Mengenal Raja-Raja yang Dimakamkan di Asta Tinggi Sumenep, Ada Sosok Penakluk Dua Kadipaten – Bagian 2

Komplek pemakaman raja-raja asta tinggi sumenep
Komplek pemakaman raja-raja di Asta Tinggi, Sumenep. (Foto: IST)

maduraindepth.com – Komplek pemakaman Asta Tinggi Sumenep terbagi menjadi dua bagian. Pertama, kompleks pemakan sisi sebelah barat. Terdapat tiga raja yang dimakamkan di kompleks tersebut. Meliputi Raden Panji Pulangjiwo, Pangeran Jimat dan Bindara Saod. Sedangkan di kompleks pemakaman sisi bagian timur, yaitu makam Panembahan Notokusumo I alias Pangeran Asiruddin.

1. Raden Panji Pulangjiwo

Raden Panji Pulangjiwo alias Raden Tumenggung Pulang Jiwa, memimpin Kerajaan Sumenep pada tahun 1684 – 1702. Pada masa kecilnya, dia lebih dikenal dengan nama Raden Kaskiyan. Dia adalah putra dari Pangeran Karangantang, Sampang. Sedangkan, dalam silsilah Keraton Sumenep, Pangeran Karangantang dikenal dengan sebutan Pangeran Ragintang alias Syeh Rabet.

Silsilah di atasnya, nasab Syeh Rabet bersambung kepada Pangeran Gebak atau Pangeran Kebak. Dia adalah cucu Sunan Giri dari garis keturunan anaknya, Sunan Kulon. Terlepas dari itu, Pangeran Panji Pulangjiwo merupakan menantu Tumenggung Yudonegoro alias Raden Bugan atau Pangeran Macan Woeloeng, Raja Sumenep yang berkuasa pada tahun 1671 – 1684.

2. Pangeran Jimat

Pangeran Jimat menyandang gelar Kanjeng Tumenggung Ario Cokronegoro III. Dia menjabat sebagai Raja di Keraton Sumenep pada tahun 1737 – 1750. Pangeran Jimat, merupakan putra dari Pangeran Ario Cokronegoro II alias Pangeran Rama.

Konon, pada masa kepemimpinan Pangeran Jimat alias Ario Cokronegoro III, sempat terjadi perang saudara dengan Raden Asral alias Pangeran Ario Adikara II. Diketahui, Pangeran Ario Adikara II merupakan paman Pangeran Jimat alias saudara Pangeran Rama.

Baca juga:  Tradisi Jumat Terakhir Jelang Ramadhan, Ratusan Warga Sumenep Ziarah ke Asta Tinggi dan Makam Leluhur

Pangeran Jimat dan Pangeran Ario Adikara II berseteru memperebutkan keris pusaka peninggalan Adikara I, Adipati Pamekasan. Berdasar keyakinan yang dipegang teguh oleh Pangeran Jimat, keris pusaka tersebut seharusnya diwariskan kepada ayahnya, Pangeran Rama.

Sebab, Pangeran Rama merupakan putra tertua Adikara I. Sedangkan, Ario Adikara II, adalah putra ketiga alias paling muda di antara tiga bersaudara. Yaitu Pangeran Rama, Raden Sasena dan terakhir Raden Asral alias Ario Adikara II.

Berbekal ketangkasan dan kepiawaiannya dalam strategi perang, Pangeran Jimat bersama pasukan Keraton Sumenep berhasil mengalahkan Ario Adikara II. Dari hal tersebut, maka wilayah kekuasaan Keraton Sumenep sempat melebar ke wilayah Pamekasan.

3. Temenggung Tirtonegoro (Bindara Saod)

Bindara Saod alias Raden Temenggung Tirtonegoro merupakan Raja Keraton Sumenep yang berkuasa pada tahun 1750 – 1762. Dia adalah putra Kiai Abdullah Batu Ampar Timur alias Pengeran Cokronegoro I, Raja Keraton Sumenep pada tahun 1702 – 1705.

Pangeran Cokronegoro I, adalah putra dari Kiai Abdul Qidam alias Pangeran Pandian. Sedangkan ibu Bindara Saod, adalah Nyai Nurima. Dia merupakan keturunan Pangeran Bukabu atau Raden Notoprojo, Raja ke-7 di Keraton Sumenep.

Diceritakan, suatu malam Nyai Nurima sedang melaksanakan salat tahajud. Bersamaan dengan itu, Pangeran Cokronegoro I baru saja tiba di rumah. Kemudian, Pangeran Cokronegoro I mengetuk pintu sembari mengucapkan salam kepada istrinya, Nyai Nurima.

Baca juga:  3 Destinasi Wisata Religi yang Direkomendasikan Bupati Sumenep untuk Dikunjungi saat Libur Lebaran

Namun, karena Nyai Nurima sedang salat tahajud, maka salam tersebut tidak dijawab. Tiba-tiba, terdengar suara anak laki-laki kecil yang menjawab salam dari Pangeran Cokronegoro I.

Setelah selesai salat, Nyai Nurima membukakan pintu untuk suaminya. Seketika itu, Pangeran Cokronegoro I alias Kiai Abdullah bertanya tentang suara anak laki-laki kecil yang menjawab salam darinya.

Nyai Nurima menjelaskan, bahwa sebenarnya yang menjawab salam tadi adalah bayi yang masih berada di dalam kandungannya. Selang beberapa bulan kemudian, ternyata bayi yang lahir dari rahim Nyai Nurima berjenis kelamin laki-laki.

Maka dari itu, bayi tampan tersebut diberi nama Muhammad Saud. Kata “Saud” dalam nama itu, diserap dari bahasa Madura “Saot” atau “Nyaot” yang artinya menjawab. Hingga usia dewasa, sosok laki-laki tersebut akrab disapa Bindara Saud atau Bindara Saod.

4. Panembahan Notokusumo

Raja Keraton Sumenep yang juga dimakamkan di Asta Tinggi adalah Panembahan Notokusumo I alias Pangeran Siruddin. Masa kejayaannya, berlangsung dari tahun 1762 – 1811.

Pangeran Asiruddin, merupakan putra dari Raden Tumenggung Tirtanegara alias Bindara Saod dengan Nyai Izzah. Saat baru menjabar sebagai Adipati Sumenep, Pangeran Asiruddin diberi gelar Pangeran Natakusuma I oleh Gubernur Jenderal Petrus Albbertus Vander Parra di Semarang.

Setelah beberapa tahun kemudian, gelar tersebut berganti menjadi Panembahan Somala. Bahkan, bersumber dari sebagian literatur yang lain, Pangeran Asiruddin juga mendapatkan gelar Sultan Sumenep. (bus)

Baca juga:  Hasil Uji Coba Kontra Mitra FC Sumenep, Perssu Madura City Menang Telak

Sumber : id.wikipedia.org; jatim.nu.or.id; sumenepkab.go.id; duniasantri.co; dan matamaduranews.com.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *