Opini  

Menyoal Output Pendidikan Bergelar

Output Pendidikan Bergelar
Muhammad Subhan. (Foto: MH/MI)
Oleh : Muhammad Subhan*

maduraindepth.com – Kalau di status akun Facebook penulis menggunakan istilah pentingnya pendidikan doktriner keilmuan dari pada lainnya, hal ini mungkin perlu penulis kemukakan dalam tulisan latar belakang tulisan itu. Karena tulisan pendek itu sempat dikomentari oleh teman penulis dari Bali KH Imam Muhayat MA yang menjabat Sekretaris Majelis Ulama’ Indonesia (MUI) Kabupaten Badung dan dari Ponorogo Dr. Afiful Ikhwan, M.Pd.I, Direktur Pasca Sarjana Universitas Muhammadiyah Ponorogo. Keduanya memberikan komentar bahwa tulisan penulis sangat realistis dan inspiratif, namun bisa menyinggung banyak orang.

Kendati sesungguhnya berangkat dari keprihatinan penulis terhadap semua penyelenggara negeri ini mulai dari tingkat desa hingga yang paling tinggi seperti anggota legislatif di senayan dan lain-lainnya. Kalau kita perhatikan komentar-komentarnya mereka sangat baik dan cerdas atau pintar. Tapi di sisi lain ternyata banyak dari mereka tidak konsisten antara ucapan dan perbuatan serta aktivitas hatinya.

banner auto

Kenyataan ini bisa dilihat dari berbagai kasuistik yang dilakukan oleh mereka mulai dari kasus korupsi, kolusi dan nepotisme baik di tingkat desa maupun nasional. Anehnya lagi walaupun mereka divonis bersalah dan masuk bui, perasaan malu tidak ada yang muncul justru pernyataan APES saja. Kalau kita perhatikan lagi background (latar belakang) pendidikannya rata-rata strata dua dari berbagai kampus ternama, baik dalam negeri maupun luar negeri. Dan tidak ada atau sedikit dalam catatan lembaran negara mereka berlatar belakang pendidikan pesantren (pendidikan tradisional).

Baca juga:  Pendidikan di Tengah Pandemi Covid-19

Kalau kita dalami lagi mengapa mereka masih melakukan perbuatan-perbuatan tercela seperti korupsi, kolusi dan nepotime, dalam konteks ini penulis pribadi lebih melihat dari proses pendidikan yang “mungkin” salah arah. Yaitu pendidikan yang berorientasi pada kecerdasan intelektual semata, sehingga profil lulusan pendidikan yang demikian indikatornya hanya pandai berbicara dan berdebat, pintar konsep. Tdak pada orientasi kecerdasan moral, sosial dan spritual, sehingga indikatornya pula adalah mereka takut korupsi, kolusi dan nepotisme karena bisa merugikan orang banyak (cerdas sosial), malu (cerdas moral) dan takut dosa secara agama (cerdas spritual).

Dengan demikian negeri ini adalah negeri bergelar, masyarakat Indonesia masih gemar dengan gelar yang dimilikinya. Mereka bangga dengan gelar yang disandangnya, walaupun tidak jelas asal dan cara memperolehnya. Apalagi praktik-praktik pendidikan tinggi kalau kita telusuri masih jauh dari standar minimal penyeleggaraan seperti kelas jauh, dan kelas-kelas lainnya yang pasti masih belum disebut layak sebagai perguruan tinggi dengan tidak adanya kultur akademik yang memadai, karya tulis yang sama sekali tidak ada. Sehingga, saat ini masih ada pengangguran yang di antaranya lulusan perguruan tinggi bergelar. Lulusan perguruan tinggi ini belum bisa memengaruhi masyarakat memiliki karakter yang baik. Ini terbukti banyaknya lulusan perguruan tinggi, baik bergelar sarjana maupun lulusan pascasarjana yang melakukan korupsi

Baca juga:  Esensi Asketisisme Beragama

Melalui tulisan ini masih banyak keluhan tentang pendidikan di Indonesia, termasuk pendidikan tinggi. Itu karena pendidikan hanya berorientasi pada ujian dan mendapatkan nilai. Seharusnya pendidikan dimaknai sebagai upaya untuk membantu manusia dalam membentuk dan mencapai realitas diri dengan mengoptimalkan semua potensi kemanusiaannya. Dengan demikian proses pendidikan diharapkan dapat menuju terwujudnya optimalisasi potensi manusia, termasuk memperbaiki karakternya.

Pendidikan juga bukan sekadar proses penanaman nilai moral untuk membentengi diri dari ekses globalisasi. Tetapi bagaimana nilai-nilai moral yang telah ditanamkan dalam pendidikan mampu menjadi kekuatan pembebas dari impitan kemiskinan, kebodohan, keterbelakangan, sosial-budaya, dan ekonomi – sehingga tidak muncul perilaku-perilaku tidak terpuji -.

Oleh karena itu pendidikan tidak bisa dilakukan dengan doktriner mekanistik tapi lebih pada doktriner keilmuan yang berwawasan global dan berbasis akhlakul karimah. Pendidikan perlu keterlibatan aktif para pendidik atau dosen dengan para mahasiswa dalam melakukan dialog untuk kajian ilmu . Pendidikan, harus bisa membebaskan mahasiswa dari sikap primordial dan menumbuhkan kebersamaan. Selain itu, juga mendorong mahasiswa bisa menghargai perbedaan, menghargai nilai-nilai yang universal, dan terinspirasi menghormati martabat sesamanya.

Jika nilai-nilai dalam pendidikan tidak tercapai, akan muncul sikap amoral, intoleran, sikap anarkis, dan tidak berkarakter. Hal seperti ini mengindikasikan pendidikan belum mampu membimbing subjek didik atau mahasiswa untuk toleran terhadap keberagaman dan untuk berlomba dalam kebajikan walaupun di setiap pendidikan selalu ada pendidikan agama.

Baca juga:  27 Step of May: Reaksi Panjang Terhadap Luka

Pendidikan agama pun belum mampu membekali kesadaran kolektif yang positif berdasarkan nilai kasih penulis atau ar-Rahman dan ar-Rohim serta penghargaan terhadap kemanusiaan dan kehidupan. Karena itu, diharapkan melalui dosen yang berkualitas dan berdedikasi tinggi yang mampu meneladani perilaku baik, dapat membantu memproduksi sumber daya manusia (SDM) yang kapabel di bidangnya dan bisa mewujudkan generasi yang berkarakter. Dengan demikian, bisa mengantarkan pemimpin bangsa yang amanah dan cerdas. (*)

*Penulis merupakan pengurus Yayasan Al Qosimi Sumber Kuning, Jrengik, Sampang.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

banner auto