diucapkan namun juga menjelma dalam tindakan dan kebijakan. Sehingga program-program yang diluncurkan benar-benar berorientasi pada peningkatan kesejahteraan rakyat.
Penolakannya pada pengadaan mobil mewah merupakan bentuk konsistensinya dalam menjalankan tiga ISI tersebut yakni kesederhaanaan. Sedangkan inovasi, ia buktikan dengan gebrakan kemandirian yang dikenal dengan Gerakan Bela dan Beli Kulon Progo. Gerakan ini bertujuan untuk untuk menciptakan pasar di daerah sendiri. Berani membeli produk produk lokal yang ada di Kulon Progro.
Semisal dalam pengembangan industri batik di Kulon Progo, kebijakan yang diambil bisa dibilang tidak terlalu wah dan bombastis. Tidak butuh gelaran fashion promosi di luar kota yang menghabiskan ratusan juta dan juga belum tentu hasilnya keliatan.
Kulon Progo memulainya dengan kebijakan yang sederhana. Diawali dengan lomba design batik khas kulon progo yang kemudian menghasilkan motif batik geblek renteng. Motif batik ini kemudian dipatenkan dengan cara didaftarkan untuk mendapatkan Hak Kekayaan Intelektual (HAKI) di Kementerian Hukum dan HAM RI.
Setelah itu, keluarlah kebijakan pemerintah yang mewajibkan pelajar mulai PAUD hingga SMA/SMK, Pegawai Negeri Sipil dan perangkat desa seluruh Kulon Progo untuk mengenakan seragam batik gebleg renteng, batik khas Kulonprogo pada hari tertentu.
Ternyata, dengan jumlah 80.000 pelajar dan 8.000 PNS ditambah 10 ribu perangkat , kebijakan yang sederhana ini mampu mendongkrak industri batik lokal. Sentra kerajinan batik tumbuh pesat, dari cuma 2 menjadi 50-an. para perajin batik di Kulonprogo saat ini pun sibuk melayani pemesanan seragam batik geblek renteng tersebut. Omzet produksi pun meningkat dari rata-rata 2 ribu yard per bulan, saat ini meningkat hingga 40 ribu yard per bulan.
Pun begitu di sektor pertanian, Hasto punya cara unik yang mungkin jadi insipirasi banyak pemimpin lainnya. Lagi-lagi, ia memanfaatkan rakyat sendiri untuk memasarkan padi-padi petani. Hasto mewajibkan para PNS yang jumlahnya hampir 8 ribu itu untuk membeli padi produksi petani lokal, 10 kilogram dalam sebulannya. Hasilnya mencengangkan, industri pertanian Kabupaten Kulon Progo pun makin hidup dan terus berkesinambungan. Bahkan Hasto juga mengatur Bulog agar ikut berpartisipasi dalam sistem pertanian rakyat ini. Keren!
Masih banyak kisah nyata nan inspiratif yang bisa digali dari Kulon Progo. Baik teladan sang pemimpin maupun inovasi kebijakan kepemerintahannya. Sehingga dulu Kulon Progo yang dianggap sebelah mata karena termiskin dan tertimggal. Kini menjadi daerah yang maju dan dijadikan pembelajaran oleh banyak orang.
Semua kisah-kisah itu bisa didapat dengan mudah dengan di laman-laman web , secarhing sendiri di google atau bisa langsung melakukan studi banding sendiri. Jika Kulon Progo bisa, Maka sebenarnya Sampang pun juga bisa. Tergantung kemauan para elit politik di Kabupaten Sampang. Agar predikat termiskin,terendah dan tertinggal yang disandangnya bertahun-tahun bisa dilepaskan. Inilah persoalan sebenarnya “Mau atau Tidak?”, Jika mau mari kita mulai!
*Penulis adalah Ketua Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia (Lakpesdam) PCNU Sampang.