maduraindepth.com – Muhammad, 32 tahun, penyandang disabilitas daksa masih ingat kalau orang tuanya sangat protektif.
“Dulu waktu kecil orang tua memproteksi saya agar tidak keluar dan bermain dengan teman-teman. Mungkin karena mereka khawatir takut terjadi apa-apa dengan saya,” ujar Muhammad yang tinggal di kelurahan Polagan, Sampang.
Akibatnya Muhammad tidak punya rasa percaya diri. Dia kuatir dengan kekurangan yang dimilikinya dalam bergaul dengan orang lain. Belum lagi stigma bahwa menyandang disabilitas itu adalah aib.
Dia yakin teman-temannya sesama penyandang disabilitas mengalami hal yang sama.
“Hal ini tidak lepas dari lingkungan keluarga yang sangat ketat menjaga agar tidak berinteraksi dengan lingkungan luar,” katanya.
Kendati demikian, Muhammad adalah satu dari ribuan penyandang disabilitas di Madura yang berhasil memiliki identitas kependudukan. Ia mengikuti perekaman KTP massal di kantor kecamatan. Muhammad datang ke kantor kecamatan meskipun menjadi perhatian banyak warga yang hadir mengikuti perekaman KTP-elektronik waktu itu.
“Sama seperti yang lain, saya juga disuruh duduk menunggu antrian. Jadi tidak ada fasilitas khusus bagi penyandang disabilitas. Cuma saat itu orang banyak melihat ke saya. Ya, mungkin karena kondisi saya yang seperti ini,” kenangnya.
Muhammad mengatakan dia tidak mempedulikan tatapan orang-orang pada saat itu. Bagi dia, selama tidak ada kata cemoohan yang keluar, dia tidak akan peduli.
“Saya cuek saja,” ucapnya.
Sekarang Muhammad cukup beruntung karena memiliki dokumen kependudukan, seperti akta kelahiran, kartu keluarga dan KTP-elektronik.
Walaupun telah memiliki dokumen kependudukan yang lengkap, Muhammad mengaku belum pernah melamar kerja ke kantor atau perusahaan. Muhammad masih belum punya keberanian karena keterbatasan kondisi fisiknya.
Pria lulusan SD ini bekerja di bengkel milik kakaknya. “Saya enggak berani melamar kerja. Dinas pun enggak pernah menawarkan pekerjaan kepada saya,” tuturnya.
Penyandang disabilitas yang pernah dikirim ke Balai Latihan Kerja di Solo, Jawa Tengah selama satu tahun ini menginginkan adanya peraturan yang dapat melindungi hak disabilitas. Dengan adanya peraturan daerah, Muhammad yakin percaya diri teman-temannya akan meningkat karena ada kepastian hukum.
“Kalau sekarang ya enggak berani lah (melamar kerja). Teman disabilitas yang lulus S1 saja kemarin enggak lolos seleksi masuk pegawai negeri, apalagi saya yang lulusan SD,” ujarnya sambil tertawa.
Perhatian pemerintah kepada penyandang disabilitas masih minim. Buktinya, hingga sekarang belum ada regulasi yang mengatur tentang perlindungan kepada mereka. Bahkan, tidak sedikit disabilitas yang belum mendapatkan pelayanan kependudukan dan sulit mendapatkan pekerjaan.
Ketua Perkumpulan Penyandang Disabilitas Indonesia (PPDI) Sampang Munawi menuturkan, persepsi masyarakat tentang disabilitas berdampak pada akses yang diperoleh. Misalnya, disabilitas tidak memiliki e-KTP serta pelayanan yang lainnya. Padahal pelayanan tersebut penting bagi disabilitas untuk mendapatkan hak-haknya, termasuk akses pada pekerjaan.
Munawi berharap ada regulasi khusus yang mengatur perlindungan kepada disabilitas. “Jadi, kita berharap diberlakukan sama dengan yang lain,” ucap karyawan tetap PT. Garam itu.
Menyikapi itu, Agus Sumarso, Kepala Bidang Ketenagakerjaan (Naker) Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP) Sampang. Menurutnya, sebelum pandemi pihaknya aktif menggelar pelatihan keterampilan bagi penyandang disabilitas.
Peserta yang ikut pelatihan sebanyak 20 orang. Namun, sejak adanya covid-19, tidak ada lagi pelatihan khusus disabilitas yang dilaksanakan di Balai Latihan Kerja (BLK) Sampang.
Pelatihan dilakukan untuk meningkatkan taraf hidup penyandang disabilitas dan tidak membebani anggota keluarga yang lain.
“Jangan sampai karena punya keterbatasan lalu diabaikan. Hal itu jangan sampai terjadi,” ucap Agus Sumarso saat ditemui di kantornya, Senin (13/9/2021).
Pemerintah, lanjut Agus, membantu disabilitas dengan sistem pelatihan dan penyediaan alat-alat agar bisa mandiri dan membuka usaha. Sedangkan bentuk pelatihannya menyesuaikan keinginan dan kemampuan disabilitas.
“Keahlian apa yang dimilikinya kita coba untuk memberikan kesempatan dan melatih di bidang masing-masing. Misalkan mereka suka menjahit, kita fasilitasi pelatihan dan kasih alatnya,” ujarnya
Agus menerangkan, beberapa penyandang disabilitas yang telah mengikuti pelatihan kini telah mandiri dan membuka usaha sendiri. Bahkan, ada diantara mereka ikut membantu perekonomian keluarganya.
“Malah ada disabilitas memberikan nafkah kepada keluarga yang sehat, ada juga yang memperkerjakan tetangganya yang bukan disabilitas,” akunya.
Karena itu, untuk mendukung penyandang disabilitas agar bisa diterima bekerja, setelah diberikan pelatihan, pihak Naker Sampang juga memberikan bantuan alat-alat, seperti mesin jahit, peralatan bengkel dan lain sebagainya. Selain itu juga diberikan sertifikat hasil pelatihan. Namun, sebagian besar dari mereka tidak mau menerima sertifikat. Alasannya, karena hanya tamatan SD dan bahkan ada yang tidak sekolah.
“Kalau ingin melamar pekerjaan di perusahaan, paling tidak sertifikat sebagai pendukung saja. Tapi yang utama adalah ijazah, oleh karena itu kami fokus ke pelatihan dan alatnya saja,”
kata Agus Sumarso.
Sekretaris Komisi IV DPRD Sampang Shohibus Sulton mengutarakan, pihaknya sudah beberapa kali bertemu dengan Dinas Sosial, membahas yang berkaitan dengan disabilitas. Diantaranya, pemenuhan hak-hak disabilitas hingga serapan lapangan pekerjaan.
Menurutnya, orang dengan disabilitas membutuhkan perhatian khusus dari pemerintah daerah.
“Kami sudah sampaikan ke Dinsos waktu itu agar memberikan ruang bagi mereka (disabilitas),” ujar Politisi Partai Gerindra ini, Selasa (14/9/2021).
Anggota Dewan yang akrab dipanggil Sulton ini menilai, masih banyak disabilitas yang didiskreditkan. Termasuk dalam pemenuhan pelayanan administrasi kependudukan. Ia meminta pemerintah memberikan ruang dan hak yang sama antara disabilitas dengan yang lainnya.
Karena itu, pihaknya mendesak pemerintah agar ada kesetaraan disabilitas. Hal itu perlu kerjasama pemerintah desa, kecamatan dan kabupaten untuk menjamin berkaitan dengan pelayanan adminduk.
“Ini komitmen kami agar kesetaraan harus ada. Jadi tidak hanya gender yang digaungkan harus setara,” ungkap Sulton.
Kedepan, pihaknya akan mendorong pembentukan peraturan daerah (Perda) yang mengatur perlindungan disabilitas. Namun hal itu membutuhkan waktu yang tidak singkat. Sebab, pihaknya harus membahas di internal komisi IV untuk melakukan kajian akademis
Menurutnya, proses pengusulan perda bukan perorangan. “Kebetulan saya di Bapemperda jadi saya kuatkan dulu di internal. Saya janji akan kawal sendiri perdanya,” tandas Sulton.
Terkait pemenuhan hak dan perlindungan penyandang disabilitas, Ketua Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia Nahdlatul Ulama (Lakpesdam NU) Kabupaten Sampang, Faisol Ramdhoni menyampaikan, penyandang disabilitas merupakan bagian dari masyarakat Sampang yang mempunyai kedudukan, hak, kewajiban dan peran yang setara dengan yang lain.
Untuk mewujudkan perlindungan dan pemenuhan hak Penyandang Disabilitas diperlukan sarana dan prasarana serta upaya yang lebih terpadu dan berkesinambungan. Sehingga Penyandang Disabilitas terlindungi dari penelantaran, eksploitasi, pelecehan dan segala tindakan diskriminatif, serta pelanggaran hak asasi manusia.
”Maka untuk memenuhi itu semua, sangat mendesak untuk segera dilakukan penyusunan Perda Perlindungan dan Pemenuhan Hak Disabilitas,” tegasnya.
Pria yang aktif dalam isu inklusi dan kesetaraan ini mengatakan, kehadiran regulasi yang mengatur pemenuhan hak disabilitas menjadi pondasi awal bagi Pemerintah Sampang dan semua pihak untuk melakukan akselarasi kepekaan disabilitas.
”Dari regulasi itu pula, nantinya pemerintah bisa lebih berbuat untuk menciptakan Inklusifitas kebijakan baik melalui penyediaan anggaran, sarana prasrana maupun penyediaan lapangan kerja,” ucapnya.
Rencana itu disambut salah satu warga disabilitas Tricahyo Slamet Widodo dengan senang hati. Disabilitas daksa asal desa Patarongan, Kecamatan Torjun, Kabupaten Sampang itu mengatakan, Peraturan Daerah (Perda) tentang perlindungan dan pemenuhan hak-hak disabilitas di Kabupaten Sampang perlu segera dibuat oleh DPRD. Keberadaan Perda akan menguatkan kelompok disabilitas.
“Segala sesuatu, baik itu program atau kegiatan kalau ada regulasi yang jelas kita tinggal melaksanakan. Sangat penting sekali. Makanya saya berharap anggota DPRD Sampang segera membuat Perda tentang Perlindungan Hak Disabilitas,” ungkapnya kepada maduraindepth.com di rumahnya, Minggu (19/9/2021).
Pemenuhan hak-hak disabilitas, jelas dia, meliputi banyak hal. Utamanya, layanan kesehatan, sosial, pendidikan, ekonomi dan taraf hidup. Diakuinya, layanan kesehatan di Sampang masih belum menjangkau penyandang disabilitas.
“Masih banyak yang tidak memiliki kartu BPJS. Kendalanya ya dari dokumen kependudukan. Maka dari itu, saya berharap Dispendukcapil jangan menunggu bola, harus jemput bola,” ucap lelaki yang disapa dengan Wiwid ini.
Dalam menangani masalah disabilitas, Wiwid menilai sejumlah Organisasi Pemerintah Daerah (OPD) di kabupaten Sampang masih belum terjalin koordinasi lintas sektoral yang baik. Yang muncul justru ego sektoral di masing-masing OPD.
“Harus ada koordinasi antara Dinas Sosial, Dispendukcapil, Tenaga Kesejahteraan Sosial Kecamatan (TKSK) dan pemerintah desa dalam menangani disabilitas. Dan itu bisa jalan kalau sudah ada regulasi atau Perdanya,” ujarnya.
“Karena itu, saya minta disabilitas jangan dijadikan korban lah. Setelah didata, tapi tidak ada tindaklanjut,” tambah bapak lima anak ini.
Meski demikian, Wiwid mengakui bahwa saat ini sudah mulai ada perhatian dari Pemkab Sampang kepada penyandang disabilitas. Terbukti, usulan dan masukan dari PPDI ditindaklanjuti oleh pemerintah daerah. ”Tapi itu (perhatian) kan tidak tetap. Selama tidak ada regulasi, ya tetap saja posisi kita lemah dan rentan,” ujarnya.
Wiwid mengungkapkan, lemahnya perlindungan terhadap hak-hak disabilitas terlihat pada saat dua orang penyandang disabilitas dinyatakan tidak lolos seleksi CPNS beberapa waktu lalu. Padahal, lanjut dia, kedua temannya tersebut sudah melengkapi persyaratan administrasi. Kejadian tersebut menjadi bukti bahwa perlindungan terhadap hak disabilitas masih rendah.
“Kalau sudah ada Perda-nya saya yakin hak-hak disabilitas akan terlindungi, termasuk hak mendapatkan pekerjaan yang layak,” ungkapnya.
Selain itu, penyandang disabilitas juga belum dapat mengakses program terdampak Covid-19, yakni bantuan modal bagi pelaku UMKM. Wiwid dan teman-temannya sesama disabilitas sudah mengajukan permohonan ke Dinas terkait, namun akhirnya gagal karena terkendala persyaratan harus ada jaminan. Padahal, jelas Wiwid, penyandang disabilitas yang tergabung di PPDI sudah banyak yang membuka usaha sendiri.
“Yang memberatkan kami (disabilitas) jaminannya itu. Terus apa yang akan kami jadikan jaminan dengan kondisi kami yang seperti ini,” ujar Wiwid sambil menunjukkan kondisi rumahnya yang sangat sederhana.
Pria yang membuka usaha produksi tas dan dompet ini berharap secepatnya dibentuk Perda sebagai regulasi untuk menguatkan dan melindungi hak-hak disabilitas.
“Karena kita punya hak dan kewajiban yang sama dengan non disabilitas,” tutupnya. (aw)