Opini  

Dikotomi Perguruan Tinggi Negeri dan Swasta

Amir Hamzah
Oleh : Amir Hamzah

maduraindepth.com – Sejak kancah dunia Modern dimulai maka arus perkembangan dari segala lini terus berubah tak terbendung ditandai dengan klaim revolusi Industri yang dimulai pada tahun 1750 – 1850. Kurun periode tersebut manusia moderen berlomba-lomba untuk menjadi yang terdepan dalam menciptakan inovasi, berevolusi dalam segala bentuk instrumen peradaban. Mulai dari infrastruktur, energi, transportasi, komunikasi, robotika sampai proyek menjelajah luar angkasa ikut diramaikan pun juga dalam sektor pendidikan dan sistem pendidikan yang sesuai dengan era Millenium. Modernisasi besar -besaran dilakukan manusia guna menciptakan babak baru dalam dunia multi sektor.

Senyampang dengan hal tersebut salah satu yang menjadi pokok persoalan dan akan terus mendapatkan perhatian adalah pendidikan. Pendidikan merupakan platform terpenting dalam keberlangsungan peradaban, dengan pendidikan kehidupan akan lebih terukur dan terarah masa depan sebuah bangsa akan selalu membutuhkan pendidikan yang berkualitas, masalah pendidikan seolah tak pernah padam. Bahkan selalu menghadirkan problematika baru seiring dengan berjalannya waktu yang begitu cepat, tentu kita merasa iba dengan kejadian murid yang memukul guru, tawuran antarpelajar atau mahasiswa, bolos sekolah atau kuliah serta pergaulan bebas yang acap kali menghadiri generasi peserta didik baik di tingkat sekolah menengah sampai perguruan tinggi.

Tentunya di tengah isu revolusi industri perlu adanya filterisasi perilaku guna lebih mempersiapkan secara matang para calon mahasiswa yang akan memulai perjalanan keilmuannya. Para calon mahasiswa harus lebih mempersiapkan diri karena menjadi mahasiswa bukan semata-mata untuk mencari gelar atau mendapatkan status sosial yang lebih. Namun lebih dari itu melalui dunia perkuliahan diharapkan mampu untuk berkontribusi pada negeri untuk selalu siap memberikan yang terbaik.

Sudah menjadi mafhum bahwa dalam melanjutkan pendidikan di perguruan tinggi, masyarakat kita lebih memprioritaskan universitas yang berlabel negeri daripada swasta. Hal tersebut tak lain adalah karena beberapa alasan yang mendasar seperti fasilitas yang lebih lengkap, daya saing lebih superior, tenaga dosen yang lebih bereputasi dan berpengalaman. Bahkan ada anggapan yang beranggapan kuliah di perguruan tinggi akan lebih mendapatkan pekerjaan dan akan lebih sukses di luar ketika lulus, akibatnya terjadilah ‘Universitas Negeri Sentris’, perguruan tinggi swasta sepi peminat. Sebagian masyarakat beranggapan kuliah di swasta tidak akan setenar kuliah di Perguruan Tinggi Negeri, tak jarang bagi yang tidak lulus seleksi masuk Perguruan Tinggi Negeri bahkan rela menggelontorkan uang lebih untuk ikut serta lagi dalam tahapan seleksi berikutnya.

Baca juga:  REFLEKSI AKHIR TAHUN 2019 "Pamekasan Satu. Satu Pamekasan Untuk Satu Tujuan"

Mendekati tahun ajaran baru perkuliahan, sejumlah perguruan tinggi melakukan sejumlah seleksi bersama masuk perguruan tinggi negeri (SBMPTN) untuk memberikan kesempatan kepada para kaum pelajar yang ingin melanjutkan pendidikan ke Grade yang lebih tinggi, tak ketinggalan juga perguruan tinggi swasta pun berlomba-lomba untuk menampilkan program studi yang terbaik, guna mendapatkan perhatian dari calon mahasiswa dari seantero negeri. Berbagai program-program unggulan ditonjolkan tak kalah beberapa beasiswa juga ditawarkan untuk menggaet putra-putri terbaik bangsa.

Namun terlepas dari hiruk pikuk strategi perguruan tinggi di atas terdapat beberapa masalah miris yang seharusnya tidak perlu terjadi seperti, kampus swasta yang dipandang sebelah mata atau bahkan jumlah rasio mahasiswa yang sangat sedikit. Sehingga lama kelamaan kampus swasta kian sepi peminat.

Tak jarang di beberapa daerah kampus swasta sangat kekurangan mahasiswa. Sehingga terkadang harus mencari mahasiswa, tentu hal ini sangat berbanding terbalik dengan kampus negeri yang terkadang overload akibat membludaknya mahasiswa yang mendaftar.

Pasal 31 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 berbunyi “Setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan”. Bunyi pasal tersebut mengindikasikan bahwa pendidikan adalah elemen penting yang berhak didapatkan seluruh lapisan masyarakat. Namun tidak ada undang – undang atau pasal yang berbunyi barang siapa yang kuliah di Perguruan Tinggi Negeri maka yang bersangkutan akan mendapatkan pengakuan yang lebih, akan lebih mudah mendapatkan pekerjaan serta akan lebih mendapatkan kesempatan. Pandangan ini sangat keliru dan bahkan jauh dari esensi pendidikan yang pada dasarnya untuk mencerdaskan bukan membeda-bedakan label negeri atau swasta. Semua sama-sama mempunyai kesempatan yang sama dalam berkontestasi dan membangun negeri.

Sudah sangat familiar di telinga kita mengenai semboyan pendidikan yang paling terkenal yang di ikrarkan oleh tokoh besar sekaligus aktivis pendidikan Ki Hajar Dewantara yang berbunyi ”Ing Ngarso Sung Tulodo, Ing Madya Mangun Karso Tut Wuri Handayani yang memiliki arti :Memberikan Tauladan di depan, di tengah memberi semangat serta memberikan dorongan dari belakang”. Ini menunjukkan jika pendidikan bersifat mendistribusikan Agent of Change guna merubah peradaban lebih baik dan sekali lagi Kontribusi konkrit anak bangsa bukan dilihat dari label perguruan tinggi asal mereka melainkan dari bukti nyata dan pemikiran yang cemerlang untuk negeri.

Baca juga:  Mahbub Djunaidi dan Khittah 1926 NU

Tidak ada sejarah pasti sejak kapan ada dikotomi antara pendidikan perguruan tinggi negeri dan swasta, karena pada dasarnya semua sama-sama punya kesempatan untuk membangun negeri, berkontribusi dan menjaga negeri ini. Belajar di perguruan tinggi negeri maupun swasta adalah sama, tergantung bagaimana pribadinya mengasah kemampuan baik segi akademik, talenta, keorganisasian serta relasi apalagi di zaman multi digital semua bisa diakses melalui satu portal, hanya permasalahannya adalah motivasi mau atau tidak.

Lulusan negeri ataupun swasta sama-sama tidak ada jaminan untuk sukses, sukses dan perguruan tinggi sama sekali tidak ada korelasi. Nilai IPK (indeks prestasi kumulatif) hanya sebagai perantara untuk mendapatkan eksistensi, sukses merupakan sebuah pertanggungjawaban antara hasil, ikhtiar serta kemauan keras.

Kegalauan dalam memilih perguruan tinggi negeri seharusnya tidak ada karena semua perguruan tinggi adalah sama fungsinya untuk mencerdaskan bangsa. Kampus prestisius bukan dilihat dari label negeri atau akreditasinya namun dilihat dari akhlak serta kontribusi para alumnusnya. Label hanyalah sebuah Complementary, sedangkan kontribusi adalah tugas putra-putri bangsa untuk terus membangun negeri tanpa memandang lulusan negeri maupun swasta.

Tidak sedikit remaja sekarang terlalu terobsesi dengan perguruan tinggi negeri. Tipikal seperti ini biasanya akan lebih memilih untuk menganggur lebih dahulu ketika gagal dalam seleksi perguruan tinggi negeri pertamanya. Ada yang memilih untuk intens dalam bimbingan belajar setahun hingga seleksi perguruan tinggi negeri kembali dibuka, dan itupun belum ada jaminan untuk diterima. Padahal tanpa sadar waktu terbuang untuk sekedar menunggu SBMPTN kembali dibuka, walaupun pada akhirnya mereka mendaftar perguruan tinggi swasta, nayatanya beberapa calon mahasiswa hanya mendikte sebagai pelarian saja karena gagal di perguruan tinggi negeri favorit.

Berbicara mengenai perguruan tinggi tentu saja membahas investasi masa depan. Sejujurnya kuliah di perguruan tinggi negeri maupun swasta tidak jauh berbeda. Apa hal signifikan tentang masa depan yang didapat mahasiswa perguruan tinggi negeri yang lebih dari perolehan perguruan tinggi swasta? Dalam konteks ini kita tidak berbicara materi, adakah jaminan dari perguruan tinggi negeri menjamin mahasiswanya untuk sukses? Tentu tak akan ada yang berani menjawab. Bahkan untuk Sekolah Tinggi Kedinasan yang ditangani langsung dibawah kementerian saja masih harus mengikuti ujian apabila ingin langsung bekerja di instansi terkait. Jika gagal, tetap saja akan menganggur dan bersaing bersama ribuan wisudawan-wisudawati yang lain tiap tahunnya.

Baca juga:  Virus Corona dalam Matematika Kekuasaan

Persoalan sumber daya manusia semakin menjadi perhatian utama bagi negara dan perusahaan. Kualitas talenta yang dimilki tiap individu kian dipandang sebagai kunci pertumbuhan, penciptaan lapangan kerja dan inovasi. Global Talent Competitiveness Index (GTCI) adalah lembaga yang memetakan pemeringkatan daya saing negara berdasarkan kemampuan atau talenta sumber daya manusia yang dimiliki negara tersebut.

Beberapa indikator penilaian indeks ini adalah pandangan perkapita, pendidikan, infrastruktur teknologi komputer informasi, gender, lingkungan, tingkat toleransi, literasi baca-tulis-hitung, peringkat internasional universitas, jurnal ilmiah, mahasiswa, relevansi pendidikan dengan dunia bisnis serta hasil riset hingga stabilitas politik.

Di ASEAN, Singapura menempati peringkat pertama dengan skor (77,2). Peringkat berikutnya disusul oleh Malaysia (58,62), Brunei Darussalam (49,91), dan Filipina (40,94). Sementara itu Indonesia berada di urutan keenam dengan skor (38,61). Laporan yang dirilis oleh GTCI 2019 ini menunjukkan betapa pendidikan di Indonesia kalah dengan negara tetangga yang dalam skala luas lebih kecil. Ini perlu perhatian khusus, terutama bagi pelaku pendidikan agar tidak terlalu mementingkan subjektivitas diri, tapi lebih kepada permasalahan yang berskala besar untuk semata-mata pembangunan nasional di sektor pendidikan.

Menilik kondisi tersebut bukan saatnya lagi untuk membeda-bedakan kampus negeri ataupun swasta. Dikotomi ini harus dihilangkan karena tidak ada gunanya saling mengunggulkan label negeri atau swasta yang terpenting adalah inovasi dan kerja keras, persoalan di atas sama-sama memerlukan kontribusi nyata, sudah seyogyanya kita bahu membahu untuk merubah wajah pendidikan agar daya saing serta citra pendidikan di negera ini lebih terangkat. (*)

* Dosen Sekolah Tinggi Ilmu Tarbiyah (STIT) AL Ibrohimy Bangkalan yang sedang menempuh Program Doktoral Universitas Negeri Malang

Respon (2)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

banner auto