Opini  

Lelucon (dalam) Republik

Oleh : Abu Rakso *

Tentunya, yang telah menjadi pertanyaan mendasar adalah : apa yang melatarbelakangi mereka para pembuat kericuhan di Nusantara? Pertama, memang Indonesia ini terkenal dengan sebutan (gemah ripah loh jinawi) yang kaya akan sumber daya alam (SDA). Mungkin bisa dibilang Indonesian adalah Tanah paling nikmat yang diamanahkan Tuhan pada kita. Kedua, disebabkan oleh sebagian personal yang tidak merasa menerima kepuasan terhadap kiprah dan jerih payah penguasa. Sehingga mereka mengeluarkan statemen menuduh pemerintahan adalah pemerintah dhalim sepanjang sejarah.

Terutama di Rezim ini, tidak sedikt yang mengatakan pemimpin Thaghut.
Ungkapan-ungkapan yang serasa (Su’ul Adab) tersebut telah menjadi virus yang sangat mematikan karakter. Mungkin mirip dengan virus Corona yang menjadi perbincangan publik yang banyak mematikan jiwa. Perlu kita ketahui bersama, se buruk apapun dan se dhalim apapun seorang pemimpin, bagaimana pun juga ia merupakan pemimpin kita dan nahkoda negeri ini. Terkadang, sifat jumawa-lah yang membawa kita pada kebencian yang berlebihan.Ironisnya lagi, ketika amarah dan nafsu diluapkan tanpa kendali sehingga dengan mudah berimajinasi dalam kebencian dan ketidak puasanya, ingin mendirikan negara Islam agar republik ini lebih bersyariah. Apakah Pancasila belum cukup bersyariah? Jika tetap bersikap agresif berarti mereka ingin mendirikan negara di dalam negara. Itu hanyalah mimpi belaka.

Baca juga:  Jelang HUT RI ke 77, Bakesbangpol Gelar Kopi Panas

Selain dari pada itu, ada sebagian kelompok yang mendirikan kerajaan seperti Kerajaan Agung Sejagat di Purworejo dan Kerajaan Sunda Empire di Bandung yang tentu dibentuk oleh para barisan sakit hati. Mungkin, lebih menghibur dari sinetron Samudera-Cinta yang telah dinobatkan menjadi Raja dan Ratu Kampus. Sunggu menggelikan dan menjadi kisah-kisah masa kini.
Seperti apa yang telah didawuhkan oleh Wakil Presiden Romo Yai Ma’ruf Amin, “fenomena kemunculan kerajaan palsu di Indonesia adalah menunjukkan bahwa orang Indonesia sakit secara pemikiran”. Fenomena keraja-rajaan tersebut merupakan implementasi dari cara pandang yang tidak sehat dan pemberontakan secara samar terhadap Republik ini.

Seharusnya, kita perlu berfikir secara luas mengenai ketidak senangan, dan rasa muak melihat tingkah wakil rakyat, semisal. Karena begitu membengkaknya koruptor yang selalu menjadi bola liar dan merusak marwah Negara Kesatuan Republik Indonesia, bukan berarti kita harus mendirikan sistem Khilafah dan sistem Kerajaan yang hanya memunculkan ketidak rukunan. Konsep dasar memperbaiki kesalahan bukan lantas merusak tatanan yang ada, bahkan memusuhi pemerintah. Melainkan melalui jalur persuasif yang berakhlak.

Perlu ditelisik kembali kisah Nabiyullah Musa, AS. Pada saat diutus menghadap kepada Raja Mesir Raja yang paling dhalim dalam penuturan sejarah, yakni Fir’aun. Namun, Nabi Musa masih sedikit menegoisasi dengan berkata : Dia (Musa) berkata “Ya Tuhan-ku, sungguh aku takut mereka akan mendustakan, sehingga dadaku terasa sempit dan lidahku tidak lancar, maka utuslah Harun (bersamaku). Sebab, aku berdosa pada mereka, maka aku takut mereka akan membunuhku”.
Lalu, apakah karena kita keturunan Ulama, karena keturunan Kiai, karena keturunan Ustadz sehingga kita selalu nyinyir pemerintah? Kalau itu yang menjadikan kita jembatan untuk melakukan pemberontakan sungguh diluar batas moralitas kemanusiaan. Kita itu tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan Nabi Musa. Nabi Musa saja tidak mau bersikap kasar kepada Fir’un yang kejam yang nyaris membangkang mengaku dirinya Tuhan.

Baca juga:  Lestarikan Budaya Baca, Untuk Generasi dan Negeri

Nabi Musa bukan lagi maqom (tingkatan) Wali, tetapi beliau adalah seorang Nabi dan Rasul yang menerima Kitab Taurat yang telah diwahyukan oleh Tuhan pada sekitar abad ke-12 sebelum masehi (SM) dengan membawa pesan kemanusiaan dan membangun visi peradaban di tengah-tengah kerumunan Bani Israil. Salah satu riwayat mengkisahkan, bahwa Nabi Musa dalam berkomunikasi dengan Fir’un, Qaulan Layyinan (dengan bahasa yang lemah lembut) bukan dengan Qaulan syadidan (bahasa yang keras dan kasar). Sosok Nabi Musa begitu menghormati Fir’un, masak iya kita yang hanya kaum proletariat dengan enteng menuding pengusa Thaghut dan bejat. Jika dengan pendekatan bisa mencapai kerukunan, mengapa harus dengan kekerasan yang hanya melahirkan pertikaian.

Relasinya adalah sebagus dan sebaik apapun seorang pemimpin jika kita memandang dengan kaca mata kebencian, sama sekali kebenaran dan kebaikan tidak akan pernah tampak. Apalagi seorang pemimpin yang tidak becus tentu akan semakin tak pernah ada secuilpun kebaikan baginya. Mengukur keberhasilan seorang pemimpin bukan menggunakan meteran, tetapi menggunakan perasaan (sir). Agar kita tidak terkubur oleh kebencian, karena semakin kita membenci maka hati akan semakin gelap.

Wallahu A’lam Bisshawab

*Penulis adalah Alumni Universitas Tribhuwana Tungga Dewi Malang Jurusan Ekonomi Manajemen.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

banner auto