Oleh: Syafiuddin Syarif*
maduraindepth.com – Sumenep memiliki peninggalan bangunan istana sebagai tempat tinggal raja dikenal dengan nama Keraton Sumenep. Hingga saat ini keraton Sumenep berdiri kokoh dan tetap terawat. Namun Keraton sumenep berbeda sekali nuansanya dengan keraton lain, khususnya di Jawa. Keraton Sumenep hanyalah bangunan tempat tinggal raja atau istana yang saat ini tidak ada raja yang menempati atau tinggal di dalam keraton. Saat ini di Sumenep tidak ada lagi raja sebagai penerus dari sistem kerajaan seperti pada masa lalu, sebab sistem politik pemerintahan yang telah berubah.
Jika kita berkunjung dan masuk ke Keraton Sumenep berbeda sekali nuansanya dengan saat memasuk keraton Solo, Jogyakarta dan Cirebon. Di keraton Solo, Jogyakarta dan Cirebon upacara adat dan tradisi kerajaan masih lestari, terjaga dan terawat sampai saat ini. Pada waktu tertentu keraton ramai didatangi banyak orang untuk menyaksikan upacara atau tradisi keraton lainnya secara langsung. Bahkan para pengunjung yang beruntung bisa bertemu langsung dengan raja di keraton kebesaran.
Di keraton Jogyakarta masyarakat atau pengunjung bisa menyaksikan berbagai upacara adat dan tradisi keraton seperti Sekaten, Upacara Siraman Pusaka dan Labuhan, upacara Garebeg dan upacara Tambak Wajik. Sekaten adalah upacara Keraton Yogyakarta yang dilaksanakan selama 7 hari. Upacara ini dilakukan setiap tahun pada bulan Maulid, bertujuan memperingati kelahiran Nabi Muhammad SAW.
Upacara Siraman Pusaka dan Labuhan diadakan pada bulan Suro -bulan pertama dalam penanggalan Jawa-. Untuk menyambut dan merayakan bulan tersebut, keraton Yogyakarta memiliki tradisi khas yaitu upacara siraman pusaka dan labuhan. Upacara ini bertujuan untuk membersihkan dan merawat pusaka kerajaan yang dimiliki. Upacara ini dilakukan secara tertutup, hanya diikuti oleh keluarga dalam kerajaan. Sedangkan Labuhan adalah upacara sedekah yang dilakukan di dua tempat yaitu Pantai Parang Kusumo dan Lereng Gunung Merapi. Benda-benda milik Sultan seperti kain batik (nyamping) dan pakaian (rasukan) dihanyutkan. Kedua benda tersebut kemudian diperebutkan oleh masyarakat.
Upacara Garebeg diadakan setiap tiga kali dalam satu tahun penanggalan Jawa. Upacara Garebeg dilakankan pada tanggal 12 bulan Mulud (bulan ke tiga), tanggal satu bulan Sawal (bulan ke 10), dan tanggal sepuluh bulan besar (bulan ke 12). Pada hari-hari tersebut sultan berbagi sedekahnya kepada rakyat. Hal ini dilakukan sebagai wujud rasa syukur kepada Tuhan atas kemakmuran kerajaan.
Sedangkan Upacara Tumplak Wajik adalah acara pembuatan wajik. Wajik adalah makanan khas (kue tradusional) yang terbuat dari beras ketan dengan gula kelapa.Upacara ini untuk mengawali pembuatan pareden dalam upacara Garebeg, dua hari sebelum upacara Garebeg. Upacara ini dihadiri oleh pembesar Keraton. Musik-musik khas budaya Jogja biasa dimainkan dalam upacara ini, seperti musik lesung-alu (alat penumbuk padi), kentongan, dan alat musik kayu lainnya.
Di Keraton Solo (Surakarta) pengunjung dan masyarakat bisa menyaksikan secara langsung upacara adat tradisi keraton bernama Prosesi Budaya Keraton ‘Tinggalan Dalem Jumenengan’ ke-13 Pakubuwono XIII. Upacara adat keraton Solo merupakan agenda tahunan bertujuan untuk memperingati hari ulang tahun kenaikan tahta raja. Upacara berbentuk ritual sakral dibuka dengan kirab pasukan keraton yang diiringi gending Gamelan Jawa. Acara berlanjut ke Tarian Bedoyo yang dibawakan sembilan penari wanita dan diiringi Gamelan Laras Pelog. Pelaksanaan prosesi Tingalan Dalem Jumenengan diadakan setiap tahun, yakni pada setiap tanggal 2 di bulan Ruwah dalam peanggalan Jawa.
Di keraton Solo juga ada upacara Sekaten. Sama dengan di Keraton Jogyakarta, upacara ini dilaksakan pada bulan Mulud kalender Jawa,setiap tanggal 5 Rabiul Awal sampai dengan 12 Rabiul Awal. Upacara Sekaten bertujuan untuk memperingati kelahiran Nabi Muhammad saw. Prosesi Sekaten Keraton Solo diawali dengan keluarnya dua gamelan milik Keraton Surakarta. Dua gamelan itu ialah gamelan Kyai Guntur Madu dan gamelan Kyai Guntur Sari. Kedua gamelan tersebut dibawa menuju Masjid Agung Surakarta dengan rute Kori Kamandungan-jalan Sapit Urang Barat – menuju Masjid Agung Surakarta. Pembukaan sekaten ditandai dengan upacara ungeling gangsa atau tabuhan gamelan. Gamelan Kyai Guntur Madu akan dimainkan terlebih dahulu kemudian baru gamelan Kyai Guntur Sari. Para niyaga gamelan akan menabuh gamelan sepanjang siang hari, dan hanya beristirahat pada waktu solat Dzuhur dan Ashar.
Pada puncak Sekaten diadakan Grebeg Maulud Nabi atau kirab gunungan dari Keraton Solo. Ada dua gunungan pada Grebeg Maulud di keraton, yaitu gunungan jaler (laki-laki) dan gunungan estri (perempuan). Masyarakat rela berdesakan berebut untuk mendapatkan isi gunungan, sebab mereka mempercayai bahwa gunungan tersebut bisa membawa berkah dari Tuhan.
Di keraton Solo juga terdapat tradisi Malem Selikuran. Dilaksanakan setiap tahun di bulan Ramadhan pada malam ke-21. Keraton Solo mengarak 1000 tumpeng yang diiringi dengan lampu ting atau pelita dari keraton menuju Masjid Agung Surakarta. Sampai di Masjid Agung, acara dilakukan dengan doa bersama dan membagikan tumpeng pada masyarakat yang menyaksikan. Lampu ting merupakan simbol obor yang dibawa para sahabat saat menjemput Rasullullah SAW setelah menerima wahyu di Jabal Nur. Malam Selikuran dikembangkan Sultan Agung, namun dalam perjalanannya tradisi ini mengalami pasang surut. Pada masa pemerintahan Pakubuwana IX, Malam Selikuran dihidupkan kembali dan mencapai puncak pada masa Pakubuwana X.
Keraton Cirebon juga tetap melestarikan adat dan tradisi keraton. Adat dan tradisi keraton Cirebon diantaranya tradisi Caos. Sebuah rangkaian dari Peringatan Maulid Nabi dan menjelang malam pelal atau panjang jimat. Masyarakat pelosok desa Cirebon datang dan berkunjung sekaligus bersilaturahmi dengan Sultan Sepuh keraton Cirebon. Mereka datang dengan membawa hasil bumi sebagai bentuk bakti kepada keraton. Ini yang disebut dengan Tradisi Caos. Tradisi caos tidak hanya pada bulan Mulud saja. Bulan lainnya juga banyak yang berkunjung dan bersilaturahmi, namun tidak sebanyak di bulan Maulid. Masyarakat datang ada yang ingin didoakan untuk keberkahan, kesuksesan bertani, berdagang dan bekerja
Selain itu di keraton Cirebon juga ada tradisi Prosesi Panjang Jimat. Adat ini masih dalam rangkaian peringatan maulid Nabi Muhammad saw. Ribuan masyarakat dari pelosok desa mendatangi empat keraton di Cirebon untuk menyaksikan tradisi unik memperingati maulid Nabi Muhammad SAW yang digelar di Keraton Kaprabonan, Kanoman, Kacirebonan dan Keraton Kasepuhan yang oleh masyarakat setempat disebut Panjang Jimat. Merupakan alkulturasi budaya Jawa & Islam, termasuk jejak para wali saat berdakwah syi’ar agama Islam melalui budaya. Panjang Jimat mempunyai makna sangat dalam dan sarat nilai-nilai Islam. Merupakan bagian dari tuntunan hidup manusia agar terus mengingat Sang Maha Kuasa. Hendaknya manusia sepanjang hidupnya jangan sampai melupakan dua kalimat syahadat sebagai pegangan selama hidup.
Jika ada anak raja akan menikah maka Keraton Jogyakarta, Keraton Solo dan Keraton Cirebon sering melaksanakan upacara perkawinan menggunakan adat keraton. Seluruh proses acara pernikahan dapat disaksikan langsung oleh masyarakat. Raja mengundang para tamu untuk hadir menyaksikan dan memeriahkan acara pesta perkawinan bertempat di dalam keraton. Acara perkawinan anak raja mendapatkan antusias dari masyarakat setempat dan masyarakat luas. Pernikahan anak raja adat keraton sering kali diliput dan disiarkan secara langsung oleh stasiun televisi nasional.
Hal di atas merupakan uraian dan bukti bahwa keraton Jogyakarta, Solo dan Cirebon masih melestarikan serta memelihara adat dan tradisi keraton. Sampai detik ini tradisi dan adat tetap dilaksanakan oleh pihak keraton dengan berdasar pada waktu pelaksaanannya. Para sultan bertekad memelihara dan melestarikan adat dan tradisi keraton di tengah derap modernisasi dan globalaisasi. Modernisasi dan globalisasi tidak menggerus dan tidak meniadakan adat dan tradisi keraton disebabkan para sultan bertekad menjaga dan melestarikannya.
Bagaimana dengan kearaton Sumenep? Jika kita berkunjung dan masuk ke keraton Sumenep maka akan terasa seolah-olah mendatangi sebuah museum. Kita hanya melihat gedung, ruangan, perabotan dan berbagai benda peninggalan raja atau sultan . Di keraton Sumenep tidak ada kegiatan dalam usaha merawat dan melestarikan adat dan tradisi keraton Sumenep. Padahal, sangat banyak adat dan tradisi Keraton Sumenep yang lestari pada masanya. Saat ini, adat dan tradisi keraton Sumenep punah seolah-olah dihapus waktu, dan hilang seperti ditelan bumi.
Pada era milenial kita hanya mengetahui adat dan tradisi keraton Sumenep berupa Kirab Pusaka Keraton dan Jamasan (pencucian) Pusaka keraton. Dua upacara ritual ini dilakukan pada bulan Suro dalam kalender Jawa. Pusaka keraton Sumenep berupa keris dikeluarkan dari keraton dibawa ke Desa Aeng Tong-tong Saronggi untuk dibersihkan dengan ritual tertentu. Setelah dibersihkan pusaka diantar kembali menuju keraton Sumenep. Pusaka itu dikirab sebelum masuk ke dalam keraton melewati pintu gerbang labang mesem.
Saat ini kita hanya mengenal dua adat tradisi keraton tersebut di atas. Kita yakin bahwa adat dan tradisi keraton Sumenep tidak hanya itu, bahkan sangat banyak. Kita perlu menggali dan mengkaji adat dan tradisi keraton Sumenep lainnya yang telah hilang dan punah. Hal ini dilakukan dengan mengkaji buku – buku tentang keraton Sumenep pada masa lalu. Juga perlu untuk menggali informasi dari budayawan dan sejarawan yang konsen pada kajian budaya dan sejarah keraton Sumenep.
Setelah Kolonial Belanda berhasil menundukkan kerajaan di Madura, maka seluruh kerajaaan di Madura berada dibawah kekuasaan Belanda. Sistem pemerintahan disusun dan dijalankan mengikuti sistem yang ditetapakan kolonial Belanda. Pada tahun 1858 Belanda menutup dan mengganti kerajaan Pamekasan menjadi sistem kabupaten. Setelah suskes melakukan penataan ulang kerajaan Pamekasan, Belanda mulai meluaskan penguasaannya atas kerajaan Sumenep.
Ketika Panembahan Noto Kusumo mulai menderita sakit dan wafat pada 29 Mei 1879, Belanda mengambil alih sepenuhnya kerajaan Sumenep. Untuk menghindari terjadinya gejolak dan perselisihan, Belanda menunjuk anak Panembahan Noto Kusumo, Pangeran Ario mangku Adiningrat sebagai Bupati Sumenep pada tahun 1881. Belanda secara resmi mencabut dan merubah status kerajaan Sumenep menjadi kabupaten yang dipimpin oleh seorang bupati pada 18 Oktober 1883 (Kuntowijoyo, Madura 1850-1940. Dari Liputan 6: Runtuhnya Kerajaan di Madura). Bupati yang meminpin kabupaten Sumenep diangkat dan ditetapkan oleh pemerintah kolonial Belanda.
Setelah itu tidak ada lagi raja di Sumenep. Keraton yang dulu ditempati oleh raja beserta keluarga untuk menjalankan pemerintahan, kini hanya menjadi bangunan peninggalan sejarah. Seiring itu pula adat dan tradisi keraton tidak ada yang melanjutkan pelaksanaanya. Adat dan tradisi keraton berangsur-angsur musnah dan punah. Keraton Sumenep menjadi bangunan yang merana, tidak ada yang menempati dan tidak ada aktifitas pemerintahan hubungan raja dengan rakyatnya. Hingga kini keraton Sumenep seolah menjadi bangunan museum peninggalan dari sejarah kejayaan raja Sumenep.
Sangat perlu untuk menghidupkan kembali adat dan tradisi keraton Sumenep pada saat ini. Sebagai bentuk kecintaan dan rasa kebanggaan terhadap kebudayaan sendiri dengan cara merawat dan melestarikan. Para pendahulu telah menghasilkan maha karya berupa peradaban bangunan keraton yang megah dan berbagai aktivitas berupa adat dan tradisi yang ada di dalamnya. Kita sebagai generasi muda pelanjut kebudayaan bertanggung jawab dan memiliki kepedulian untuk merawat juga melestarikan kebudayaan itu. Pintu masuk untuk bisa menghidupkan kembali adat dan tradisi keraton Sumenep adalah dengan menghidupkan kembali Keraton Sumenep. Keraton Sumenep dengan keberadaan seorang raja atau sultan pada masa kekinian dengan terlebih dahulu membangun atau membentuk Dewan Adat Keraton Sumenep.
Raja atau sultan di keraton Sumenep kekinian adalah peminpin kebudayaan. Ia tidak memiliki kekuasaan politik, ia tuduk pada produk undang-undang atau peraturan layaknya sistem monarki konstitusional. Raja atau sultan itu hanya sebagai simbol kebanggaan masyarakat Sumenep dan pelestari adat serta tradisi keraton Sumenep. Ia diangkat dan dilantik oleh bupati Sumenep. Tugas utamanya melestarikan adat dan tradisi menjadi peminpin setiap pelaksanaan upacara adat dan tradisi keraton Sumenep. Dengan demikian, adat dan tradisi keraton Sumenep lestari, terjaga dan terawat dengan baik hingga hilang tumbuh dari pergantian generasi dan jaman.
Dengan adanya Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan, anggota masyarakat memiliki kesempatan laus untuk turut serta memajukan kebudayaan dearah asalnya. Pemerintah telah membuka ruang pelibatan masyarakat dalam organisasi, kelompok ataupun komunitas untuk berperan dalam pemajuan kebudayaan daerah. Seharusnya kesempatan ini dimanfaatkan oleh seluruh masyarakat untuk terlibat aktif dalam kemajuan kebudayaan daerahnya. Tak terkecuali masyarakat Sumenep yang memiliki sejarah kebudaayan maju dengan peninggalan keraton dan sistem kerajaannya.
Yang dibutuhkan dan harus dilakukan oleh masyarakat Sumenep saat ini adalah membentuk Dewan Adat Keraton Sumenep. Dewan Adat Keraton Sumenep beranggotakan seluruh anak keturunan raja atau sultan Sumenep. Setelah itu, Dewan Adat Keraton Sumenep memilih atau menunjuk satu orang untuk diangkat sebagai raja atau sultan. Pengangkatan raja atau sultan berdasar kualifikasi tertentu seperti moral, usia, pengetahuan dan komitmen untuk mengabdi memajukan keraton Sumenep. Seluruh keturunan raja Sumenep bersatu dalam satu ikatan besar kekelurgaan bernama Dewan Adat Keraton Sumenep. Mereka tidak boleh terpecah dalam kelompok kecil yang selalu bersinggungan dan berselisih yang pada akhirnya merusak dan menghancurkan kewibawaan sebagai anak keturunan raja.
Keberadaan Dewan Adat kabupaten Sumenep sangat penting dalam usaha menghidupkan kembali keraton Sumenep. Dewan Adat Keraton Sumenep menjadi legal standing dalam pengajuan program pemajuan kebudayaan dalam bentuk menghidupkan kembali keraton Sumenep untuk mendapatkan pengakuan dari pemerintah. Selain itu Dewan Adat Sumenep akan menjadi media islah atau reunifikasi keluarga keturunan raja Sumenep yang selama ini terpecah dalam kelompok kecil. Dewan Adat Keraton Sumenep menjadi rumah besar berkumpulnya seluruh keturunan raja dalam menampung aspirasi kebudayaan keraton. Juga berfungsi sebagai media silaturrahim anak keturunan raja dalam membina persatuan dan kesatuan, kekeluargaan, persaudaraan, kebersamaan dan gotong royong sebagai modal besar dalam melaksanakan pembangunan.
Diperlukan komitmen yang kuat dari seluruh keturunan raja dalam usaha menghidupkan kembali keraton Sumenep. Untuk tujuan ini, perlu dibuat landasan kuat produk perundangan berupa Peraturan Daerah (perda) dan Peraturan Bupati (perbub) dengan dimotori oleh Pemerintah Daerah Sumenep dan DPRD Sumenep. Pemerintah daerah dan DPRD memprakarsai dengan terlebih dahulu melakukan kajian akademik berkolaborasi dengan budayawan sumenep serta akademisi. Kajian akademik ini sangat diperlukan untuk memperoleh pandangan utuh terkait untung rugi, manfaat dan dampaknya kepada masyarakat, wilayah dan Pemerintah Kabupaten Sumenep. Juga untuk menyusun langkah-langkah atau tindakan yang akan dilakukan mulai dari persiapan, pelaksanaan hingga evaluasi. Hasil dari kajian akademik menjadi masukan dalam penyusunan perda dan perbub tentang pembentukan Dewan Adat Keraton Sumenep dan usaha menghidupkan kembali keraton Sumenep.
Dalam Perda maupun Perbub harus tercantum dan dinyatakan secara jelas tentang aturan keseluruhan terkait raja atau sultan Sumenep kekinian. Seseorang yang berhak menjadi raja atau sultan, lama jabatan, kewajiban yang harus dilakukan, serta hak yang diperoleh selama menjabat sebagai raja atau sultan. Harus disebutkan pula bahwa raja atau sultan beserta istri dan anak-anaknya harus tinggal dan menempati Keraton Sumenep. Seluruh kebutuhan hidup raja atau sultan dan keluarganya disediakan oleh pemerintah daerah, termasuk juga mendapat fasilitas dan tunjangan dari Pemerintah Daerah Sumenep. Sebagai masukan, raja atau sultan Sumenep dijabat oleh keturunan raja secara bergantian atau bergiliran dan berurutan, hal ini mirip dengan sistem kerajaan di negara Malaysia. Masa jabatan raja atau sultan selama dua tahun, setelah itu diganti oleh keturuan raja lainnya dalam Dewan Adat Keraton Sumenep. Selanjutnya terus seperti itu bergiliran dan bergantian.
Last but not least, komitmen yang kuat dari Dewan Adat Keraton Sumenep untuk memajukan kebudayaan dengan program menghidupkan kembali keraton Sumenep harus ditulis dalam bentuk piagam permufakatan Dewan Adat Keraton Sumenep. Dalam piagam tersebut dinyatakan bahwa seluruh anak keturunan raja atau sultan Sumenep bertekad memajukan kebudayaan melalui program menghidupkan kembali Keraton Sumenep dengan semangat persatuan, kekeluargaan, persaudaraan, kebersamaan dan gotong royong di bawah naungan lembaga Dewan Adat Keraton Sumenep. Piagam ini sebagai pengingat sekaligus penguat seluruh keturunan raja sehingga tidak tetap berada pada tujuan semula, tidak mudah melenceng, serta bisa menyelesaikan setiap konflik dengan cara damai dan elegan.
Langkah ini sebagai terobosan dalam melestarikan dan merawat adat dan tradisi keraton Sumenep yang telah banyak punah dan musnah dengan reaktualisasi pada masa kekinian. Selain itu bisa mewarnai keraton Sumenep dengan berbagai aktivitas sehingga keraton terlihat hidup dan bergairah dengan adanya semangat raja atau sultan di dalamnya. Serta mampu menaikkan jumlah pengunjung ke Keraton Sumenep baik domestik atau manca negara. Kenaikan Jumlah pengunjung berakibat positif pada kenaikan PAD Sumenep yang bisa dimanfaatkan untuk membiayai pembangunan wilayah dan mendukung program peningkatan kesejahteraan masyarakat Sumenep. Selanjutnya, Keraton Sumenep akan menjadi identitas utuh dan kokoh dari masyarakat Sumenep dengan adat dan tradisi keratonnya. Juga menjadi media edukasi bagi generasi muda dalam mempelajari adat dan tradisi keraton, arsitektur, teknologi, filosofi. Serta menjadi warisan nilai dalam usaha penyelesaian konflik secara damai dan tenang dalam semangat persatuan, persaudaraan, kekeluargaan dan gotong royong sebagai masyarakat beradab dan berbudaya.
(*)
*Penulis adalah pegiat riset, guru di SMAN 1 Sumenep