banner 728x90
Opini  

Rokok Tingwe di Serambi Ampel

Seorang musafir sedang melinting rokok di serambi Masjid Ampel. (Foto: Faisol for MID)
banner 728x90
Oleh: Faisol Ramdhoni*

madurandepth.com – Malam itu, langit Ampel seperti menaburkan hujan zikir yang tidak turun dalam bentuk air, tapi dalam bentuk tenang dan damai yang menyusup lewat pori-pori kesadaran. Aku bersandar di pilar tua di serambi luar sebelah selatan Masjid Sunan Ampel, menyendiri bersama tempe goreng dan sepotong doa dalam hati.

Angin berembus pelan, membawa aroma dupa dari kompleks makam para wali, bercampur dengan semerbak minyak wangi para peziarah, dan bau gorengan dari pedagang kaki lima yang lewat membawa harapan.

banner 728x90

Lalu datanglah dia.

Seorang lelaki muda, entah siapa namanya, entah dari mana awal mulanya. Ia datang tak seperti tamu, dan aku menyambutnya tak seperti tuan rumah. Ia duduk pelan, menyodorkan plastik flip tebal berisi tembakau, cengkih, dan korek gas.

“Rokok, Mas,” ucapnya, singkat dan ringan, seperti seseorang yang menawarkan secuil dunia kepada orang yang sedang kehilangan arah.

“Nggih. Terima kasih,” jawabku, mencoba menyesap keramahan yang tulus itu tanpa banyak kata. Kukunyah sisa tempe goreng yang masih hangat.

“Tempe goreng, Mas,” tawarku kembali. “Nggih. Bentar. Mau buat rokok dulu,” ujarnya sambil tersenyum, lalu mulai dengan ritualnya.

Bukan sekadar melinting tembakau. Tapi menyusun kepingan-kepingan dunia yang tercecer dalam sehelai kertas tipis.

Ia mengambil sejumput tembakau hitam kecoklatan, taburi cengkih di atasnya, lalu menggulungnya perlahan. Penuh khidmat. Penuh kehati-hatian. Seolah-olah rokok itu bukan untuk dihisap, tapi untuk dimaknai.

“Kata orang Jawa, ini Tingwe, Mas. Ngelinting dewe. Nggak semua harus beli dari pabrik besar,” katanya lirih.

Dan aku, entah kenapa, merasa kata-katanya mengandung pelajaran yang jauh lebih dalam dari yang tampak di permukaan.

Rokok. Selembar kertas. Sejumput tembakau. Segenggam cengkih. Tapi di tangan lelaki muda itu, semua menjadi simbol. Menjadi narasi kecil tentang kemerdekaan, tentang harga diri, tentang sikap yang tak tunduk pada dominasi kapital.

Ia melinting dengan hening yang penuh makna. Dan aku melihatnya seperti seorang sufi sedang membalik tasbih dalam gelap malam. Dunia di sekitarnya ramai [mobil-mobil datang silih berganti, peziarah memadati gang-gang Ampel, anak-anak kecil menangis, pedagang berseru-seru] namun ia tetap tenggelam dalam dunia kecil yang ia bangun sendiri: dunia tembakau dan kesunyian.

“Kamu dari Madura, ya, Mas?” tanyanya, tiba-tiba.

Aku tersentak. Dari mana ia tahu? Belum sempat kujawab, ia meneruskan dengan lirih, namun tegas.

“Aku dari Pandeglang. Santri Abuya Uci, cucu Abuya Dimyathi. Lima tahun sudah aku musafir, Mas. Atas dawuh guru. Ziarah ke makam para kekasih Allah. Satu tahun di Madura. Dari Sumenep sampai Bangkalan. Sekarang, sudah sebulan di sini. Di Ampel. Berkhidmat. Riyadhoh. Menyambung silsilah jiwa.”

Aku diam, di hadapanku kini bukan hanya lelaki muda dengan plastik flip, tapi lautan hikmah yang menyamar dalam bentuk manusia.

“Mas,” lanjutnya, “Sudah sejak kemarin aku ingin ngobrol soal rokok. Bukan sekadar lintingan, tapi sejarah dan perlawanan di dalamnya.”

Aku makin terdiam, seperti baru saja diberi tamparan lembut oleh angin malam. “Di Madura, rokok ilegal menjamur, ya?” tanyanya pelan, seolah bukan bertanya, tapi mengundangku merenung.

Aku mengangguk perlahan. Mencoba mencari kata yang tepat, tapi tak keluar apa-apa selain satu gumaman lirih, “Iya…”.

Ia menatap langit, sejenak diam, sebelum berkata. “Itu bukan sekadar pelanggaran hukum, Mas. Itu suara luka sejarah. Itu jeritan yang tak sempat jadi berita. Para petani tembakau kita [selama bertahun-tahun] dipaksa bertani, tapi tidak diberi kuasa atas hasilnya. Mereka diperas oleh sistem. Harga ditekan, dipermainkan, keringat diremehkan. Mereka jadi penonton dalam panggung kapitalisme yang disulap menjadi hukum. Pemilik dasi menumpuk untung, sementara petani menggulung nestapa.”

Ia mendekat, nadanya rendah, tapi terasa seperti kilatan petir di dalam dada. “Tapi etika industri rokok kecil itu bangkit [meski dicap ilegal] para petani kembali punya nyawa. Mereka kembali bisa berdiri tegak di tanahnya sendiri. Bukan soal legal atau tidak, Mas. Tapi tentang siapa yang memanusiakan siapa. Para pelinting itu bukan kriminal. Mereka justru pahlawan yang melindungi petani dari kematian yang perlahan.”

Lalu ia menunduk, seakan sedang menakar sejarah dengan hati, dan berkata lirih.

“Bukankah dulu Pangeran Trunojoyo juga begitu? Dianggap pemberontak oleh Mataram karena melawan kekuasaan yang telah dibeli oleh Belanda. Padahal ia hanya ingin memuliakan rakyatnya. Maka siapa tahu, hari ini, para pelinting rokok kecil itu adalah Trunojoyo [dalam bentuk yang lain] mereka bukan ingin merusak hukum, tapi sedang menyelamatkan martabat.”

Baca juga:  Tokoh di Madura Sambut Baik Calon Kapolri Baru

Aku tercekat.

Semua kata-katanya seakan menggali kenangan lama: masa mahasiswa, ketika aku membedah teks Marxis dengan penuh gairah. Teori perlawanan kelas. Proletar melawan borjuis. Perebutan alat produksi. Tiba-tiba semuanya terasa nyata di hadapanku malam ini, bukan sebagai buku, tapi sebagai rokok lintingan dan hidup petani Madura.

“Marx bilang: sejarah umat manusia adalah sejarah perjuangan kelas. Tapi Islam sudah lebih dulu berdiri untuk kaum tertindas [Mustad’afin]. Nabi berdakwah untuk budak seperti Bilal, perempuan seperti Sumayyah, orang miskin seperti Yasir. Mereka bukan objek dakwah, mereka adalah pelaku sejarah.”

Kata-katanya seperti memahat cahaya dalam dinding hati yang selama ini mulai kusam.

“Bukankah itu perlawanan sejati, Mas? Bukan kekerasan. Tapi pengembalian martabat. Kalau petani tembakau kita bisa menjual hasil panen mereka tanpa diperbudak harga pasar dan perusahaan besar, bukankah itu kemenangan?”

Malam makin larut. Tapi cahaya dari kata-katanya belum padam. Aku menatap wajahnya. Tak ada sorban, tak ada gelar. Tapi di matanya aku lihat ketajaman yang lahir dari riyadhoh panjang.

Ia bicara tentang dunia, tapi nadanya seperti orang yang tak punya kepentingan pada dunia. Ia bicara tentang perlawanan, tapi dengan kedamaian seorang pejalan sunyi. Dan aku, yang sejak dua hari ini berziarah untuk khataman, merasa ziarahku benar-benar diijabah bukan saat kubaca ayat terakhir dari juz tiga puluh, tapi justru saat aku duduk di serambi masjid dan mendengarkan khutbah dari seorang musafir linting rokok.

Di sekeliling kami, Ampel terus bergemuruh oleh doa, transaksi, silaturahmi, jual beli, dan zikir yang tak pernah putus. Ekonomi kecil rakyat berputar perlahan [warung peci, toko kitab, penjual sajadah, sampai penjaja kantong kresek untuk sandal] semua hidup dari keberkahan seorang wali yang jasadnya telah lama terbaring, tapi jiwanya terus menyuburkan tanah.

Ia menatap langit, lalu menatapku, dan berkata dengan nada yang dalam.

“Mas tahu kenapa harus diceritakan di sini? Karena semuanya berawal dari Ampel.”

Ia melanjutkan, dengan wajah yang mulai serius.

“Bagi kami orang Jawa, konon tanaman tembakau diperoleh Ki Ageng Makukuhan dari Sunan Kudus. Saat itu, tembakau bukan hanya sekadar tanaman, tapi pengobatan. ‘Iki tambaku!’ begitu sabda Ki Makukuhan saat mengobati orang sakit dengan daun tembakau, dan seketika sembuh. Dari situlah istilah ‘mbako’ dikenal. Tembakau itu bukan sekadar komoditas, tapi berkah. Tabarruk dari para wali.”

Ia memejamkan mata sebentar, lalu melanjutkan.

“Sunan Kudus atau Raden Ja’far Shodiq, adalah putra Sunan Ngudung dan Nyai Syarifah, adik Sunan Bonang. Dan Sunan Ngudung sendiri adalah menantu dari Sunan Ampel. Maka jika dirunut, tembakau itu warisan darah para wali. Dalam alirannya mengalir kasih, perjuangan, dan keberkahan.”

“Di Madura,” tambahnya lagi, “ada sosok Pangeran Katandur. Namanya berasal dari kata ‘katandur’ [artinya menanam]. Ia cucu Sunan Kudus dari Panembahan Pakaos. Sejak abad ke 12, ia yang mengajarkan rakyat Madura menanam tembakau. Maka kalau Madura kini disebut sebagai negeri tembakau, itu bukan hasil industrialisasi semata, tapi zuriat dari tanah para wali.”

Aku terdiam. Teringat ladang ladang tembakau di Madura yang menguning, para petani yang menjemur daun-daun itu dengan harap dan peluh. Lelaki muda ini seolah membawa suara mereka semua, yang selama ini tenggelam di antara iklan-iklan rokok besar dan narasi hukum formal.

Ia gerakkan kepalanya ke arah langit malam yang perlahan menelan bias cahaya. Lalu katanya lirih, seolah berbicara kepada langit, bukan kepadaku.

“Jadi, Mas! kalau jenengan punya hajat menanam tembakau, atau ingin berdagang tembakau sungkem dulu ke Pangeran Katandur. Bukan sekadar sowan makam, tapi mohon restu, mohon barokah. Sebab tembakau bukan sekadar tanaman, tapi titipan, amanah, dari langit yang ditanamkan ke bumi.”

Aku tercekat, kata kata itu memecah kediamanku.

Lelaki muda itu seperti membaca isi hatiku, mengetahui jalan hidup yang bahkan belum sepenuhnya aku pahami. Kata-katanya bukan hanya peringatan, tapi alarm ruhani yang membangunkanku dari kelengahan. Seolah seluruh semesta memanggil lewat mulut seorang pengembara yang membawa aroma suci dari pesantren Banten.

Memang aku sedang berniat berdagang rokok, bekerjasama dengan industri rokok kecil, yang letaknya -astaga!- tak jauh dari makam Pangeran Katandur. Bahkan nama merek rokoknya pun menyiratkan pesan yang kini baru kubaca. Aku alpa. Buta huruf dalam membaca bahasa semesta. Tertutup oleh angka, laba, dan urusan duniawi yang melenakan.

Baca juga:  Empat Bupati di Madura Duduk Satu Meja Bersama BASSRA, Ini yang Dibahas

إِنَّ فِي خَلْقِ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَاخْتِلَافِ اللَّيْلِ وَالنَّهَارِ لَآيَاتٍ لِأُولِي الْأَلْبَابِ

“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dalam pergantian malam dan siang, ada tanda-tanda bagi orang yang mau berpikir.” QS. Al-Imron ayat 190.

Ayat itu melintas begitu saja di benakku, tapi kali ini bukan sekadar bacaan. Ia mengetuk hatiku, merobek selimut kelalaian yang menutupi jiwaku.

Sungkem ke Pangeran Katandur bukan soal tradisi atau budaya. Ia adalah penanda keinsafan, pengingat bahwa segala yang ditanam di bumi, sejatinya ditujukan bagi hasil di akhirat. Katandur berarti yang menanam dan hidup ini, bukankah hakikatnya juga menanam? Menanam amal, menanam niat, menanam kasih, menanam doa.

Dan aku, entah apa yang telah kutanam selama hidup ini. Maka kupanjatkan doa yang keluar dari relung jiwaku.

“Astaghfirullahal ‘adzim! ampunilah dosaku, ya Rabb. Ampuni kelalaianku, karena terlalu sibuk mencari dunia hingga melupakan-Mu.”

Aku menyandarkan kepala ke pilar serambi Masjid Ampel, membiarkan malam menuliskan kembali makna hidupku di langit-langit jiwa. Hampir tengah malam, langit Ampel masih bercahaya dengan pantulan dzikir. Lelaki muda itu kembali khusyuk melinting rokok. Entah sudah berapa linting dihabiskan [tak terhitung].

Sembari melinting, ia kemudian meneruskan kata-katanya.

“Mas, dari rokok tingwe ini kita bisa belajar Sangkan Paraning Dumadi, kata para sufi Jawa.”

“Saat kau duduk sendiri, melinting rokok dengan jari-jari yang mulai hapal jalan hidup, jangan kira itu cuma perkara tembakau, kertas, dan api. Itu adalah meditasi. Itu adalah doa yang tak terucap”.

“Kertas rokok itu syariat— kulit luar dari segalanya. Yang kau lihat, yang kau sentuh, seperti rukuk dan sujud, seperti kata-kata dalam doa yang setiap hari kau ulang. Ia penting. Ia perlu. Tapi ia belum cukup”.

“Di dalamnya ada tembakau dan cengkeh— itulah hakikat. Bukan apa yang tampak, tapi apa yang menjadi sebab dan rasa. Seperti cinta di balik perintah, seperti rahmat di balik kewajiban”.

“Kertas itu perlu. Syariat itu perlu. Tanpa kertas, tembakau dan cengkeh akan berantakan. Begitu juga syariat tanpa hakikat—ia tak akan jalan. Sedangkan hakikat tanpa syariat—itu keblabasan. Bukan pencerahan, tapi kesesatan yang dibungkus spiritualitas palsu”.

“Lalu ketika kau mulai melinting, menggulung, menyatukan yang terpisah, itu tarekat—jalan panjang manusia menuju Tuhan, melewati liku hati, membetulkan niat, menyatukan kata dan perbuatan”.

“Sampai akhirnya kau nyalakan, kau hirup perlahan. Bukan tentang rasa nikmatnya, tapi tentang sadar: kau sedang menjemput fana. Dan di sana, mungkin, kau temui makrifat: kau tak lagi melihat rokok, kau melihat dirimu. Kecil. Rapuh. Tapi penuh potensi untuk menyala, memberi hangat, meski hanya sekejap”.

“Seperti itulah hidup. Kita ini cuma lintingan dari debu dan ruh, dibentuk oleh kasih, dihidupkan oleh nafas-Nya, dan nanti akan habis juga, menjadi abu, kembali ke asal: Sangkan Paraning Dumadi”.

“Dari Tuhan, oleh Tuhan, menuju Tuhan,” uarnya pelan sambil menundukkan kepala.

Ia tak langsung menatapku. Ia membiarkan malam menjeda. Langit Ampel seakan menahan napas.

Lalu suara lelaki muda itu kembali terdengar, seperti air yang mengalir dari mata air yang paling sunyi.

“Seharusnya Mas lebih memahami arti rokok ini daripada saya…” katanya lirih, tapi menghunjam.

Aku mengangkat wajah. Menatapnya.

Ia tersenyum kecil. Senyum yang seperti tahu sesuatu yang belum kutahu tentang diriku sendiri.

“Rokok, Mas… itu dari Bahasa Madura. Rohna Sengkok—‘ruhnya saya’.” Ia menyebutnya dengan lidah yang fasih, seperti sedang melafazkan doa.

“Disebut rokok bukan hanya karena tembakau, cengkeh, dan api. Tapi karena di sana ada ruh yang sedang menyala. Ruh yang sedang mencari jalan pulang. Saat tembakau dan cengkeh tergulung dalam kertas, dan kau menyulutnya, kau sebenarnya sedang menyulut kesadaran.”

Ia berhenti sebentar. Memandang asap yang perlahan naik ke langit.

“Dan bukankah hidup juga begitu, Mas?” katanya.

“Kita ini cuma ruh yang sedang digulung oleh jasad. Lalu dibakar oleh waktu, hingga kita habis, dan tinggal kembali ke asal.”

Aku tak sanggup berkata-kata. Suara lelaki muda ini seperti ayat-ayat yang tak tertulis, tapi menempel di dinding hati.

“Kenali ruhmu, Mas,” ujarnya, kini lebih dalam. “Karena sebagaimana sabda Nabi Muhammad SAW ‘Man ‘arafa nafsahu faqad ‘arafa Rabbahu’ Siapa yang mengenal dirinya, maka ia akan mengenal Tuhannya.”

Baca juga:  Peringati Hari Jadi Sampang ke-397, ASN Diminta Kenakan Pakaian Adat Madura

Aku menelan napas.

“Ruh!,” lanjutnya, “ibarat software. Ia tak terlihat,tapi menentukan seluruh hidup kita. Kau bisa punya tubuh yang sempurna, tapi jika ruhmu rusak, hidupmu akan pincang.”

Ia mengangkat jarinya, menunjuk ke dadaku, bukan dengan keras, tapi seperti menyentuh sesuatu yang rapuh.

“Saat hidupmu selesai, jasadmu akan kembali ke tanah. Itu urusan orang lain: dikafani, disholatkan, dikubur. Tapi ruhmu tak ada yang bisa mengurusnya selain dirimu sendiri. Jika kau tak tahu jalan pulang, jika kau tak pernah kenal siapa Tuhanmu, maka ruhmu akan tersesat, dan tak ada GPS yang bisa menuntunnya. Dan jalan itu bukan dirawat oleh orang lain. Ia harus dirawat oleh dirinya sendiri. Oleh kejujuran, oleh taubat, oleh pengakuan diri”.

Malam semakin sunyi. Tapi dalam kesunyian itu, aku justru seperti mendengar gema dari langit. Gema yang selama ini terpendam oleh suara dunia yang ribut.

“Jika Tuhan itu Maha Suci, maka ruhmu pun harus berlatih menjadi suci. Jika Tuhan Maha Adil, maka kau harus berusaha berlaku adil, pada dirimu sendiri dan pada semesta. Karena tak mungkin ruh yang kotor bisa mendekat kepada-Nya.”

Mendengarnya, aku seperti diseret pada satu ruang sunyi di dasar ingatan. Mengeja satu kalimat tua dari seorang kekasih Tuhan: Jalaluddin Rumi. Penyair, sufi, kekasih langit yang menulis dengan tinta cinta dan menangis di antara bait-bait puisi. Ia pernah menulis dalam satu bisikan yang tidak butuh pengeras suara.

“Bersihkan dirimu dengan dirimu sendiri.”

Kalimat itu sederhana, tapi bagai embun yang jatuh ke atas bara: menyentuh dan meledakkan kesadaranku.

Lelaki muda di sampingku seperti menangkap gelombang pikiranku. ia tak menoleh, tapi berkata pelan:

“Itulah makna tingwe, Mas, melinting dewe, melakukan sendiri, untuk sendiri.”

Aku menoleh padanya. Ia masih melinting rokok, tenang seperti malam Ampel yang tak tergesa. Tapi ucapannya menelusup jauh ke lorong jiwaku.

Ia seperti berkata padaku, bahwa bukan orang lain yang bisa menyucikan kita. Bukan khutbah, bukan kitab, bukan juga pakaian atau gelar atau pujian.

Hanya engkau sendirilah alat bersihmu, engkau adalah penyapu bagi debu jiwamu sendiri, engkau adalah air wudhu bagi hatimu yang kering, engkau adalah api yang membakar kerak-kerak nafsumu, engkau adalah cahaya yang kau minta dari Tuhan, tapi sebenarnya sudah ditanam sejak kau ditiupkan ruh-ketika ruhmu pertama kali disapa, “Alastu birabbikum?

Bahwa Tuhan tidak akan menyambutmu dalam keadaan masih kau bawa egomu. Masih kau bawa cemburu, dengki, rakus, atau takabur. Karena pintu langit tak punya ruang untuk sepatu-sepatu kotor dunia.

Kesucian harus diupayakan sendiri, dengan tanganmu sendiri, dengan langkah-langkahmu sendiri,dengan sepi yang kau hadapi, dan peluh yang kau relakan, menuju Tuhanmu yang setia menunggu di ujung kesabaran dan kejujuranmu.

Aku pun menundukkan kepala, memejamkan mata perlahan. Di balik kelopak yang terpejam, aku mendengar gemuruh istighfar, bukan dari mulutku, tapi dari dalam diriku sendiri—seperti samudera yang membentur karang kesadaran. Ia mengalir deras, merobek-robek pembuluh darah, meresap ke pori-pori tubuh, menjalar hingga ke sumsum dosa-dosa yang selama ini kusembunyikan di balik keangkuhan hidup.

Seluruh tubuhku terasa lemah, bukan karena letih jasmani, tapi karena jiwaku seolah baru saja ditelanjangi oleh cahaya kebenaran. Ada gemetar di hati, ada malu yang tak bisa kutampik. Aku merasa kecil, rapuh, dan penuh cela di hadapan-Nya. Dalam batin, aku hanya mampu berbisik, “Ampuni aku, ya Rabb”

“Aku lupa jalan pulang, terlalu sibuk menanam dunia, hingga lupa panen akhirat.”

Ketika akhirnya kubuka mata, malam masih diam, langit Ampel masih setia menjadi saksi. Tapi lelaki muda itu telah tiada. Seperti kabut yang datang membawa pesan lalu pergi tanpa jejak. Hanya satu batang rokok tingwe yang tersisa di lantai serambi masjid, tergeletak tepat di hadapanku—sunyi, namun menggema.

Seolah ia berkata, “Inilah dirimu. Sehelai kertas yang membungkus sedikit rasa, lalu habis menjadi abu.” Aku menatapnya lama, dan aku tahu yang tertinggal bukan sekadar lintingan tembakau, tapi serpihan hikmah yang disulut dari ruh seorang musafir yang datang untuk membangunkanku dari tidur yang panjang.

*Penulis adalah Aktivis NU Sampang, Kolumnis di Berbagai Media Online

banner 728x90

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

banner 728x90