banner 728x90
Opini  

Nawaitu Dzulhijjah: Sebuah Bisik Sunyi kepada Langit

Faisol Ramdhoni.
Oleh : Faisol Ramdhoni

maduraindepth.com – Aku berniat, ya Allah. Tapi apa artinya sebuah niat kalau hatiku masih bising oleh dunia? Apa gunanya lisan mengucap, kalau batin masih sibuk mencatat rencana-rencana yang bukan Engkau?

Aku berniat, ya Allah, bukan karena aku merasa layak, tapi karena Engkau Maha Mengundang. Di hadapan Dzulhijjah, bulan suci yang Engkau muliakan dengan kisah para kekasih-Mu, aku mencoba meluruskan niat—walau hatiku masih sering miring ke arah dunia. Aku ingin turut merasakan jejak tiga ruh besar yang membentuk tubuh sejarah manusia.

Aku ingin belaian keikhlasan Nabi Ibrahim yang mengorbankan segala selain Engkau, Aku ingin mencicipi air pasrah dari telaga Ismail, Aku ingin seperti Hajar yang berlari-lari bukan karena gelisah, tapi karena yakin kepada rahmat-Mu. Aku ingin membawa amal-amal kecilku sebagai bukti bahwa aku masih hidup, masih rindu, dan masih percaya pada cinta yang datang dari langit.

Aku hanya ingin meniti jejak mereka. Tapi aku tahu, ini bukan perkara kaki melangkah, ini soal hati yang menyerah. Maka aku berkata lirih, dalam kerendahan yang paling kutahu:

Nawaitu! aku niat, ya Rabb, bukan karena aku suci, tapi karena aku rindu.

Maka dalam sunyi malam dan sepi hati, aku bisikkan: Nawaitu lillahi ta’ala. Aku niat puasa, bukan hanya menahan lapar, tapi agar nafsuku tunduk kepada kehendak-Mu. Aku niat bertakbir, bukan sekadar meninggikan suara, tapi agar setiap detaknya menjadi pujian tulus dari hamba yang hina. Dan bila Engkau izinkan, aku niat menyembelih—bukan hewan semata, tapi kebanggaan, kemalasan, keangkuhan dan segala yang menghalangi jiwaku untuk sampai kepada-Mu.

Baca juga:  Sukseskan Pilkada Damai

Ya Allah, jangan lihat amalku, lihatlah betapa aku mengetuk-Mu, dengan harap yang tulus dan air mata yang belum juga kering sejak aku sadar betapa jauhnya aku dari-Mu.

Aku datang kepada-Mu bukan membawa pahala, tapi membawa luka, rindu, dan harap yang tak kunjung padam. Aku ingin kembali ke kesunyian tempat Engkau pertama kali meniupkan nyawa—tanpa topeng, tanpa pujian, hanya seorang hamba yang menangis di hadapan Cinta Abadi.

Dzulhijjah ini adalah permulaan, bukan dari ibadah, tapi dari pengakuan: bahwa aku tak punya daya, tak punya apa-apa, kecuali Engkau yang terus memelukku dalam rahmat-Mu.

Dzulhijjah bukan sekadar tanggal di kalender Islam, tapi pertunjukan cinta yang ditonton semesta. Dan aku, meski bukan aktor utama, ingin turut serta walau hanya jadi bayangan di pinggir panggung. Dengan hati yang tak sempurna, dengan iman yang bolong-bolong, aku berkata:

Ya Allah, saksikanlah. Aku berniat! Aku mau! Aku siap! (*)

banner 728x90

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *