Opini  

Produksi Sejarah Bhuju di Madura

Bhuju' Madura
Salah satu situs makam Bhuju' di Madura. (FOTO: Hasani Utsman)
Oleh: Hasani Utsman*

maduraindepth.com – Beberapa tahun lalu, penulis sempat berbincang dengan K. Abd. Halim Bahwi, seorang peneliti dari Pamekasan yang serius melakukan penelitian sejarah Islam lokal Madura. Dalam kesempatan itu, ia mengungkapkan keinginannya; menyusun Ensiklopedia leluhur (bhuju’) Madura. Alasannya sangat penting, yaitu, bagaimana nama-nama dan sejarah bhuju’ di Madura sepertinya tinggal menunggu waktu untuk dilupakan karena ketidakpedulian anak muda terhadap sejarah lokal, terutama menyangkut sejarah bhuju’.

Di awal memasuki perkuliahan kelas filsafat dan metodologi penulisan sejarah di Yogyakarta beberapa tahun lalu, penulis sangat ditekankan di kelas tersebut tentang cara membedakan fakta dan mitos, sebab sejarah sepenuhnya harus merupakan fakta di masa lalu. Seorang dosen pemangku kelas tersebut lantas bertanya: Nabi Muhammad SAW itu fakta atau mitos? Kami di kelas itu kemudian menjawab dengan serentak; bahwa sejarah Nabi Muhammad SAW merupakan sejarah yang faktual, bukan mitos. Dosen itu kemudian kembali bertanya; atas dasar apa kalian mengatakan bahwa sejarah Nabi Muhammad SAW itu sesuatu yang faktual? Kami di kelas itu terdiam masih memikirkan jawabannya.

Kemudian dosen itu melanjutkan; sejarah Nabi Muhammad SAW itu menjadi faktual sebab zaman kita ke zaman Nabi dihubungkan oleh kitab-kitab hadits dan sejarah yang banyak sekali. Selain itu, makam Nabi juga sangat jelas dan tidak ada perbedaan pendapat, yaitu terletak di kota Madinah. Lantas, dosen itu memperkenalkan logika positivistik, bagaimana sejarah tidak boleh bertentangan dengan sains. Sejak saat itu, penulis mulai paham, bagaimana metodologi Barat bekerja menyangkut penulisan sejarah.

Kemudian, menjadi banyak melahirkan masalah ketika metodologi Barat itu kita terapkan ke dalam pengkajian sejarah tradisional di Nusantara yang banyak mengandalkan sejarah tutur, bukan sejarah berdasarkan dokumen. Apalagi ada ungkapan; tidak ada dukumen tidak ada sejarah (no documents no history). Saya sudah mencoba menerapkan metodologi Barat itu pada kajian tentang tokoh leluhur (yang oleh Madura disebut dengan, bhuju’) dari sejarah Islam awal di Madura. Sejarah yang kemudian sepenuhnya bersumber dari sejarah tutur, situasi sejarahnya romantis dan penuh dengan cerita-cerita keganjilan (karomah). Sejarah bhuju’ itu kemudian sampai hari ini tidak bisa selesai karena kendala metodologis. Bagaimana sejarah sepertinya harus merujuk kepada tradisi kolonial dan nasional yang tidak memberi tempat untuk tradisi lokal.

Baca juga:  Cara Membuat Nasi Lemak Khas Sumenep

Hari Selasa, tanggal 1 November 2022, penulis diundang oleh panitia acara haul para bhuju’ di Desa Banyukapah, Kecamatan Kadungdung, Kabupaten Sampang. Penulis lantas bertanya tentang bagaimana nama dan sejarah para bhuju’ itu sampai ke telinga orang-orang Banyukapah hari ini? Acara haul yang juga menghadirkan KH. Mundzir Cholil Minhaji dari Pondok Pesantren As-Syahidul Kabir Sumber Batu Pamekasan dan KH. Abdul Muqtadir Shinhaji dari Pondok Pesantren al-Falah Sampang, para kiai Desa Banyukapah, Kepala Desa dan para warga itu didahului oleh pengantar dari Haji Nikmah yang menjelaskan sekilas tentang para bhuju’ yang sedang dihauli, seperti Bhuju’ Agung, Bhuju’ Enyem, Bhuju’ Lembung, Bhuju’ Sarangganah, Bhuju’ Lanceng, Bhuju’ Lompak, Bhuju’ Geddung, Bhuju’ Qoros, Bhuju’ Qariba, Bhuju’ Tomber Jailani dan yang lain-lain.

Menurut Haji Nikmah, pada awalnya letak kuburan Bhuju’ Agung tidak diketahui secara spesifik, sampai ada seorang Habib dari Marunda, Jakarta yang menyebut letak keberadaan makam Bhuju’ Agung, yang berada di bagian paling utara di sebuah area pemakaman di Desa Banyukapah, atau di sebelah selatan dari kediaman Haji Abdul Hadi. Di bawahnya kuburan Bhuju’ Agung, ada Bhuju’ Enyem yang masih berdasarkan penuturan Haji Nikmah. Di masa lalu, sebelum listrik masuk desa tersebut, kuburan Bhuju’ Enyem terang benerang seperti lampu petromak, dan cerita-cerita keganjilan yang lain di sekitar kuburan bhuju’ di Desa Banyukapah. Mendengar penjelasan Haji Nikmah tersebut, pertanyaan penulis di masa lalu tentang metodologi penulisan sejarah timbul kembali; model terawangan yang dilakukan seorang tokoh seperti yang dilakukan oleh seorang Habib dari Marunda tersebut ada di mana dalam konteks tradisi penulisan sejarah? Tentu saja, kalau jawaban itu dicari dari tradisi Barat akan kesulitan ditemukan jawabannya.

Baca juga:  Kedelai Naik, Produksi Tahu di Sampang Terjun Bebas Sampai 50 Persen

Penulis lantas teringat pada tulisan berjudul: Habib Lutfi bin Yahya dan Produksi Sejarah Kewalian Nusantara berdasarkan ceramah Habib Ismail Fajri Alatas dalam sebuah kesempatan Studium Generale pada Selasa, 25 September 2018, di Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta sebagai rangkaian kegiatan Orientasi Studi Mahasiswa Baru. Ceramah yang disampaikan berjudul: Mimpi Wali/ Wali Mimpi: Otoritas dan Praksis Sejarah Islam di Jawa.

Bagaimana Habib Ismail Fajri Alatas bercerita, pada 15 Maret 2017, koran nasional Jawa Pos memuat berita tentang peresmian tempat ziarah wali baru di Desa Jagalan, Kaliwungu, Kendal, Jawa Tengah. Di tempat itu, telah ditemukan makam kuno yang diidentifikasi sebagai makam Habib Ahmad bin Aqil al-Munawwar, seorang wali penyebar Islam yang tidak terkenal, bahkan oleh masyarakat sekitar tempat itu. Menjadi unik karena yang menemukan bukan seorang peneliti di bidang sejarah dan antropologi. Yang menemukan kuburan itu adalah Habib Muhammad Lutfi bin Yahya dari Pekalongan, Ketua Jam’iyyah Ahlith Thariqah al-Mu’tabarah an-Nahdliyyah (JATMAN). Sebelumnya, Habib Lutfi mendapatkan visi spiritual yang pada akhirnya beliau menyebutkan, di situ ada kuburan Habib Ahmad bin Aqil al-Munawwar.

Habib Ismail Fajri Alatas mengatakan, bahwa mimpi dan visi spiritual bisa dijadikan metode dalam produksi sejarah (history making) seperti yang telah dilakukan oleh Habib Lutfi dengan metode mimpi dan visi spiritual. Tentu saja, metode yang demikian menurut Habib Ismail Fajri Alatas berbeda dengan metode historiografi mainstream yang berdasarkan mata rantai (isnad) dan tradisi sejarah sekuler yang emspiris-positivistik.

Habib Ismail Fajri Alatas menyebut kajian antropologi sejarah yang dilakukan Amira Mittermaier, Charles Stewart, dan Anand Taneja yang menempatkan mimpi bukan sesuatu yang bersifat proyeksi subyektif psikologis, tetapi sebagai pertemuan sosial-etis (socio-ethical encounters). Sedangkan bagi kaum Sufi, mimpi juga berguna sebagai akses bertemu dengan aktor-aktor historis.

Baca juga:  Pesan Bupati Pada Muscab HKTI Se Madura Yang Berlangsung di Sampang

Yang menarik dari apa yang disampaikan Habib Ismail Fajri Alatas dalam kesempatan itu, yaitu, metode yang telah digunakan Habib Luthfi sebagai metode narasi sejarah alternatif. Tokoh seperti Habib Luthfi sedang bekerja memperbaiki sejarah Islam di Nusantara dengan cara menghadirkan kembali narasi sejarah kewalian. Menurut Habib Ismail Fajri Alatas maraknya ajaran wahabi di Indonesia karena kegagalan muslim di Indonesia dalam membangun narasi sejarah islamnya sendiri, yang datang dari Arab dianggap otentik sedangkan sejarah Islam di Nusantara dianggap sinkretik.

Kembali kepada peringatan haul para bhuju’ di Desa Banyukapah, memang tidak banyak narasi sejarah alternatif yang bisa diceritakan dari keberadaan situs sejarah Bhuju’ Agung dan para bhuju’ yang lain, tetapi paling tidak, masyarakat memiliki kepedulian terhadap situs sejarah dan hubungan batin dengan leluhur kawasan tersebut. Seperti apa yang yang dikatakan oleh KH. Mundzir Cholil Minhaji selaku penceramah pada kesempatan tersebut; orang tua yang telah meninggal dunia tidak pernah melaknat keturunan-keturunannya yang masih hidup walaupun para keturunan menyimpang dari jalan kebenaran, orang-orang tua yang telah meninggal dunia itu selalu mendoakan para keturunannya agar kembali kepada kebenaran dan mati dalam keadaan Islam dan iman sebagaimana mereka mati. Kiai Mundzir menegaskan, peringatan haul leluhur (bhuju’) merupakan pengabdian orang yang masih hidup kepada orang yang telah wafat (birrul ahya’ lil amwat).

Bagi penulis sendiri, upacara haul para bhuju’ sebagai usaha awal pelembagaan situs dan produksi sejarah lokal dan Islam tradisional yang sangat penting. Sebagaimana dikatakan oleh Habib Ismail Fajri Alatas, maraknya Islam transnasional karena kegagalan umat Islam di Nusantara menarasikan sejarahnya sendiri [*]

*Penulis merupakan sejarawan dan pemerhati tradisi dan budaya Madura.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *