Grebek Tajin Sorah

Oleh: Faisol Ramdhoni *

Bagi mayoritas umat Islam di dunia nanti malam merupakan malam tahun baru hijtiyah. Namun bagi masyarakat Islam Indonesia, malam nanti juga dikenal sebagai malam satu Suro.

Tradisi malam satu Suro bermula saat zaman Sultan Agung sekitar tahun 1613-1645. Saat itu, Sultan Agung berinisiatif untuk memperluas ajaran Islam di tanah Jawa dengan menggunakan metode perpaduan antara tradisi Jawa dan Islam. Sehingga dalam dakwahnya menggunakan pendekatan tradisi dan budaya.

Saat itu, masyarakat banyak mengikuti sistem penanggalan tahun Saka yang diwarisi dari tradisi Hindu. Hal ini bertentangan dengan Mataram yang Islam dan sudah menggunakan kalender Hijriyah.

Sebagai dampak perpaduan tradisi Jawa dan Islam, dipilihlah tanggal 1 Muharam yang kemudian ditetapkan sebagai tahun baru Jawa. Hingga saat ini, setiap tahunnya tradisi malam satu Suro selalu diadakan oleh masyarakat Jawa.

Walhasil, hingga saat ini malam satu muharram alias malam satu suro terutama oleh orang Jawa dan Madura diperingati dengan aneka ritual dan kegiatan.

Di Madura, biasanya diperingati dengan membuat bubur suro atau dalam bahasa Madura disebut Tajin Sorah. Kemudian dibagikan ke sanak saudara dan tetangga.

Tajin sorah biasanya terdiri atas bubur (tajin), yang dicampur dengan sedikit kuah santan seperti opor dan lauk yang bervariasi.

Baca juga:  Virus Corona Menggila, Trend Kalahkan Kasus Korupsi di Indonesia

Di atasnya ditambah tahu-tempe yang dipotong kecil-kecil, irisan telur, taburan cabai merah, kacang tanah goreng, dan bawang goreng.

Tradisi ini telah ada sejak dulu kala walau kini mulai menghilang. Andaikan ada kepekaan dan kecerdasan berbudaya dari Pemerintah Daerah. Sangat terbuka peluang untuk menjadikan tradisi tajin sorah ini sebagai daya tarik wisatawan.

Kita tahu, di Ponorogo, ada ritual suroan yang selalu ditunggu tunggu wisatawan yakni Grebek Suro. Di mana dalam perayaannya, selain diwarnai aneka festival seni khas ponorogo juga diadakan kirab Tumpeng Raksasa yang terbuat dari beras merah.

Bila Pemerintah Daerah Ponorogo bisa menarik orang luar untuk berkunjung dengan Tumpeng Besar beras merahnya, mengapa Pemerintah Daerah di Madura tidak bisa melakukannya dengan modal Tajin Sorahnya?.

Tahun depan, mungkin bisa diinisiasi sebuah perayaan model Ponorogo tersebut dan diberi nama Grebek Tajin Sorah.

Bukankah hal itu sangat bermanfaat bagi perkembangan pembangunan dan bisa meningkatkan perputaran ekonomi masyarakat?.

* Penulis, Ketua Lakpesdam PCNU Sampang.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

banner auto