Opini  

Perempuan dalam Percaturan Politik

Kholisatul Hasanah
Kholisatul Hasanah
Oleh: Kholisatul Hasanah*

maduraindepth.com – Indonesia merupakan negara Demokrasi yang menempatkan rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi dalam tatanan kenegaraan. Demokrasi sebagaimana yang disampaikan oleh Abraham Lincoln (Presiden Amerika Serikat ke-16) adalah sistem pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Sistem Pemerintahan yang dimaksud salah satunya ialah dalam proses konstelasi politik untuk menentukan pemimpin dan formasi perwakilan rakyat dalam parlemen yang diharapkan oleh rakyat di suatu negara.

Perwujudan demokrasi di Indonesia salah satunya melalui penyelenggaraan Pemilihan Umum (Pemilu) yang secara konsisten berlangsung 5 tahun sekali. Di tahun 2024 mendatang, Indonesia akan menyelenggarakan perhelatan demokrasi (Pemilu) yang ke-13 untuk pemilihan Presiden dan Wakil Presiden, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Daerah (DPD), serta DPR-Daerah Provinsi dan Kabupaten.

Sejak Juni 2022 lalu, penyelenggara Pemilu telah memulai berbagai tahapan. Mulai dari penyusunan perencanaan, pemutakhiran data pemilih dan penyusunan daftar pemilih hingga tertanggal April 2023 pendaftaran bakal calon anggota legislatif (Caleg) 2024.

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilu DPR, DPD, dan DPRD mengharuskan partai politik menyertakan keterwakilan perempuan minimal 30% dalam pendirian maupun dalam kepengurusan di tingkat pusat dan di tingkat daerah (Pasal 8 dan 53). Selain itu, pada Pasal 245 Undang-Undang (UU) Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, secara tegas mengamanatkan, daftar caleg di setiap dapil memuat paling sedikit 30% keterwakilan perempuan. Dimana hal ini mewajibkan adanya keterwakilan perempuan dari setiap partai politik di setiap daerah pilihan (dapil) paling sedikitnya 30%. Hal ini menjadi salah satu dorongan atas berlangsungnya Pengarusutamaan Gender (PuG) dalam tatanan pemerintahan.

Baca juga:  Mahbub Djunaidi dan Khittah 1926 NU

Pada Pemilu 2019, angka keterwakilan perempuan berada pada angka 20,52 %. Angka ini belum mencapai kuota 30 %. Tentu angka tersebut menjadi PR tersendiri bagi penyelenggara Pemilu agar di pemilu 2024 angka keterwakilan perempuan bisa meningkat.

Seharusnya, melalui ketegasan aturan yang dibuat dalam pemilu bisa memaksa semua pihak untuk memperluas peluang kewajiban pemenuhan kuota perempuan. Sehingga memaksa partai politik untuk lebih gigih melakukan pendidikan politik kepada perempuan dan berupaya memenuhi kuota pencalegan perempuan.

Partai politik menjadi salah satu yang memiliki peranan penting dalam meningkatkan kualitas politisi perempuan. Parpol harus memastikan bahwa perempuan dalam pusaran politik ini adalah sebagai perumus keputusan, bukan hanya sebagai penggenap syarat 30 % saja.

Di lain sisi, angka keterpilihan caleg perempuan juga rendah. Bahkan tidak sebanding dengan jumlah pemilih perempuan. Sebagaimana total pemilih dalam pemilu tahun 2019.

Berdasarkan Berita Acara Nomor 211/PL.02.1-BA/01/KPU/IX/2018 dan Berita Acara Nomor 212/PL.02.1-BA/01/KPU/IX/2018 sebanyak 185.732.093, pemilih perempuan 2% lebih banyak dibanding laki-laki. Jumlahnya, pemilih perempuan sebanyak 92.929.422 dan laki-laki sebanyak 92.802.671.

Hal ini tidak menjamin keterpilihan perempuan menjacapai 30% kursi. Caleg perempuan yang berhasil menduduki bangku legislatif hanya 120 dari 575 kursi atau setara dengan 20,8% di tingkatan nasional. Seharusnya ketercapaian 30% perempuan menduduki kursi legislatif minimal 172 orang.

Hal ini sejalan dengan yang terjadi di daerah-daerah. Di Jawa Timur misalnya, jumlah pemilih perempuan pada Pemilu 2019 sebanyak 15.686.939 pemilih dari total pemilih 30.912.994. Selisih 2 % lebih banyak dibanding pemilih laki-laki. Namun, sebagaimana data puskapol jumlah keterpilihan caleg perempuan hanya sebatas 24% atau 20 dari 120 kursi politik yang tersedia. Dimana seharusnya 30% itu sebanyak 35 orang.

Baca juga:  13 Keterampilan Guru dalam Merancang Pembelajaran yang Inklusif dan Partisipatif

Di Jember sendiri, pada pemilu 2019 kemarin terdapat 1.825.386 pemilih. Dengan rincian 902.327 pemilih berjenis kelamin laki-laki dan 923.059 pemilih berjenis kelamin perempuan. Jumlah ini lagi-lagi menunjukkan bahwa kuantitas pemilih perempuan lebih banyak daripada laki-laki. Akan tetapi, ketika kita melihat jumlah anggota legislatif perempuan di DPRD Kabupaten Jember periode 2019-2024 hanya sebanyak 9 orang dari total 50 kursi yang ada. Padahal seharusnya 30% keterwakilan perempuan itu sebanyak 15 orang.

Ada apa di balik ini semua? Mungkinkah disebabkan karena kesadaran pemilih? Atau disebabkan karena kader perempuan yang didistribusikan oleh partai politik hanya dianggap sebagai pelengkap saja sehingga kualitas dan kapabilitasnya tidak diperhitungkan

Bersamaan dengan fenomena data tersebut, baru-baru ini muncul peraturan terbaru KPU Nomor 10 Pasal 8 ayat 2 tahun 2023 tentang perhitungan 30% keterwakilan perempuan. Komisi Pemilihan Umum (KPU) mengeluarkan Peraturan baru yang justru mencederai isi UU No.10 tahun 2008 di atas.

Peraturan yang dimaksud ialah Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 10 Tahun 2023 tentang Pencalonan Anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/kota, Pasal 8 ayat (2). Dalam peraturan tersebut berbunyi: “Dalam hal penghitungan 30 % jumlah bakal calon perempuan di setiap dapil menghasilkan angka pecahan, maka apabila dua tempat desimal di belakang koma bernilai: kurang dari 50 maka hasil penghitungan dilakukan pembulatan ke bawah; atau 50 atau jika lebih, hasil penghitungan dilakukan pembulatan ke atas”.

Misalnya, jumlah bakal calon legislatif (bacaleg) yang didaftarkan oleh sebuah partai politik sebanyak 8 orang, yang mana jika dikalikan 30% menghasilkan angka 2,40. Maka akan dibulatkan menjadi 2, artinya partai politik tersebut hanya diwajibkan membawa 2 bacaleg perempuan dan hanya ada 2 perempuan untuk memenuhi kuota minimal. Padahal, 2 dari 8 caleg setara 25% yang artinya belum memenuhi minimal keterwakilan perempuan yaitu 30%.

Baca juga:  Politik Lokal Ajang Perebutan Kekuasaan

Peraturan KPU yang ditetapkan pada 30 April 2023 ini dinilai tidak sesuai dengan undang-Undang (UU) Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu pasal 245, yang secara tegas mengamanatkan bahwa daftar caleg di setiap dapil memuat paling sedikit 30% keterwakilan perempuan. Dimana, peraturan tersebut berpotensi membuat keterwakilan perempuan sebagai calon anggota legislatif (caleg) di bawah 30%. Maka, berdasarkan Narasi news setidaknya ada 38 dapil yang terdampak aturan tersebut. Secara matematis, dapil dengan jumlah kursi 4, 7, 8, dan 11 akan secara otomatis mengurangi angka kewajiban kuota keterwakilan perempuannya dan tidak akan lagi tercapai 30%.

Padahal, pada kenyataan sebelum adanya peraturan inipun, keterwakilan perempuan untuk mencapai angka minimal 30% masih dirasa sangat menjadi kemelut panjang (bukan lagi kemelut, tapi sudah mengkis-mengkis). Lalu, apakah aturan tersebut akan menjawab keresahan keterwakilan perempuan dengan jaminan partai politik akan mendistribusikan kader perempuan terbaiknya? atau dengan peraturan ini, malah akan membuat pendistribusian perempuan akan semakin dientengkan? Tidakkah peraturan ini akan semakin mempersempit potensi partisipasi perempuan menjadi bagian dalam parlemen? Jika dari awal saja sudah terbatasi, bagaimana mau melangkah kepada proses selanjutnya? (*)

*Penulis merupakan Ketua Kopri PMII Jember

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

banner auto