Menyibak Keris Sumenep, Satu-satunya Empu Keris Perempuan

Empu Keris Sumenep
Empu Ika Arista, pengrajin keris di Sumenep, Madura. (Foto: MR/MI)

maduraindepth.com – Kota Keris. Itulah julukan Kabupaten Sumenep, Madura, Jawa Timur. Kabupaten paling timur Pulau Madura ini tak diragukan lagi dengan sentra kerisnya.

Jika berkunjung ke kota ini, mampirlah ke Desa Aeng Tong-tong, Kecamatan Saronggi. Jika sudah tiba di desa ini, jangan kaget apabila mendengar bunyi ketukan besi yang sangat keras. Layaknya bunyi letupan genderang, sepintas mengganggu telinga kita.

Namun bunyi ini bukanlah bunyi bising biasa. Melainkan saat sudah sampai di kampung Keris, maka akan melihat setiap rumah adalah pengrajin keris. Suara bising besi memang sering menggema di setiap sudut rumah warga.

Tak ayal, jika Desa Aeng Tong-tong menjadi sentra atau pusat pengrajin keris. Desa yang kurang lebih memiliki 1.400 warga ini hampir separuhnya menjadi empu keris atau pandai besi.

Dulu, sejarah mencatat, sejak Sumenep masih berupa dinasti kerajaan, Desa Aeng Tong-tong memang sudah dijuluki para empunya keris. Para empu ini tidak hanya dari kalangan tua, pemuda pun ikut andil di dalamnya.

Bahkan, petinggi desa seperti Kepala Desa (Kades) beserta perangkatnya, mayoritas juga pengrajin keris. Kegigihan dan konsistensi para empu keris inilah yang menjadikan Sumenep sebagai gudang para pandai besi di Jawa Timur. Bahkan di Indonesia, sampai luar Negeri.

Umumnya, para empu di Desa Aeng Tong-tong sebagian besar adalah laki-laki. Namun, diantara empu laki-laki ini, ada satu empu perempuan yang disebut-sebut sebagai satu-satunya empu perempuan di Indonesia.

Satu-satunya Empu Keris Perempuan

Dia adalah Ika Arista (29). Empu Ika, belajar membuat keris sejak masih duduk di bangku Sekolah Dasar (SD). Menjadi pengrajin keris, sudah dilakoninya sejak dulu. Dari mulai membuat sarung keris sampai fasih membuat keris, sebelum menggunakan alat mesin gerenda seperti sekarang ini.

“Seingat saya, kalau tahunnya lupa, kapan awal mula membuat keris. Tapi seingat saya masih duduk di bangku SD. Proses pembuatan keris dulu masih menggunakan kulit kijang, dipelintir lalu dibor dan belum ada gerenda, semuanya serba natural,” kata empu Ika Arista, pada maduraindepth.com, saat ditemui di kediamannya, Dusun Duko, Desa Aeng Tongtong, Ahad (16/2/2020).

Baca juga:  Safari Budaya Keris Ala Paguyuban Jala Sottra Sumenep

Sementara dalam proses membuat keris, empu Ika, mulai belajar dan mengembangkan sejak kuliah. Padahal, sebelumnya dia kurang begitu disarankan orang tuanya untuk jadi pengrajin keris.

“Mungkin karena kematangan umur, Bapak memperbolehkan saya untuk belajar membuat keris, sebelumnya tidak mengizinkan,” kata dia.

Hasil karya mpu Ika, kemudian dijual ke orang lain yang masih berhubungan keluarga. Nilai harganya pun kisaran Rp 5 ribu. Dengan harga Rp 5 ribu saja, dia tak mempersoalkan.

Sebab, kata dia, nilai sebagai pengrajin keris memang ada pada bakat khas keunikan yang hanya bisa dimiliki orang tertentu. Dari itu, Ika akhirnya terus mendalami dengan mengembangkan membuat keris. Selain melihat latar belakang keluarganya sebagai perajin keris, Ika punya impian untuk merawat dan menjaga tradisi leluhurnya sebagai sesuatu yang memang perlu dilestarikan.

Perempuan kelahiran Sumenep 11 Mei 1990 ini, menjadi sosok empu paling menonjol di kampungnya. Terutama saat menerima tamu dari luar. Empu Ika, terbuka kepada siapa pun jika ditanya tentang seputar keris.

Seni dalam keris, sambung perempuan tiga saudara itu, terdapat yang namanya pamor. Pamor adalah sebuah gambaran ilustrasi atau gambar abstrak yang muncul di permukaan bilah keris. Nama-nama pamor sendiri sangat banyak dan beragam.

Proses pembuatan keris dimulai dari penempaan besi menjadi sebuah bahan dasar keris, lalu dimasukkan pamor keris. Proses yang disebut tempa lipat itu, menggabungkan plat-plat baja menjadi sebuah keris dengan proses pemanasan.

Dari proses itulah, keris Sumenep diketahui sudah ada yang sudah sampai ke beberapa negara. Diantaranya Singapura, Thailand, Malaysia, dan Brunei Darussalam.

Berbicara jenis keris, ucap Ika, jumlahnya banyak, bahkan tembus ratusan. Setiap jenis keris ada banyak pamor. Pamor tersebut menyesuaikan dengan empu leluhur pendahulu.

Sedangkan untuk keris buatannya itu, Ika mengatakan, memang dapat dipesan sesuai permintaan pelanggan, namun pakem keris penting diperhatikan. Sehingga, intensitas yang ada dalam keris, khas dan cirinya tetap melekat.

Baca juga:  Lestarikan Budaya Madura, Kerapan Sapi KASAD Cup di Bangkalan Diikuti Peserta se Jawa Timur

Meski demikian, Ika mencatat karya perajin keris di kampungnya didominasi tiga jenis keris. Diantaranya yang lazim, keris berjenis Tresna Ghate, Judha Ghani, dan Tamba Agung.

Yang patut diacungi jempol, keris buatan empu Ika pernah dihadiahkan kepada Presiden Jokowi saat menghadiri Festival Keraton dan Masyarakat Adat ASEAN yang diadakan pada 27-31 Oktober 2018 lalu di Sumenep.

Diakui atau tidak, pusaka keris cukup dikenal di kalangan masyarakat. Bahkan sudah digunakan sejak zaman kerajaan nusantara. Tidak hanya itu, keris juga menandakan kedudukan seorang bangsawan.

Seorang patih misalnya, memiliki sebuah keris yang berbeda dengan pangeran. Apalagi seorang Raja, sudah tentu keris yang dimilikinya semakin luar biasa.

Keris Tidak Ada Kaitannya dengan Hal Mistis

Banyak masyarakat awam yang menganggap, keris memiliki kekuatan supranatural yang cenderung pada unsur klenik dan mistis. Ternyata anggapan tersebut keliru.

Beberapa pengrajin keris di Sumenep berusaha meluruskan kekeliuran yang sudah terlanjur berliuk itu. Salah satunya dengan adanya empu Ika, dia mencoba mengubah cara pandang mistik keris di kalangan masyarakat awam.

Empu Ika mempersilahkan masyarakat agar bisa langsung mendapat edukasi mengenai proses pembuatan keris. Bahkan, dapat disaksikan para empu di kampungnya menempa besi menjadi sebilah keris yang memiliki nilai seni.

Menurutnya, keris ketika dihadapkan dengan stigma yang berunsur klenik atau mistis, pemahaman itu dinilai kurang tepat. Garis besarnya pusaka keris, dapat diartikan sebagai sarana simbol warisan leluhur. Artinya benda bersejarah ini dapat dijadikan ikon budaya dan adat masyarakat.

Simbol di keris, lanjut empu Ika, ada beberapa motif dasar keris. Yakni tangguh, pamor atau hiasan pada batang keris dan dapur atau tempat pembuatan keris.

Di sisi lain, nilai keris sulit dinilaikan. Pusaka keris yang dibuat para empu keris di Desa Aeng Tong-tong banyak diminati masyarakat, terutama masyarakat luar. Bahkan pemasarannya sampai ke luar daerah, seperti Lombok, Sumatera dan Kalimantan.

Kades Aeng Tonggong Hadi Sudirfan, menjelaskan, pemasaran keris hingga ke luar daerah, dibantu masyarakat yang tengah merantau ke luar daerah dan ke luar negeri. “Ada yang sampai ke Singapura, Thailand, Malaysia dan Brunei Darussalam,” terangnya.

Baca juga:  Nenek Pejalan Kaki Ditabrak Mobil Hingga Meninggal Dunia

Dia mengatakan, keris karya perajin di desanya, tidak memiliki patokan harga yang pasti. Sebab keris bagian dari karya seni. Karena seni, nilai keris tidak dapat diangkakan secara nominal. Namun rata-rata bisa tembus mulai dari ratusan ribu hingga jutaan ribu rupiah.

Tradisi pembuatan keris, ujar Sudirman, belum diketahui latar belakangnya. Akan tetapi, dia memastikan bahwa tradisi ini sudah ada sejak dari nenek moyangnya.

“Sudah ada sejak dulu. Saya sendiri dan keluarga juga sebagai perajin keris,” paparnya.

Penduduk warga Aeng Tongtong mayoritas sebagai perajin keris. Sisanya berprofesi sebagai petani dan pedagang. Dari ratusan empu di Desa ini, mereka tergabung dalam tiga organisasi peguyuban, yakni Pelar Agung, Potre Koneng dan Arya Wiraraja.

Sumenep Sebagai Kota Keris

Kabupaten Sumenep sendiri telah menyandang Kota Keris. Sumenep mendeklarasikan diri sebagai Kota Keris berkat semangat para empu keris di Desa Aeng Tong-tong. Kini desa tersebut dinobatkan sebagai Desa Wisata Keris oleh Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Sumenep, sejak bulan Maret 2018 lalu.

Pendeklarisian tersebut didasari beberapa hal. Diantaranya terdapat 470 empu keris di Sumenep yang jumlahnya mengalahkan Yogyakarta yang masih 15 empu. Kemudian pusaka nusantara yang dihasilkan ini diakui United Nation Education, Scientific and Cultural Organization (UNESCO).

Awalnya, pada tahun 2005 lalu, UNESCO mengakui keris karya empu Sumenep sebagai warisan budaya nusantara. Berselang tujuh tahun berikutnya, yakni pada tahun 2012, UNESCO kembali mengakui Sumenep, dengan penobatan sebagai jumlah empu alias pembuat keris terbanyak di Asia Tenggara.

Setiap tahun, pusaka keris dijamas oleh para empu yang disaksikan pejabat daerah, seperti Bupati dan Wakil Bupati Sumenep. Acara penjamasan ini dilakukan sebagai wujud syukur masyarakat Desa Aeng Tong-tong terhadap leluhur yang telah mewariskan keahliannya dalam membuat keris. (MR/MH)

Respon (1)

  1. coba sekali kali mampir ke dusun jambu monyet 1 lenteng barat, juga ada industri keris yang memang banyak diminati.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

banner auto