maduraindepth.com – Mbah Omna (75) tampak tengah membolak-balikan jagung di atas panggangan arang yang menyala, sembari mengayunkan kipas dari mambu. Sore itu, (28/10) dia sedang menyiapkan jualan yang berada di tepi Jalan P. Trunojoyo, Patemon, Kabupaten Pamekasan, Jawa Timur.
Di umurnya yang sudah tua renta ini, Mbah Omna tidak bisa menikmati usia senjanya seperti orang pada umumnya. Setiap sore, dengan langkah terhuyung-huyung Mbah Omna harus menjinjing karung berisikan 20-25 buah jagung dari jarak tempuh sekitar 200 meter dari rumahnya. Dia mengaku, profesi sebagai penjual jagung sudah dilakoni selama lebih dari 30 tahun.
Mulanya, dia berjualan bersama sang suami, Siddik. Waktu itu, dia mengaku tidak harus bekerja terlalu keras untuk menyambung hidup. Namun setelah suaminya meninggal 20 tahun lalu, dia harus membanting tulang untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.
“Saya sudah hidup serba kesulitan dari dulu, nak. Apalagi setelah bapaknya (suami) meninggal,” ceritanya pada wartawan maduraindepth.com ditemui di lapaknya, Rabu (28/10).
Beban hidup semakin dirasakan saat pandemi dan musim penghujan. Pasalnya, jagung yang dia jual setiap sore hingga larut malam hanya menghasilkan uang berkisar Rp 20 – 25 ribu. Dia menjual jagung seharga Rp 3 ribu per buah.
“Kalau rame mendapatkan uang 25ribu, kalau lagi hujan gak laku. Seperti kemarin tidak ada yang laku,” tuturnya dengan suara parau khas orang tua.
“Sekrang katanya korona sepi pembeli, tapi saya memaksa berjualan,” keluhnya.
Dia juga menceritakan bahwa dirinya memiliki empat anak. Saat ini mereka tinggal di luar pulau Madura. “Saya tinggal sendirian di rumah. Anak saya tinggal di Jawa berkeluarga, punya anak dua dan juga berjualan jagung,” ungkapnya.
Tidak jarang Mbah Omna memberikan banyak bonus jagung kepada pembeli. Meskipun terkadang pembeli menolaknya, Mbah Omna bersikukuh untuk mensedekahkannya. (RUK/MH)