Rumah Atap Jerami Bhuju’ Nonok

Bhuju' Nonok
Rumah atap jerami Bhuju' Nonok tampak dari depan. (FOTO: Faisol for MI)
Oleh: Faisol Ramdhoni*

maduraindepth.com – Hari itu, Jumat Manis, tanggal 13 Juli 2021 jam menunjukkan pukul 14.00 WIB, saat kami bertiga menyusuri jalan kecil desa Kara Kecamatan Torjun. Suasana desa yang tenang nan damai cukup terasa. Membawa mata kami asyik memandangi tanaman cabe yang terhampar di kanan dan kiri jalan.

Hingga tanpa disadari, mobil pun berhenti di halaman salah satu warga. Setelah melewati tanjakan yang tingginya tak seberapa. Di samping kanan dari tempat kami memarkir mobil, tampak langgar kayu yang lumayan kokoh dengan halaman yang cukup luas.

Dari arah depan, lirih terdengar suara perempuan sedang mengaji. Rupanya suara itu berasal dari rumah beratap jerami yang berjarak sepuluh langkah kaki dari tempat kami berdiri. Rumah itu diapit oleh dua rumah warga yang bertembok dengan atap genteng. Sehingga nilai eksotiknya terlihat makin menonjol.

Sebab itulah, sejenak kami berhenti, menyulut rokok sambil mengamati rumah beratap jerami itu. Sepintas rumah itu berbentuk seperti rumah joglo adat jawa. Atapnya melonjong ke atas berbentuk piramida. Orang jawa menyebutnya sebagai tajuk yang seperti gunung.

Bagi orang jawa kuno percaya bahwa gunung merupakan simbol yang sakral. Baginya, gunung merupakan tempat tinggal bagi para dewa.

Bedanya, rumah dengan luas kira-kira 6 x 4 meter itu atap depannya sangat rendah. Jika diukur dari tempat kami berdiri sepertinya akan memaksa kami untuk menundukkan kepala ketika memasukinya.

Ternyata prediksi kami benar. Saat kami memasuki rumah itu, mau tidak mau kami harus menundukkan kepala agar tidak kebentur dengan kayu penyangga atap.

Baca juga:  Peluang Usaha Budidaya Porang, Cari Bibit di Sampang Madura

Sesampai kami di serambi, barulah bisa bersua dengan pemilik suara yang mengaji. Perempuan itu sudah nampak sangat lanjut usia. Bermukena duduk di bale bambu sambil memegang Al-Quran.

Nenek tua itu tak sendiri. Di sampingnya duduk juga seroang perempuan berusia belasan tahun. Mungkin putri atau cucunya, kami pun tak sempat bertanya. Sebagaimana kami juga lupa bertanya nama perempuan sepuh itu hingga pulang. Akibat larutnya perasaan kami dalam keharuan melihat mereka mengaji bercampur ketakjuban pada eksotika rumah.

Itulah pula yang menyebabkan kami setelah mengucapkan salam dan sempat mengenalkan diri sebentar langsung bertanya tentang asal usul rumah. Nenek tua itu menjelaskan bahwa rumah itu merupakan warisan keluarga. Rumah itu sudah ada sejak dari kakek buyutnya. Bahkan saat orang tuanya hidup, pernah bilang usia rumah itu sudah 300-an tahun.

Waw! Sungguh sangat tua. Rasa takjub dan penasaran mengaduk-aduk pikiran kami saat mendengarnya. Membuat mata kami jelalatan mengitari setiap kayu yang ada di rumah itu. Untuk bangunan dari kayu dengan seumuran itu, bisa dibilang rumah ini cukup kuat dan tak lapuk dimakan usia.

Sejurus kemudian, nenek itu mengajak kami untuk melihat bagian dalam. Di dalam, ruangannya lebih besar dan tidak ada sekat. Jadi secara ringkas bisa disimpulkan bahwa rumah itu hanya terdiri dari dua bagian yakni bagian serambi dan bagian dalam.

Baca juga:  Pameran Karya Seni Ala Komunitas Perupa Sampang

Di bagian dalam, di sisi kanan dan kiri hanya ada tempat tidur yang terbuat dari kayu berukir. Orang Madura menyebutnya dengan istilah ‘ranjang palek’.

Di atas ranjang palek sisi kanan di atasnya tergeletak peti besar terbuat dari kayu. Saat kami menanyakan isinya, mungkin si nenek tak mendengarnya sehingga tidak menjawab. Di bagian oloh (Red Indonesia: kepala) ranjang sisi kanan, ada meja yang di atasnya terlihat tumpukan kitab dan sebuah Al-Quran.

Persis di tengah bagian dalam, layaknya rumah joglo terdapat empat tiang yang menyangganya. Di mana dalam konsepsi rumah joglo, tiang-tiang itu disebut dengan soko guru. Bermakna empat penjuru mata angin sebagai sumber sebuah kekuatan.

Berdasarkan konsep spiritual ini, manusia yang berada di tengah potongan empat penjuru mata angin ini dipercaya memiliki kekuatan magis tingkat tinggi. Titik perpotongan ini disebut juga sebagai Pancer atau Manunggaling Kiblat Papat.

Setelah puas mengamati bagian dalam rumah, salah satu dari kami bertiga pun bertanya. “Nek, ngomong-ngomong dulu yang bangun dan memiliki rumah ini siapa? “

Nenek tua itu pun lantas menjawab, rumah ini merupakan peninggalan dari Bhuju’ (Buyut) Nonok. Nama itu hanya julukan sedangkan nama aslinya Kyai Sirojuddin. Dinamai Bhuju’ Nonok karena dulu ceritanya saat orang mau sowan ke beliau dari kejauhan mereka sudah ngonok.

Ngonok itu istilah Madura untuk menggambarkan cara berjalan dengan merendahkan badan sambil menundukkan kepala. Gampangannya begini, Ngonok itu seperti cara rakyat ketika mau menghadap raja di zaman kerajaan tempo dulu.

Baca juga:  Hobi Koleksi Benda Pusaka dan Barang Antik, Kolektor di Madura Alami Kejadian Mistis

Nenek tua itu kemudian memberikan informasi kepada kami bahwa makam Bhuju’ Nonok ada di belakang rumah itu. Bejarak 10 meter dan di dalam bangunan dekat Masjid.

Tanpa pikir panjang, kami pun segera berpamitan dan bergegas menuju makam Bhuju’ Nonok. Setelah itu kami pun memutuskan pulang ke rumah karena hari sudah semakin sore.

Selama perjalanan pulang, kami saling bertukar tanggapan terkait rumah itu. Sebab rumah itu spertinya luput dari perhatian pemerintah. Bahkan saat kami browsing internert belum ada tulisan yang bisa dijadikan referensi dan mengeksplore rumah itu. Padahal jika benar rumah itu berusia 300-an tahun maka sesungguhnya layak dijadikan aset sejarah dan kebudayaan bagi pemerintah kabupaten Sampang.

Memang butuh diuji secara historis dan arkeologis agar bisa diperanggungjawabkan secara ilmiah. Tapi setidaknya upaya-upaya penelusuran dan pengembangan yang dilakukan bisa diawali dengan publikasi meski masih bersifat legenda, mitos atau apa saja.

Sehingga tulisan ini hanya bersifat pemantik saja untuk lebih mendalami dan mengeksplore sosok Bhuju’ Nonok dan Rumah Jeraminya.

Soal kisah Bhuju’ Nonok, tunggu episode berikutnya. Sebab kata salah satu dari kami harus sowan ke kyai berinisial A yang dikenal masih memiliki garis keturunan dengan bujuk nonok dan bisa bercerita lebih lengkap. (*/MH)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

banner auto