Opini  

Mahbub Djunaidi dan Khittah 1926 NU

Oleh: M. Iwan Satriawan

M Iwan Satriawan
M Iwan Satriawan. (IST)

maduraindepth.com – Tidak banyak yang dapat penulis kemukakakn terhadap sosok yang satu ini. Hal ini disebabkan jarak yang terlalu jauh antara penulis dengan objek tulisan. Sehingga data-data yang didapat penulis tentang objek tulisan banyak didapatkan dari buku-buku tentang PMII yang banyak menuliskan tentang sepak terjang sosok Mahbub Djunaidi, tulisan gus dur yang terangkum dalam buku Islam Kosmopolitan, kumpulan tulisan Mahbub Djunaidi dalam buku kolom demi kolom dan lebih  khusus lagi data-data NU terkait dengan perumusan khittah NU 1926 yang sangat fenomenal tersebut.

Mengapa khittah 1926 penulis sebut sebagai sangat fenomenal? Karena perjalanan panjang menuju khittah tersebut yang sangat penuh perdebatan antara kelompok NU politik dan politik NU. Meskipun wacana kembali ke khittah sebenarnya telah dimulai sejak tahun 1970 ketika orde baru mulai mencengkeram peta perpolitikan tanah air salah satunya melalui UU No.3 Tahun 1973 dengan memunculkan fusi partai politik.

Akibat dari diberlalukannya fusi partai politik ini, maka NU yang semula merupakan partai politik tersendiri harus bergabung masuk ke PPP bersama partai-partai lain berbasis Islam seperti Perti, Persis dan PSII. Sedangkan partai-partai yang berbasis nasionalis seperti PNI,IPKI, Partai Kristen Indonesia dan Partai Katolik bergabung ke PDI.

Dampak pemberlakukan fusi partai politik terhadap NU sangat besar sekali, dimana ketua tanfidizyah atau pelaksana atau ketua umum PPP tidak dipegang oleh pengurus NU melainkan oleh Mohammad Syafa’at Mintaredja yang kemudian diteruskan oleh H.J Naro atau John Naro dari Parmusi. Sedangkan orang-orang NU atau kyai-kyai NU ditempatkan di dewan syuro atau penasihat saja. Dan puncaknya pada penyusunan caleg DPR RI untuk pemilu 1982 yang banyak menempatkan kader-kader NU sebagai nomor sepatu bukan nomor jadi sehingga semakin menguatkan pentingya NU kembali ke khittah 1926 sebagai gerakan jamiyah diniyah ijtima’iyah yang salah satu perumus dari kembali ke khittah tersebut adalah sahabat Mahbub Djunaidi sebagai salah satu anggota tim 7 yang ditugaskan untuk merumuskan pemulihan khittah NU. Adapun tim 7 selain Mahbub Djunaidi ada nama Gus Dur, M.Zamroni, Sa’id Budairi, Fahmi D. Saifudin, Daniel Tanjung dan Ahmad Bagdja. Yang hingga saat ini hasil khittah 1926 masih tetap menyisahkan lobang menganga di kanan kiri jalannya yang harus ditutup atau diperbaiki oleh generasi NU abad 21.

Baca juga:  Saatnya Kyai Kembali ke Khittah

Aktivis dan Kolumnis

Dahulu aktivis-aktivis di hampir seluruh dunia khususnya di Indonesia itu juga kolumnis. Tidak kurang Bung Karno yang banyak menulis juga di media  yang salah satu dikenal dari tulisan Bung Karno adalah ketika beliau banyak mengkritik umat Islam dengan tulisannya “Islam Sontoloyo” dan dimuat di majalah Pandji Islam dan sempat menimbulkan perdebatan diantara umat Islam tentang kadar keIslaman Bung Karno atau sosok Tan Malaka melalui tulisan-tulisannya Madilog, Aksi Massa dan lain sebagainya atau Hatta  yang pemikirannya tentang koperasi menjadi inspirasi model sosial ekonomi bangsa Indonesia.

Dari tulisan-tulisan merekalah generasi muda mengenal Bung Karno, Bung Hatta, Tan Malaka, M.Natsir. Karena aktivis jaman dulu tidak hanya mengandalkan pintar berpidato atau orasi an sich, namun juga dapat menuangkan ide-idenya dalam sebuah buku atau opini yang dimuat dalam media massa sebagaimana sosok Mahbub Djunaidi yang hingga saat ini tetap dikenal selain sebagai kolumnis di beberapa media massa, aktivis karena merupakan ketua umum pertama PB PMII juga menjadi salah satu perumus khittah NU yang mengembalikan jalur NU dari politik tingkat rendah menuju ke politik tingkat tinggi ala NU.

Maka belajar dari sosok Mahbub Djuanidi bahwa menjadi aktivis itu tidak hanya rutin datang ke acara rapat-rapat, pandai berdebat dan membuat acara seminar. Namun lebih dari itu adalah bagiamana dapat menuangkan ide atau gagasan-gagasannya dalam sebuah karya tulis. Aktivis tidak hanya bermodal mulut manis melakukan retorika atau rayuan kepada masyarakat agar mau mengikuti jalan pemikirannya, namun aktivis juga harus mencerdaskan kehidupan rakyat melalui tulisan-tulisan yang bernas, orisinal atau genuine. Dan ini tidak mudah dilaksanakan jika aktivis tersebut kurang baca.

Baca juga:  Pendar Tuhan dalam Sukma Petani Madura

Mulai dari Soekarno, Hatta, Syahrir, Tan Malaka hingga Mahbub Djunaidi adalah aktivis-aktivis yang gila baca. Masuk keluar perpustakaan, toko buku dan mengoleksi buku bacaan dalam perpustakaan pribadi merupakan pemandangan umum aktivis jaman old. Tidak hanya sekedar tampang yang urakan, rambut gondrong dan jarang mandi dengan sebatang rokok terselip di bibir seperti Che Guevara namun aktivis-aktivis jaman old adalah aktivis-aktivis dengan gaya yang rapi, pandai menyampaikan aspirasi tanpa takut di bui. (*)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

banner auto