Opini  

Menjadi Santri di Era Millenial

Foto: Istimewa
Oleh: Muhammad Aunul Abied Shah*

maduraindepth.com – Alkisah, ada seorang grand master sufi kondang yang bernama Muhyiddin Ibnu Arabi al-Hatimi, penganggit kitab al-Futuuhaat al-Makkiyah yang penuh misteri. Beliau mempunyai sebuah teori tentang “ketersalingan eksistensi”.

Menurutnya segala sesuatu yang ada senyatanya terasa meng-“ada” ketika disandingkan dengan ko-eksistensinya: Allah al-Khaliq terasa ada kalau ada makhluk-Nya, ada figur seorang kyai baru terasa eksis kalau ada santrinya. Untuk apa keindahan langit itu ada, kalau tidak ada bumi yang menjadi pasangannya, demikian kalau kita boleh bergaya pujangga.

Kalau dilacak secara kronologis, pastilah Allah itu ada secara azali, baru para makhluk mewujud dalam ada, satu-satu dan dua-dua. Demikian juga secara historis, awalnya ada seorang kyai, yaitu orang alim yang dihormati karena bisa digugu dan ditiru -menjadi guru yang menempati sebuah kawasan-. Lalu datanglah para santri, satu-satu dan dua-dua. Awalnya cuma ada ndhalem, tempat tinggal Kyai sebagai pusat aktivitas dan pergerakan, lalu ada musala yang kemudian membesar menjadi masjid, seiring dengan bertambahnya santri yang bermukim di sebuah tempat. Lalu tempat itu dikenal khalayak sebagai sebuah “Pesantren” tempatnya para santri mengaji dan mengabdi. Di pesantren, para santri belajar hidup mandiri, sambil bermujahadah mendekatkan diri kepada ilahi Rabbi.

Karena memang esensi seorang santri adalah berupaya untuk membuat dirinya menjadi manusia yang seutuhnya. Yaitu manusia paripurna menurut ukuran agama yang diperoleh melalui proses penyerapan ajaran kyai, proses pendadaran diri dalam keteladanan, dan proses pengabdian yang berkepanjangan. Dari sini, maka seorang santri berusaha secara simultan untuk mewujudkan “diri” gurunya dalam “diri”-nya. Istilah sufistiknya: al-fanaa’ fisy-syaikh al-mursyid! Dan ini dijustifikasikan karena seorang guru atau kyai sudah makan asam garam kehidupan sehingga eksis dalam dunia kemasyarakatan, maka santrinya pun diharapkan bisa menjadi “mundzirul qaum”, penuntun masyarakat ke arah kebaikan.

Baca juga:  Pendidikan di Tengah Pandemi Covid-19

Untuk itu, santri perlu membekali dengan “Ilmul Haal”, ilmu kebijaksanaan yang dibutuhkan di masa kini, dalam berbagai ranah kehidupan. Santri masa kini tidak cukup lagi dengan sekedar menguasai ilmu agama, sebab santri harus bisa melayani tuntutan nyata masyarakat dalam hidup keseharian. Ada keterampilan, ada kecakapan, selain punya ilmu agama dan tatakrama.

Termasuk juga dalam menyikapi fenomena-fenomena baru yang berkembang, misalnya dalam bermedia sosial; seorang santri akan dipandang pertama sebagai orang yang mempunyai kadar prilaku yang harusnya bisa diteladani. Apa yang diposting selalu bermanfaat bagi pembacanya, menggunakan kata-kata yang menyejukkan, jauh dari ujaran-ujaran kebencian.

Kebetulan Hari Santri tahun ini bersamaan dengan hari-hari Maulid Nabi Muhammad SAW., selayaknyalah kalau kita mengaktualisasikannya dengan pembumian kembali nilai-nilai propetik yang adiluhung. Ingatlah pada saat Sang Nabi Kasih Sayang (SAW) dilempari batu dan kotoran di Kota Thaif, datanglah Malaikat Jibril mengirimkan pesan “Izinkan hamba mengangkat gunung untuk menimpuk mereka!”. Saat itu beliau hanya me-reply dengan sebuah doa: “Ya Allah, ampunilah kaumku, karena mereka adalah orang-orang yang tidak mengetahui!”.

Di sisi lain, kemajuan teknologi informasi dengan berbagai konsekuensinya sudah diramalkan oleh Alvin Toffler (dalam The Third Wave-nya), sejak medio 80-an di akhir abad lalu. Tetapi sayangnya umat Islam secara umum masih gagap untuk mengantisipasinya. Padahal sebenarnya, tidak susah-susah amat untuk menjaga umat tetap dalam koridor orang-orang yang selamat.

Baca juga:  Polarisasi Cebong Kampret

Ada korelasi yang harus diperhatikan selalu: antara al-Tsawaabit (kaidah-kaidah hukum yang tetap, tak boleh diubah-ubah) dan antara al-Mutaghayyiraat (aspek-aspek sarana pewujudan tujuan hidup yang bisa berubah-ubah). Contohnya: Islam itu jelas anti pornografi dan pornoaksi, Islam juga anti dengan segala perbuatan yang mengandung unsur penipuan dan bersifat destruktif, baik dalam skala kecil dan maupun dalam skala besar; Dan semua ini termasuk dalam al-Tsawaabit. Islam juga mengharuskan para santri memanfaatkan kemajuan dunia untuk mencari rezeki yang halal dan menyampaikan ajaran agamanya dalam spektrum yang seluas-luasnya. Di sini, ranah al-Ibaahah (hukum boleh dan halal) yang termasuk medannya al-Mutaghayyiraat jauh lebih luas daripada ranah al-Tahriim (hukum haram); sepanjang tidak bertentangan dengan kaidah-kaidah hukum yang termasuk dalam al-Tsawaabit di atas.

Kesimpulannya: ada ruang aktualisasi diri yang sangat lapang untuk para santri di era millenial sekarang. Maka tak perlulah berkecil hati, apalagi sampai merasa terpasung dengan Islam yang kita anut ini. Dalam konteks ini, para santri yang well-equipped (lebih terbekali dengan baik dalam ilmu dunia dan ilmu agama) adalah harapan umat untuk menjadi gerbong perubahan ke arah kemajuan yang berkelanjutan. Wal’Lahu Waliyyut taufiq. (*)

* Khuwaidimul `ilmi wat Thariqah an-Naqsyabandiyah, Pengasuh PP Darus Salam Torjun Sampang Madura, anggota BASSRA (Badan Silaturrahmi Ulama Pesantren Madura)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

banner auto