Opini  

Tantangan Pesantren Masa Kini

Aunul Abied Shah Tantangan Pesantren Masa Kini
Muhammad Aunul Abied Shah. (FOTO: Istimewa)
Oleh: Muhammad Aunul Abied Shah*

maduraindepth.com – Baru-baru ini Menteri Agama Jend. TNI (Pur) Fachrul Razi membuat statemen yang sangat krusial, tetapi kelihatannya kurang banyak menarik perhatian. Dia menyatakan bahwa Peraturan Menteri Agama yang menjadi turunan UU Pesantren sudah lulus uji publik.

“Undang-undang ini memberikan afirmasi, rekognisi, dan fasilitasi terhadap pesantren dalam melaksanakan fungsi pendidikan, dakwah, dan pemberdayaan masyarakat,” katanya saat memimpin peringatan Hari Santri Nasional (HSN) 2020 di Kantor Kemenag, Jakarta Pusat, Kamis (22/10).

banner 728x90

Nantinya, lewat peraturan tersebut, pesantren akan resmi menjadi lembaga pendidikan formil yang diakui ijazahnya. Dengan bahasa lain, Peraturan turunan ini akan semakin mengabsahkan terjadinya formalisasi pesantren. Apakah ada positifnya? Bisa jadi yang sudah disebutkan akan direalisasi, baik semuanya ataupun sebagiannya. Apakah ada negatifnya? sudah tentu!

Salah satu persoalan utama yang timbul dari formalisasi pendidikan di pesantren adalah pembakuan yang membuat pesantren tidak bisa menjalankan misinya untuk memenuhi kebutuhan sektoral dan regional masyarakatnya. Seperti yang terlihat dari sistem pendidikan nasional saat ini yang terlalu “sentralistik minded” dan “Jakartanized oriented”. Padahal kondisi di setiap daerah sangat berbeda dengan capaian-capaian pendidikan dan kebutuhan riil masyarakat, kalau dibandingkan dengan apa yang terjadi di “Pusat”.

Pada akhirnya, setiap aturan mirip dengan soal ujian Nasional; dibuat standardisasi garis tengah, bahkan terkadang dipaksakan selurusan dengan garis minimal, sebagaimana terlihat pada kurikulum Madrasah Diniyah (Madin) yang terdapat di subdit Pontren Kemenag saat ini -terasa rendah dan tidak memperhatikan keanekaragaman pesantren yang ada-.

Baca juga:  Menjemput Takdir Sang Pembaharu di Satu Abad NU

Formalisasi pendidikan pesantren juga membuat lembaga Islam tradisional ini semakin mudah dikooptasi oleh dinamika politik dan kekuasaan, baik di tingkat pusat dan maupun di tingkat daerah. Dalam kenyataannya pesantren yang mempunyai kekhasan sebagai lembaga pendidikan dan lembaga kemasyarakatan sekaligus tidak bisa melepaskan diri sepenuhnya dari dinamika politik yang berlangsung di sekitarnya. Sebab politik adalah upaya untuk mendapatkan powerful authority (kekuasaan) terhadap sumber daya yang ada, baik berupa sumber daya alam, dan maupun sumber daya manusia dan finansial.

Di sisi lain, di banyak daerah yang ada di Indonesia, khususnya di kantong-kantong santri, kita mendapatkan bahwa pesantren adalah otoritas soft-power yang tidak bisa diremehkan pengaruhnya.

Ya, politik dan pendidikan adalah inextricably linked (terkait tanpa bisa dipisahkan) dalam ungkapan Abernethy dan Coombe, khususnya dalam proses pembentukan aspirasi dan sikap politik sebuah kelompok masyarakat. Bahkan Paulo Freire mensinyalir adanya hubungan timbal balik yang saling mempengaruhi antara pendidikan dan politik.

Masalahnya, ikhlaskah para stakeholder pesantren membiarkan intervensi politik yang terlalu dalam terhadap proses pendidikan yang di berlangsung di pesantrennya, sehingga sampai mempengaruhi citra dan mengubah – sedikit atau banyak – jatidiri pesantren tersebut?

Para Kyai pemangku pesantren seharusnya melakukan politik adiluhung, bukannya politik praktis yang telah terbukti – selama masa reformasi – banyak merusak citra para kyai dan pesantrennya. Apalagi saat ini, keterlibatan para pemangku pesantren dalam dunia politik memang berhasil membuat bangunan pesantren semakin megah menjulang tinggi, tetapi di sisi lain telah membuat bangunan idealismenya menjadi keropos siap-siap roboh tak lama lagi. Apalah bedanya bahwa realita itu telah dirasakan dan diakui, ataupun tidak, selama tidak ada kesadaran dan tindakan nyata untuk menangani “susu yang kadung tumpah”.

Baca juga:  Urgensi Budaya "Ase-Bherse" Menjelang Bulan Ramadhan

Dan salah satu fenomena yang sekarang ini berkembang di dunia pesantren adalah terjadinya pergeseran pandangan masyarakat terhadap figur kyai pemimpin pesantren. Kyai yang tadinya adalah figur kharismatik yang digugu dan ditiru, banyak yang sudah berubah dalam anggapan mereka menjadi figur kyai administratif yang utamanya diberi amanat untuk melanjutkan kepemimpin pesantren karena faktor keturunan semata.

Figur kyai administratif ini dikritisi oleh publik karena tidak “sebijaksana” pendahulunya; tidak bisa lagi menjadi sosok panutan yang melanjutkan spirit kekiayian dan kepesantrenan yang sudah mengakar dalam sejarah masa lampau. Sebagai konsekuensi logisnya, di berbagai daerah muncul lembaga-lembaga pendidikan model baru yang tidak lagi mengusung nilai-nilai luhur pesantren dan tidak lagi tergantung kepada figur kharismatik seorang kyai.

Lembaga pendidikan model baru ini lebih bertumpu kepada tawaran sistem dan fasilitas yang memenuhi “kebutuhan pasar”. Tak heran kalau kemudian terjadi pergeseran lebih jauh dalam hubungan antara guru dan murid dalam lembaga-lembaga pendidikan itu: tidak ada lagi relasi yang sakral antara kyai dengan santrinya, karena berubah menjadi relasi antara produsen (informasi, pengetahuan dan gaya hidup) dengan para konsumennya (= orang tua dan murid). Semua itu berubah menjadi relasi yang profan, alias biasa saja dan netral nilai, dalam ranah sosio-ekonomis antara pihak yang mempunyai kebutuhan (demand) dan pihak yang menjajakan upaya pemenuhan kebutuhan tersebut (supply) .

Baca juga:  Menjadi Pion dan Elaborasi Perasaan

Kapasitas kyai dan pesantren sebagai pemegang amanat untuk mencetak para mundzirul qaum juga semakin berat, karena lower-input pendidikan (para calon santri) tidak seberkualitas sebelumnya. Sehingga pesantren harus lebih dulu menyiapkan jenjang pendidikan pra-mondok, yang dikritisi oleh publik karena tidak memberikan perhatian – antara lain – kepada usia dan hilangnya umur santri.

Di sisi lain, masyarakat sekarang membutuhkan jawaban-jawaban instan (cepat saji) dari pesantren dan kyainya. Sehingga ketidakmampuan pesantren untuk mencetak the right religious and professional man in the right place and right time akan membuat pesantren semakin ditinggalkan. Tak heran kalau kemudian bermunculan tokoh-tokoh agama karbitan yang mampu menarik perhatian, dengan mudah mengeluarkan statemen yang viral, padahal tidak memiliki kemampuan agama yang mendalam. Rabbuna yastur! (*)

* Khuwaidimul `ilmi wat Thariqah an-Naqsyabandiyah, Pengasuh PP. Darus Salam Torjun Sampang Madura, anggota BASSRA (Badan Silaturrahim Ulama Pesantren Madura)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *