Saling Klaim Kantongi Dasar Bukti Kuat, Kasus Sengketa Tanah Nenek Bahriyah – Halaman All

sengketa tanah nenek bahriyah pamekasan
Proses persidangan perkara perdata sengketa tanah Nenek Bahriyah di PN Pamekasan, Selasa (7/5). (Foto: IST)

maduraindepth.com – Kasus sengketa tanah antara Nenek Bahriyah asal Kabupaten Pamekasan dengan keponakannya, Sri Suhartatik, terus bergulir di meja hijau. Kedua perempuan tersebut, merupakan warga Kelurahan Gladak Anyar, Kecamatan/Kabupaten Pamekasan.

Kasus ini, sudah berlangsung cukup lama. Hanya, sampai sekarang belum terselesaikan. Bahkan, berdasar informasi yang dihimpun maduraindepth.com, masalah tersebut diseret menjadi dua kasus hukum. Yaitu, perkara pidana dan perdata.

Terkait kasus perkara pidana, berkaitan tentang dugaan pemalsuan surat tanah. Laporan tersebut, dilayangkan oleh Sri Suhartatik alias Titik ke Polres Pamekasan, pada tanggal 30 Agustus 2022. Sedangkan, terlapor dalam kasus ini adalah Bahriyah.

Atas kasus perkara pidana ini, Polres Pamekasan sudah menetapkan Bahriyah sebagai tersangka. Namun, sampai sekarang, kasus pidana belum bisa dilanjutkan alias ditangguhkan.

Hal itu, dikarenakan tersangka Bahriyah mengajukan gugatan perkara perdata ke Pengadilan Negeri (PN) Pamekasan tanggal 5 Januari 2024. Dalam perkara ini, Bahriyah menggugat Sri Suhartatik atas dugaan perbuatan melawan hukum (PMH).

Kuasa Hukum Nenek Bahriyah, Ach. Supyadi mengungkapkan, bidang tanah di Kelurahan Gladak Anyar, Pamekasan yang menjadi sengketa adalah hak milik kliennya. Hal tersebut, dikuatkan dengan berbagai dokumen yang menjadi dasar sekaligus bukti dalam proses penerbitan sertifikar hak milik (SHM) atas nama Bahriyah.

“SHM milik klien saya, jelas dasarnya. Tanah itu, dihibahkan atau diwariskan oleh Pak Butum kepada Nenek Bahriyah sebagai anaknya,” ungkapnya.

Kuasa Hukum Membeberkan Dokumen Dasar Kepemilikan Tanah Nenek Bahriyah

Kasus sengketa tanah yang melibatkan Nenek Bahriyah dan Sri Suhartatik sudah bergulir hampir dua tahun. Sampai sekarang, proses hukum atas kasus tersebut sedang berjalan sidang pembuktian perkara perdata di PN Pamekasan.

Ach. Supyadi sebagai kuasa hukum Nenek Bahriyah membeberkan berbagai dokumen yang menjadi dasar dalam proses penerbitan SHM milik kliennya. Bahkan, sejumlah dokumen itu dijadikan barang bukti dalam proses persidangan perkara perdata di PN Pamekasan.

Dijelaskan, pemilik asal atas tanah yang sedang disengketakan itu adalah Pak Butum. Hal tersebut, dibuktikan dengan dokumen Letter C, nomor 1371, atas nama Pak Butum. Kemudian, tanah itu dihibahkan kepada Ibu Hasyim bin Pak Butum alias Bahriyah.

Pengalihan hak milik atas tanah waris ini, kata Supyadi, juga memiliki dasar kuat. Yakni merujuk pada Letter C, nomor 2208, atas nama Ibu Bahriyah bin Pak Butum. Dokumen tersebut, tertanggal 17 Juli 1975.

“Dalam Leter C, nomor 2208, ada keterangan hasil hibah dari Leter C, nomor 1371. Jadi, datanya sinkron,” kata Supyadi.

Selain merujuk pada dua dokumen yang disebutkan, juga ada surat ketetapan iuran pembangunan daerah (Ipeda) dari Letter C, nomor 2208. Dalam dokumen Ipeda ini, pemilik Letter C, nomor 2208, tercantum atas nama Ibu Hasyim bin Pak Butum. Bahkan, dilengkapi dengan keterangan hibah dari Letter C, nomor 1371, atas nama Pak Butum, pada tahun 1975.

“Ibu Hasyim bin Pak Butum dengan Bahriyah, adalah orang yang sama. Itu sudah ada surat pernyataannya. Jadi, Bahriyah ini memiliki anak pertama bernama Hasyim, makanya disebut Ibu Hasyim,” jelasnya.

Mengenai data Letter C atas tanah yang terletak di Kelurahan Gladak Anyar itu, lanjut Supyadi, mulai tahun 1975 tidak pernah terjadi perubahan. Yaitu selalu dikuasai atau dimiliki oleh kliennya, Bahriyah.

Baca juga:  Kepergok Ngamar Berdua, Sang Suami Bunuh Selingkuhan Istri di Pamekasan

“Sudah ada keterangan dari Lurah. Termasuk juga, surat penguasaan fisik tanah yang dikuatkan dengan tanda tangan mengetahui ketua RT dan Ketua RW. Batas tanahnya juga jelas,” ujarnya.

Nenek Bahriyah Mengajukan Penerbitan SHM Tahun 2016

Nenek Bahriyah melalui Kuasa hukumnya, Ach. Supyadi, mengkalim sudah menerima hibah tanah dari Pak Butum pada tahun 1975. Namun demikian, Bahriyah baru mengajukan penerbitan SHM pada Januari 2016.

Kemudian, permohonan penerbitan SHM itu, baru masuk daftar isian di Badan Pertanahan Nasional (BPN) Pamekasan, pada tanggal 17 Mei 2016. Selanjutnya, SHM nomor 2988 atas nama Bahriyah resmi diterbitkan tanggal 28 Februari 2017.

“Keterangan dalam SHM itu, bahwa asal muasal tanah adalah dari Leter C, nomor 2208,” sebut Supyadi sambil menunjukkan SHM atas nama Bahriyah.

Tidak disangka, kliennya dikejutkan dengan munculnya SHM nomor 1817, atas nama Fathollah Anwar yang diterbitkan pada tahun 1999. Sebab, dasar penerbitan SHM tersebut juga merujuk pada Letter C, nomor 2208, yang diketahui atas nama Ibu Hasyim bin Pak Butum alias Bahriyah.

“Padahal, sebelumnya tidak ada transaksi jual beli atau bahkan hibah. Namun, tiba-tiba dicatut dalam penerbitan SHM tersebut,” terangnya.

Sementara itu, surat pemberitahuan pajak terhutang (SPPT) tahun 1975-2015, di objek tanah yang dimaksud, tercantum atas nama Bahriyah alias Ibu Hasyim. Sedangkan, SPPT tahun 2016-2019, berubah menjadi atas nama Titik alias Sri Suhartatik.

“Kebetulan, Titik ini yang memegang SHM atas nama Fathollah Anwar. Jadi, Titik ini adalah anak dari Fathollah Anwar,” jelasnya.

Kemudian, SPPT pada tahun 2020-2024, berubah kembali menjadi atas nama Bahriyah alias Ibu Hasyim. Atas kejadian ini, Supyadi menduga ada penyelewengan. Sebab, Fathollah Anwar dan Titik tidak pernah menguasai tanah secara fisik. Namun, tiba-tiba mengakui sebagai pemilik tanah.

Kata Supyadi, sebelumnya pihak Sri Suhartatik sempat menyebutkan bahwa Fathollah Anwar mendapatkan tanah yang sedang disengketakan itu dengan cara membeli. Sedangkan, dalam SHM tidak ada keterangan transaksi jual beli sama sekali.

Disampaikan, bahwa sebenarnya hubungan famili antara Fathollah Anwar dengan Bahriyah hanya sebatas ipar. Sebab, Fathollah Anwar menikahi Supatmi alias Hj. Qomariyah yang merupakan saudara kandung Nenek Bahriyah.

“Kalau mau mengakui mendapatkan tanah itu dari hasil warisan, seharusnya atas nama Hj. Qomariyah, bukan Fathollah Anwar. Karena, yang merupakan anak Pak Butum adalah Nenek Bahriyah dan Hj. Qomariyah. Sekarang, Fathollah Anwar dan Hj. Qomariyah sudah meninggal,” ucapnya.

Kuasa Hukum Nenek Bahriyah Klaim Kantongi Bukti Kunci

Sebagai Kuasa hukum Nenek Bahriyah, Supyadi mengklaim sudah mengantongi bukti kunci dari BPN Pamekasan terkait kasus sengketa tanah tersebut. Bukti kunci yang dimaksud, berupa surat tugas pencarian warkah dasar penerbitan SHM nomor 1817, atas nama Fathollah Anwar dan SHM nomor 2988 atas nama Bahriyah.

Surat tugas yang dikeluarkan BPN Pamekasan itu, ditunjukkan langsung oleh Supyadi kepada maduraindepth.com. Pada surat tersebut, tercantum dua nama karyawan instansi setempat yang ditunjuk. Mereka adalah Mohammad Regan Imawan dan Mohammad Sasuddin.

Berdasar hasil berita acara pencarian warkah, dokumen penerbitan SHM nomor 1817 atas nama Fathollah Anwar tidak ditemukan. Sedangkan, warkah dokumen dasar penerbitan SHM nomor 2988 atas nama Bahriyah, sudah ditemukan.

Baca juga:  Wartawan dengan Status PDP di Pamekasan Meninggal Dunia

“Dasarnya mengacu pada Leter C, nomor 2208, atas nama Ibu Hasyim bin Pak Butum dan Leter C, nomor 1371, atas nama Pak Butum,” sebut Supyadi sambil menunjukkan hasil berita acara pencarian warkah.

Menurutnya, proses hukum atas kasus sengketa tanah Nenek Bahriyah ini masih terus berlanjut. Hingga sekarang, sidang pembuktian surat tanah belum selesai. Meskipun begitu, Supyadi menilai bahwa tindakan yang dilakukan Fathollah Anwar atau anaknya, Sri Suhartatik, adalah upaya pengambilan hak atas tanah secara ilegal.

“Karena, sudah ada pengakuan hak yang menggunakan data orang lain. Sehingga diduga kuat, pemohon mengajukan penerbitan SHM namun tidak memakai data yang benar,” pungkasnya.

Sama-sama Ngotot Punya Bukti Kuat

Sementara itu, Sri Suhartatik tidak ingin kalah dalam mempertahankan hak kepemilikannya atas tanah yang tengah sengketa di Kelurahan Gladak Anyar, Pamekasan. Melalui Kuasa hukumnya, Sulaisi Abdurrazaq, dia mengakui lebih kuat untuk memenangkan perkara di meja hijau.

Sulaisi menyampaikan, SHM atas nama Fathollah Anwar yang merupakan milik kliennya, lebih kuat dibandingkan SHM atas nama Bahriyah. Karena, tahun terbit SHM atas nama Fathollah Anwar jauh labih awal, yaitu tercantum 1999.

“Kemudian, pada tahun 2017, terbit SHM baru di objek yang sama atas nama Bahriyah. Sehingga mengakibatkan saling klaim,” ungkapnya.

Seharusnya, lanjut Sulaisi, jika sudah terbit SHM maka semestinya tidak ada sertifikat baru di objek tanah yang sama. Jika pada kenyataannya hal demikian terjadi, maka diduga kuat ada mafia di internal BPN Pamekasan.

“Bagi saya, yang kuat tetap sertifikat atas nama Fathollah Anwar,” tegasnya.

Menurutnya, dalam kasus ini ada yang dianggap aneh. Yaitu pada tahun 2016 ditemukan SPPT atas nama Bahriyah. Sedangkan, objek tanah tersebut sudah ber-SHM atas nama Fathollah Anwar dari tahun 1999.

“Klien saya menduga ada pemalsuan SPPT. Makanya, dilaporkan ke Polres Pamekasan,” tegasnya.

Setelah dilakukan penelusuran lebih lanjut, ternyata yang diduga bermasalah bukan sekadar penerbitan SPPT. Tetapi, Nenek Bahriyah juga diduga memanipulasi dokumen kependudukan. Tujuannya, adalah untuk menguatkan hak kepemilikannya atas tanah di Kelurahan Gladak Anyar, Pamekasan.

Kata Sulaisi, tahun lahir Nenek Bahriyah yang tercantum di SHM adalah 1963. Sedangkan, tanah tersebut diklaim dihibahkan kepada Nenek Bahriyah dari Pak Butum, pada tahun 1975. Maka dari itu, dapat diperkirakan bahwa saat itu usia Nenek Bahriyah masih 12 tahun.

“Ini kan tidak rasional, karena Nenek Bahriyah pada saat itu masih di bawah umur. Yaitu berusia 12 tahun,” katanya.

Untuk menguatkan hal tersebut, maka Nenek Bahriyah diduga melakukan manipulasi dokumen kependudukan dengan mencetak kartu tanda penduduk (KTP) baru pada tahun 2012. Tahun lahirnya diubah menjadi 1953.

“Jadi, dibikin lebih tua. Supaya, hibahnya tidak di bawah umur. Yaitu menjadi 22 tahun,” ujar Sulaisi.

Nenek dan Keponakan Saling Klaim Sebagai Ahli Waris

Kasus sengketa lahan antara Nenek Bahriyah dengan keponakannya, Sri Suhartatik tidak kunjung menemukan ujung penyelesaian. Keduanya sama-sama mengklaim sebagai ahli waris atas lahan yang sedang disengketakan.

Kuasa hukum Sri Suhartatik, Sulaisi Abdurrazaq mengungkapkan, bahwa Nenek Bahriyah mengakui mendapatkan tanah atas hasil warisan dari ayahnya, Pak Butum. Sedangkan, Sri Suhartatik juga mengkalim, bahwa orang tuanya merupakan ahli waris atas tanah tersebut.

Baca juga:  Sepekan Satlantas Polres Pamekasan Tindak 1.391 Pelanggar

“Titik mengakui, tanah itu adalah milik ayah dan ibunya, yang merupakan saudara Bahriyah,” ujarnya.

Untuk membuktikan hak kepemilikan atas tanah yang sah menurut hukum, maka saat ini sedang dilakukan sidang perdata di PN Pamekasan. Prosesnya, masih berlangsung pada tahap pembuktian.

Kata Sulaisi, Lurah Gladak Anyar yang menjabat pada rentang waktu sekitar tahun 2015-2017 sudah diminta keterangan dalam persidangan sebagai saksi kasus sengketa tanah antara Nenek Bahriyah dan Suhartatik. Kebetulan, tenggang waktu tersebut merupakan tahun proses pengajuan SHM atas nama Bahriyah ke BPN Pamekasan.

Bahkan, Lurah yang menjabat saat ini juga telah diminta keterangan oleh Majelis Hakim dalam proses persidangan perkara perdata di PN Pamekasan. Berdasar hasil keterangan dua saksi tersebut, tidak ada yang menguatkan bahwa Bahriyah benar-benar menjadi penerima hibah.

“Dua saksi menyampaikan keterangan dalam persidangan, bahwa tidak ada akta hibah atas tanah tersebut,” ucap Sulaisi.

Mengenai dasar penerbitan SHM atas nama Fathollah Anwar yang saat ini berada di tangan Sri Suhartatik, kata Sulaisi, merujuk pada dokumen yang sama. Yaitu Letter C, nomor 2208 yang merupakan hasil hibah dari Letter C, nomor 1317, atas nama Pak Butum.

“Hanya, Letter C, nomor 2208 itu, tidak disebutkan nama pemiliknya. Jadi, keduanya (SHM atas nama Fathollah Anwar dan Bahriyah) memiliki dasar yang sama,” tegasnya.

Kuasa Hukum Suhartatik Sebut Sengketa Tanah Harus Diselesaikan di PA

Sulaisi Abdurrazaq sebagai Pengacara dari tergugat Sri Suhartatik mengatakan, kasus sengketa tanah yang dialami kliennya harus diselesaikan secara komprehensif. Sedangkan, untuk mencapai semua itu, tidak dapat diselesaikan hanya dengan persidangan di PN Pamekasan.

Menurutnya, perkara sengketa tanah ini harus diselesaikan melalui persidangan di Pengadilan Agama (PA). Karena, kata dia, masalah dasar dari kasus tersebut adalah tentang harta peninggalan dari Pak Butum.

“Masalah dasarnya, adalah harta peninggalan dari Pak Butum yang belum dibagi waris dan belum ditentukan ahli warisnya. Sehingga terjadi saling klaim,” katanya.

Dari hal demikian, untuk menyelesaikan persoalan secara mendasar, maka diperlukan penyelesaian hukum melalui PA. Supaya, dapat ditentukan secara jelas masing-masing ahli waris yang berhak mendapatkan harta peninggalan Pak Butum.

“Dengan begitu, maka masalah ini akan selesai secara komprehensif. Karena, masalah tersebut adalah perselisihan keluarga. Yaitu antara bibik dan keponakan,” tuturnya.

Jika sekadar dilakukan penyelesaian hukum terkait perkara perdata dan pidananya, maka masih dianggap berpotensi menyulut persoalan yang lebih besar dan berkelanjutan. Karena, bisa saja ada gugatan baru dari ahli waris lain yang juga merupakan keturunan Pak Butum.

Setelah menemukan jalan keluar mengenai pembangian harta waris berdasar hasil sidang di PA, maka dapat dilakukan mediasi lebih lanjut dengan melibatkan semua pihak. Sehingga, kasus pidana dan perdata sengketa tanah antara Nenek Bahriyah dan Sri Suhartatik yang sedang terjadi, bisa diselesaikan secara kekeluargaan.

“Dengan begitu, maka bisa sama-sama mendapatkan haknya. Bahkan, tidak akan ada dendam sesama famili. Makanya, harus diselesaikan melalui jalan tengah,” pungkasnya. (bus/*)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

banner auto