Oleh: Muhammad Aunul Abied Shah*
maduraindepth.com – Beberapa sejarawan Muslim, seperti Ahmad Amin (pemikir modernis asal Mesir di awal abad XX) dalam tetralogi sejarah Islamnya yang terkenal, mempunyai asumsi bahwasanya salah satu faktor utama keberhasilan dakwah Kanjeng Nabi Muhammad SAW dalam rentang dua dekade saja adalah disebabkan oleh adanya tuntunan langsung dari langit (wahyu). Seolah tanpa adanya wahyu yang turun sesuai dengan asbabun nuzul-nya, tak bakal dakwah tersebut akan berhasil sedemikian rupa.
Kita bisa saja sepakat dengan asumsi di atas, dan bisa pula berbeda pendapat. Tetapi dalam faktanya, para ulama dan pendakwah Islam yang bergerak ke berbagai pelosok bumi tidak menjadikan wahyu yang tidak turun lagi sebagai alasan untuk berputus asa. Mereka terus bergerak ke timur, ke barat dan ke selatan. Sampai ada yang tiba ke negeri China dengan membawa Islam yang damai, sebagaimana juga para wali songo yang mengusung dakwah Islam ke Nusantara sebagai rahmat bagi alam semesta.
Bagi para pendakwah Islam yang kemudian terbukti sangat berhasil itu, Islam par excellence adalah pengejawantahan dari sabda Rasulullah SAW dalam sebuah hadits: bahwasanya kita harus mengikuti Ahlus Sunnah wal Jamaah, yaitu mayoritas umat Islam pada setiap zaman yang mewujudkan kembali cara berintuisi, cara berpikir, cara berbicara, cara bertindak dan berperilaku yang sesuai dengan kebiasaan Kanjeng Nabi SAW sendiri dan para sahabatnya. Kata “sesuai” ini perlu diberi penekanan khusus, karena tidak meniscayakan kesamaan yang rigid/saklek seperti yang dipahami oleh orang picik, melainkan menyiratkan adanya kesejalanan dan tidak adanya pertentangan. Contohnya, berpakaian tidak harus berjubah seperti orang Arab, tetapi harus pantas dan memenuhi syarat yang menutup aurat.
Keterhubungan yang kohesif, melekat tidak bisa terpisahkan antara diri mereka dengan ajaran Ahlus Sunnah wal Jamaah tersebut. Karena mereka memang mendapatkannya bukan dari sekedar membaca kitab, atau belajar secara teoritis menggunakan metode otodidak; melainkan mendapatkannya secara langsung melalui proses keteladanan sepanjang hayat. Bagaimana tidak? Sejak guru-guru pertama mereka, yaitu para sahabat, mereka sudah melaksanakan sabda Kanjeng Nabi SAW: “shalluu kamaa raaytumuuni ushally” (Shalatlah sebagaimana kalian melihat cara saya melaksanakan shalat), juga dawuh Nabi Muhammad SAW: “khuzhuu `anny manaasikakum” (Ambillah dari saya cara kalian melakukan manasik haji/umrah). Sehingga, yang ditransmisikan oleh Kanjeng Nabi SAW kepada para sahabat sampai kepada guru-guru kita (para ulama Ahlus Sunnah wal Jamaah) bukan sekedar ajaran teoritis semata, melainkan juga penjiwaan dan penerapan yang paling bijaksana terhadap ajaran itu sendiri. Tidak heran kalau Abdullah Nashih `Ulwan dalam bukunya yang legendaris, Tarbiyatul Awlaad fil Islam, menyatakan bahwa keteladanan bukan hanya memperhatikan aspek fisik yang terlihat kasat mata an sich, melainkan juga memberikan perhatian besar terhadap aspek moral dan kejiwaan.
Pendidikan keteladan dimulai dari cinta kepada yang diteladani. Bagaimana kita bisa tergerak untuk meneladani para guru dan para kyai kita kalau kita tidak mencintai mereka? Bagaimana kita bisa meneladani Kanjeng Nabi SAW kalau kita tidak mencintai beliau? Dan ini dibuktikan oleh para peneliti ilmu pendidikan modern, seperti Cronbach dalam Educational Psychology-nya, yang mendapatkan bahwasanya kekaguman pada seseorang akan menimbulkan keinginan untuk mengidentifikasikan diri agar pribadinya bisa sama secara utuh dengan figur yang dikagumi dan dicintainya itu.
Itulah yang dimaksudkan oleh banyak ulama kita sebagai ber-Islam sebagai sebuah agama cinta. Karena orang kalau sudah kadung cinta tidak bakal berbicara lagi tentang hak dan kewajiban masing-masing pihak. Kalau sudah cinta, apapun yang diminta oleh guru, apapun yang dibutuhkan untuk memuliakan agama Allah dan umatnya Kanjeng Nabi SAW akan diberikan, tanpa ada cadangan rasa berat di hati. Sedikitpun!
Itulah yang kita dapatkan dari sejarah para ulama pembawa agama Islam ke seluruh penjuru dunia. Mereka dengan keikhlasan yang luar biasa, tatakrama yang bisa digugu dan ditiru membuat banyak orang hidup dalam naungan Islam tanpa paksaan, minus kekerasan. Jadi kalau ada yang mau memaksakan Islamnya yang keras dan tidak ramah, berarti dia salah guru. Bisa jadi dia belajar otodidak dari buku terjemahan.
* Khuwaidimul `ilmi wat Thariqah an-Naqsyabandiyah, Pengasuh PP Darus Salam Torjun Sampang Madura, anggota BASSRA (Badan Silaturrahmi Ulama Pesantren Madura)