Sultan Raden Abdul Kadir Bangkalan, Pendobrak Tradisi Kraton yang Ahli Strategi

Sultan Raden Abdul Kadir
Bentuk cungkup di pasarean Sultan Raden Abdul Kadir yang berselimut kain putih. (Foto: AH/MI)

maduraindepth.com – Mata pengunjung Masjid Agung Bangkalan seakan digoda oleh kalimat pendek pada tembok yang bertuliskan “Pasarean Sultan Raden Abdul Kadirun” serta gambar panah ke arah barat apabila melewati sisi selatan. Kalimat yang nyata-nyata memandu para jamaah, khususnya peziarah, yang hendak menuju pasarean (makam) untuk mendoakan beliau.

Sebuah bangunan bergaya arsitektur Jawa, bercat kombinasi warna abu-abu, kuning emas, dan biru masih berdiri kokoh tepat di sebelah barat Masjid Agung Bangkalan. Empat pilar berukuran cukup besar yang jadi penyangga bagian teras depan kian mempertegas jika bangunan tersebut bukanlah hunian, melainkan bangunan yang dipenuhi makam. Puluhan batu nisan yang menancap di area teras jelas menandakan adanya jasad yang bersemayam. Di bagian dalam bangunan tak kalah banyak makam yang terlihat.

banner auto

Pasarean Sultan Raden Abdul Kadir ada di bagian dalam, dilindungi penutup makam (congkop atau cungkup) yang ditopang empat tiang penyangga serta kain selambu putih sebagai penutup. Terdapat tiga cungkup di bagian dalam. Pada cungkup pertama (terdekat atau sebelah kiri dari pintu masuk) bersemayam jasad Raden Abdul Jumali (Pangeran Adipati Pakuningrat). Dia adalah putra mahkota terakhir Kerajaan Madura Barat yang akan menggantikan kedudukan Panembahan Ismail atau Panembahan Cakraadiningrat VIII (1862–1882). Sayang, Raden Abdul Jumali lebih dulu wafat (1879), menyusul Panembahan Ismail (1882).

Pada cungkup kedua bersemayam jasad Kanjeng Ratu Maduretno (Permaisuri dari Panembahan Sedomukti yang bergelar Panembahan Cakraadiningrat V) serta Raden Moh. Yusuf (raja ke-12 yang bergelar Panembahan Cakraadiningrat VII). Tiga jasad yang bersemayam di cungkup ketiga adalah Sultan Raden Abdul Kadir (Sultan Cakraadiningrat II), Raden Ismail (Panembahan Cakraadiningrat VIII), serta Ratu Ajunan Raden Ayu Masturah (permaisuri Sultan Raden Abdul Kadir).

Satu Permaisuri, Tujuh Selir

Sultan Raden Abdul Kadir
Pasarean Sultan Raden Abdul Kadir (kiri) yang berdampingan dengan pasarean Panembahan Ismail. (Foto: AH/MI)

Sejarah mencatat, di wilayah barat Pulau Madura pernah berdiri kerajaan dengan sebutan Kerajaan Madura Barat. Uniknya, lokasi kraton sebagai pusat pemerintahan berada di lima tempat yang berbeda karena sebab serta alasan yang berbeda pula. Kelima lokasi kraton, secara berurutan, masing-masing berada di Arosbaya (Bangkalan), Madegan (Sampang), Tonjung (Bangkalan), Sembilangan (Bangkalan), serta Bangkalan (kota).

Kerajaan Madura Barat dipimpin 13 raja (terhitung naik tahtanya Raden Pratanu atau Panembahan Lemah Duwur tahun 1531 hingga berahirnya pemerintahan Panembahan Ismail Cakraadiningrat VIII tahun 1882). Kraton Bangkalan (kota) menjadi lokasi sekaligus episode terakhir era Kerajaan Madura Barat. Hingga kemudian dibubarkan oleh Belanda pada 22 Agustus 1885.

Fase Kraton Bangkalan (menjelang pembubaran sistim monarki atau kerajaan) diperintah enam raja. Para raja tersebut adalah Panembahan Sedomukti (1745–1770), Panembahan Tengah (1770–1780), Sultan Abdurrahman Cakraadiningrat I (1780–1815), Sultan Raden Abdul Kadir Cakraadiningrat II (1815-1847, Panembahan Yusuf Cakraadiningrat VII (1847-1862), serta Panembahan Ismail Cakraadiningrat VIII (1862-1882).

Sultan Raden Abdul Kadir Cakraadiningrat II naik tahta pada usia 37 tahun menggantikan sang ayah, Sultan Abdurrahman Cakraadiningrat I, yang wafat tahun 1815. Nama lahirnya adalah Raden Maulana Abdul Kadir. Anak kedua (dari 13 bersaudara) ini lahir dari pasangan Sultan Abdurrahman Cakraadiningrat I dengan permaisuri kedua bernama Raden Ayu Saruni. Sultan Raden Abdul Kadir memerintah selama 32 tahun. Dia wafat pada 28 Januari 1844 di usia 69 tahun. Meski tak disebutkan dalam catatan sejarah, jika ditelaah berdasarkan umur dan tahun wafat, dia diyakini lahir tahun 1778.

Baca juga:  Jamasan Pusaka Leluhur Keraton Sumenep, Tradisi Yang Masih Terjaga

Semasa hidup maupun menjalankan roda pemerintahan, Sultan Raden Abdul Kadir didampingi seorang permaisuri (garwo padmi) bernama Raden Ayu Masturah serta tujuh selir (garwo ampiyan) yaitu Ratu Timur (R. Ayu Saina), Nyai Reno, Nyai Jai, RA. Kenoko, RA. Citrowati, R. Siya, serta R. Ajeng Trisnowati. Dari kedelapan istri tersebut dia dikaruniai 46 anak putra-putri.

“Masyarakat Bangkalan lebih terbiasa menyebut beliau dengan nama Raden Abdul Kadirun. Penambahan akhiran “un” bukannya tanpa alasan. Versi pertama berasal dari manuskrip berbahasa Arab pegon yang ada pada KH. Abd Hannan, pimpinan Pondok Pesantren Al Ihsani (Desa Sendang Dajah, Kec. Labang, Kab. Bangkalan, Madura). Pada manuskrip tertera nama beliau disebut Dzul Kadirun. Versi kedua dari uraian (alm) KH Mahfud Hadi BA yang pernah menjabat Ketua Takmir Masjid Agung Bangkalan. Akhiran “un” dimaksudkan bahwa Raden Abdul Kadirun adalah seorang raja”, terang Raden Panji Abdul Hamid Mustari, sesepuh sekaligus pemerhati sejarah Bangkalan pada maduraindepth.com

Berpegang pada Prinsip Islam

Sultan Kadirun Bangkalan
Bangunan bergaya arsitektur Jawa di komplek Masjid Agung Bangkalan. Pasarean Sultan Raden Abdul Kadir ada di bagian dalam bangunan ini. (Foto: AH/MI)

Saat usianya menginjak 25 tahun (1803), dia dipersiapkan sebagai Raja Muda (Ratu Magang) dengan gelar Pangeran Adipati Cakraadiningrat II. Barulah 12 tahun kemudian (1815), sepeninggal sang ayah, Raden Maulana Abdul Kadir diangkat menjadi raja di Kraton Bangkalan. Gelar lain yang disandang adalah Pangeran Adipati Seco Adiningrat III. Prosesi penobatan bersamaan dengan penyerahan kembali kekuasaan Inggris kepada Belanda.

Dalam menjalankan roda pemerintahan, Sultan Raden Abdul Kadirun dikenal sebagai raja yang cakap ulung. Wilayah Bangkalan mengalami kemajuan, dimana rakyatnya hidup berdampingan dengan tentram. Sifat arif dan bijaksana yang melekat kian membuat rakyat menaruh hormat padanya. Seorang raja yang mencintai serta dicintai rakyatnya.

“Kedua sifat tersebut melekat berkat kedalaman ajaran agama Islam yang dianut. Beliau menjalankan roda pemerintahan dengan prinsip-prinsip Islam. Di masa pemerintahan beliau, Islam menjadi agama yang dominan di Bangkalan. Kiranya tak berlebihan jika beliau dikatakan juga sebagai penyebar agama Islam. Bukti nyata, makam beliau di komplek Masjid Agung Bangkalan tak pernah sepi dari peziarah” tegas pria 73 tahun yang biasa dipanggil Abah Hamid.

Sebagai seorang pemimpin yang mengendalikan roda pemerintahan bersifat kerajaan, Sultan Raden Abdul Kadir membekali diri dengan delapan sifat kepemimpinan dari sudut pandang budaya Jawa yang disebut Hastra Brata (yang tertulis dalam buku karya alm. Sumarsaid Murtono). Kedelapan sifat adalah Dermawan (Indra), Tegas (Yama), Ramah Tamah (Surya), Kasih Sayang (Candra), Teliti (Bayu), Pemberi Kegemberiaan (Kuwera), Cerdas (Baruna), Berani (Brahma).

Baca juga:  Kenali Budaya Madura, Pelajar di Sampang Kunjungi Rumah Pebabaran Trunojoyo

Di pasareannya terdapat lambang prasasti cakra bersudut delapan, yang menurut uraian (alm) R. Ario Saleh Saeryowinoto, manusia harus mempunyai delapan watak atau perilaku kebaikan yaitu: Perilaku Bumi (teduh dan melindungi yang tertindas), Perilaku Air (pendingin suasana), Perilaku Angin (sejuk atau menyejukkan), Perilaku Samudra (sabar dan mau menerima), Perilaku Candra atau Bulan (membuat orang lain tentram), Perilaku Matahari (memberi warna kehidupan), Perilaku Api (tegas menentukan yang benar dan salah), dan Perilaku Gunung (wibawa karena disegani, bukan ditakuti)

Talam Emas dan Keris Bertabur Intan

Sultan Abdul Kadir Bangkalan
Tampilan bagian dalam Masjid Agung Bangkalan yang kini terlihat indah dengan 16 tiang penyangga. (Foto: AH/MI)

Sebelum dipersiapkan menjadi Raja Muda, dalam dirinya telah tumbuh sifat pemberani, rela berkorban, tanggung jawab, serta patuh pada perintah. Dia juga dikenal lelaki yang cakap, cerdas, memiliki kebugaran fisik prima, serta lihai menyusun taktik dan strategi perang.

“Sejatinya beliau menentang keras adanya penjajahan. Namun dengan amat terpaksa harus memenuhi setiap permintaan Belanda, oleh karena di era pemerintahan beliau Kesultanan Bangkalan berada di bawah kendali Belanda”, ungkap Abah Hamid.

Sang ayah yang masih bertahta saat itu tak ragu mempercayakan tugas kepadanya, walau berat dan taruhannya nyawa sekalipun. Raden Maulana Abdul Kadir dengan ikhlas menerima serta menjalankannya. Dia kerapkali memimpin pasukan Bangkalan di medan tempur, baik melawan tentara Inggris maupun pasukan dari kerajaan di Jawa, Sulawesi, serta daerah lainnya yang dianggap memberontak oleh Belanda.

Tahun 1800, saat usianya menginjak 22 tahun, dia diutus sang ayah untuk memimpin pasukan Bangkalan (bergabung dengan pasukan Belanda) yang berkekuatan 500 orang berperang melawan pasukan Inggris di Cilincing, Batavia (kini Jakarta). Atas keberhasilan melumpuhkan pasukan Inggris, dia mendapat hadiah berupa talam emas dari Belanda.

Saat baru menjabat Raja Muda, dia kembali dipercaya memimpin pasukan Bangkalan sebanyak 1000 orang untuk menumpas perlawanan Raden Bagus Idum yang ditakuti Belanda di Cirebon. Tugas berhasil dilaksanakan, dan Belanda menghadiahi sebuah keris indah bertabur intan pada bagian gagangnya. Keris tersebut kini tersimpan di Museum Nasional di Jakarta.

Kecakapannya menyusun taktik dan strategi perang kembali diuji. Tahun 1824 Gubernur Jenderal Belanda, Baron van der Capellen meminta bantuannya untuk mengirim pasukan Bangkalan dalam Perang Bone (Sulawesi Selatan). Namun dalam misi kali ini Sultan Raden Abdul Kadirun tidak ikut serta, melainkan sebagai juru taktik di belakang layar.

Keberangkatan pasukan Bangkalan dipimpin oleh anaknya yang kedelapan, Pangeran Suryo Adiningrat (Pangeran Sorjeh), dibantu calon putra mahkota Pangeran Adipati Seco Adiningrat IV (Raden Moh. Yusuf), serta salah seorang menantunya Pangeran Atmojo Adiningrat. Kekuatan yang dibawa meliputi 900 prajurit bedil, 600 prajurit tombak, 80 prajurit berkuda, serta dua buah meriam.

Setelah tujuh bulan berjibaku dalam Perang Bone, pasukan Bangkalan akhirnya ditarik pulang. Selang dua tahun kemudian kembali dikirim ke Yogyakarta untuk ikut meredam perlawanan Pangeran Diponogero. Pertempuran yang berlangsung sengit tersebut berlangsung selama enam bulan. Kecakapan tempur pasukan Bangkalan juga diperbantukan dalam perang di Jambi dan Bali.

Baca juga:  Banyak Situs Sejarah di Sampang Berubah, MTD Berencana Datangkan Pakar Sejarah

Dari Masjid Kraton Menjadi Masjid Umum

Masjid Agung Bangkalan
Masjid Agung Bangkalan yang awalnya menjadi masjid kraton. Barulah di era pemerintahan Sultan Raden Abdul Kadir difungsikan sebagai masjid umum. (Foto: AH/MI)

Era pemerintahan Sultan Raden Abdul Kadir (Sultan Cakraadiningrat II) selama 32 tahun (1815-1847) tak bisa dipisahkan dari keberadaan Masjid Agung Bangkalan. Dia terbilang berani mendobrak tradisi kraton yang telah bertahan lebih dari setengah abad.

Sejatinya Masjid Agung Bangkalan dibangun pada era kepemimpinan Panembahan Sedomukti atau Panembahan Cakraadiningrat V. Dua tahun awal bertahta, lokasi kraton masih berada di Sembilangan (Kraton Sembilangan). Oleh karena kraton banyak mengalami kerusakan, maka dipilihlah Bangkalan (kota) sebagai lokasi kraton baru.

Pembangunan pusat pemerintahan baru diawali tiga bangunan utama: Kraton di sebelah timur, Paseban di tengah, serta Masjid di sebelah barat. Paseban adalah sebuah balai yang digunakan untuk menghadap raja (balai penghadapan). Antara Kraton dan Masjid dihubungkan oleh jalan lurus, yang ditengah-tengahnya terletak Paseban.

“Awalnya hanya keluarga kraton yang boleh menggunakan masjid sebagai tempat ibadah. Dan terhitung empat tahun Sultan Raden Abdul Kadir berkuasa, masjid tersebut beralih status menjadi masjid umum seiring renovasi pertama kalinya (sejak dibangun oleh Panembahan Sedomukti) yang mulai dilaksanakan pada hari Jum’at Kliwon tanggal 14 Jumadil Akhir 1234 H atau 10 April 1819 M”, ujar Abah Hamid.

Masjid diperluas dengan ukuran 30m x 30m. Empat tiang utama (soko guru) dipancangkan sesudah salat Jum’at hari itu juga. Ada kejadian unik saat pemancangan empat tiang utama versi cerita tutur yang berkembang di masyarakat Bangkalan.

Konon, Sultan Raden Abdul Kadir yang memerintahkan langsung mencari empat (4) batang kayu jati sebagai tiang utama yang besar dan tingginya sama. Setelah didapat, tiga batang berukuran sama (tinggi, besar, dan lurus), sedang satu batang lagi kurang tinggi dan kurang lurus. Sementara waktu untuk mencari lagi sudah tidak ada.

Dalam situasi serba panik dan bingung, muncullah seorang bernama Nalaguna, yang kemudian dikenal sebagai Empu Brajaguna. Dia bersedia mengupayakan agar kayu tersebut sama dengan tiga kayu lainnya. Caranya dimandikan, lalu dibungkus kain putih, kemudian diarak keliling kota seperti halnya pasangan pengantin. Setelah kain penutup dibuka, kayu tersebut terlihat sama tinggi dan lurus. Akhrinya pemancangan empat tiang utama berjalan sesuai waktu yang ditentukan.

Batu-batu untuk merenovasi masjid didatangkan dari Arosbaya. Bukan menggunakan alat transportasi, melainkan dengan cara sambung menyambung. Batu-batu tersebut berpindah dari tangan satu ke tangan lain sepanjang jarak puluhan kilometer (bahasa Maduranya lor-solor). Sedang untuk campuran perekat bangunan digunakan legen (bahasa Maduranya la’ang).

Sultan Raden Abdul Kadirun wafat pada Kamis Legi, 11 Shafar 1775 Tahun Jawa, atau 28 Januari 1847 M pada usia 69 tahun. Sebagai penghargaan atas jasanya memperluas masjid, jenazahnya kemudian dikebumikan di komplek Masjid Agung Bangkalan, yang kini bernama Masjid Agung Sultan Raden Abdul Kadirun Bangkalan. (AH/MH)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

banner auto