Opini  

Virus Corona dalam Matematika Kekuasaan

Penulis, Ayatullah Humaini

Oleh : Ayatullah Khomaini

maduraindepth.com – Yang tersisa dari parutan dan perasan kelapa adalah ampasnya. Tetapi ampaspun masih berguna bila diolah secara kreatif oleh orang kampung, misalnya dibikin campuran makanan khas daerah masing-masing. Itu ampas parutan kelapa.

Lain halnya dengan ampas mulut penguasa, mau diolah se-kreatif apapun, atau mau diperas sedemikian rupa, yang tersisa hanya lendirnya. Lendir itu tak berguna. Toh kendati dipaksa untuk didistribusikan sekalipun, paling-paling yang terbagi hanya bau busuknya, menyengat dan bahkan bisa mematikan bagi manusia.

Frame di atas saya gunakan untuk menggambarkan sinopsis dari keadaan sekarang. Karena bunyi mulut negara hampir berantakan semua. Kalimat negara sedang tidak beraturan, satu mentri dengan mentri lainnya seolah tidak terkordinasi untuk menstruktur percakapan publik. Percakapan negara yang tak karuan ini berakibat pada perdebatan tentang benar atau salah terkait isu yang berkembang di jalanan. Saya menganggap bahwa ini bukan soal benar atau salah, tetapi busa kalimat mereka telah masuk dalam kategori sesat sekaligus menyesatkan. Coba bayangkan, ini adalah negara, tapi kok cara kerjanya bisa dagelan begini. Akhirnya negara kehilangan trust, kehilangan ‘virtue’, kehilangan determinasi pemimpin; mungkin karena Soekarno, Hatta, Syahrir dkk telah pergi. Tetapi mental bapak bangsa ini tak terwarisi oleh pemimpin-pemimpin sekarang. Pemimpin sekarang ucapannya ngelantur semua.

Sekarang terus terang saja saya tidak percaya kepada Luhut, tidak percaya kepada Terawan, tidak percaya kepada Mahfud, dan tidak percaya kepada Mentri-mentri yang lain. Saya tidak percaya bukan tanpa sebab, sebabnya adalah komunikasi-komunikasi negara tidak pernah teratur, sering berubah-rubah, dan nyaris menampakkan sikap plin-plan. Karena bertumpu pada sikap plin-plannya negara, akhirnya rakyat memilih jalannya sendiri-sendiri.

Baca juga:  Dewan Adat Keraton Sumenep

Di tengah pandemi Corona, rakyat Indonesia sedang bertaruh segalanya: mulai dari berpisah dengan sang kekasih karena harus pulang ke kampung halamannya masing-masing, ini terkhusus Mahasiswa di kota-kota; ada yang bertaruh bisnis karena himbauan phisyical-distance; bertaruh keakraban antar teman karena khawatir satu teman dan teman yang lain suspect corona; sampai pada oktaf bertaruh nyawa sekalipun. Corona betul-betul jadi monster yang menakutkan. Inilah sebabnya orang-orang seolah kehilangan pegangan. Kita tidak tahu mesti berharap kepada siapa, meminta perlindungan kepada siapa, dan meminta pertolongan kepada siapa. Pada titik inilah negara sedang absen. Saya sebut saja absen secara literlek, karena sejak awal gelagat negara sudah memperlihatkan ketakseriusannya menghadapi Virus Corona ini, bahkan sebelum diumumkan oleh WHO sebagai pandemi. Negara menganggap enteng virus yang mematikan ini. Akibatnya sekarang, ratusan orang meninggal, dan saya baca di media hampir ÷ 2000 orang positif Corona. Mengerikan sekali.

Sampai pada detik ini, negara masih mengalami gangguan kepanikan bercampur kebingungan. Panik dan bingung pertanda bahwa negara sedang kehilangan kitab sucinya. Negara pergi mencari referensi pada halaman Orde Lama, yaitu pemberlakuan Darurat Sipil, Perppu Nomer 23 Tahun 1959 tentang Keadaan Bahaya. Jelas peraturan ini tidak tepat sasaran bila diberlakukan pada kondisi hari ini. Keadaan sekarang bukan sedang Darurat Sipil, tetapi Darurat Kesehatan. Kalau darurat kesehat lebih tepatnya menggunakan UU Nomer 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan, yang adalah produk asli di zaman paduka yang mulia Presiden Joko Widodo sendiri.

Tentu semua orang bertanya-tanya: kenapa produknya sendiri justru tidak mau dipakai? Tentu juga semua orang sudah terbayang jawabannya. Yaitu bahwa UU Kekarantinaan ini memberikan kewajiban kepada negara untuk memenuhi segala kebutuhan pokok dari rakyatnya itu sendiri. Dan tanggungjawab ini tidak mau diambil oleh negara. Lalu ini negara macam apa kalau begini cara kerjanya?

Baca juga:  Meneropong Kuasa dan Pengaruh Media Sosial, dalam Kehidupan Demokrasi

Saya mendeteksi ada beberapa pertimbangan kenapa Darurat Sipil ini mau digunakan dan tidak mau menggunakan UU Kekarantinaan Kesehatan. Di satu sisi, negara ingin lari dari tanggungjawab untuk menanggung segala beban kebutuhan rakyat di masa-masa pandemi ini. Tetapi di sisi lain, penguasa ingin mengamankan kekuasaannya karena khawatir ada sebagian orang yang menggunakan kesempatan ini untuk merampas kekuasaan secara legal maupun ilegal. Mereka ini lupa bahwa kekuasaan itu absurd, tidak absolut, bahkan di tengah jalan bisa runtuh dengan sendirinya.

Dulu di iran, ada penguasa namanya Raja Reza Pahlevi, seorang raja yang memahkotai dirinya sendiri dan istrinya, Farah Diba. Dengan segala kesombongannya, ia gelari dirinya sendiri ‘Syahinsyah Aryamehr’ (Rajadiraja). Dunia barat memuja dan memujinya, dan ia disebut-sebut sebagai ‘the darling of the West.” Tetapi siapa sangka bahwa ia jatuh oleh ‘kiai’ sederhana, Ayatullah Khomeini, dan terusir dari negrinya sendiri? Kekuasaan yang gemerlap tak sedikitpun menolongnya sampai ajal menjemputnya, “Jika Rakyat Berkuasa”. Jadi benar kata Gus Dur, “Tidak ada jabatan di dunia ini yang perlu dipertahankan mati-matian.”

Hari ini saya melihat bahwa mereka ingin mengamankan ‘status-qou’ dan kekuasaanya. Terlihat bahwa setiap hari para penguasa menggunakan istilah-istilah yang rumit dan sulit untuk dipahami. Di dalam Ilmu Komunikasi, ada teori namanya Politik Bahasa. Artinya, bahasa dijadikan senjata untuk merebut, merampas dan mempertahankan kekuasaan. Mari berhentilah bermain politik bahasa, supaya bahasa pemerintah sedikit menjadi pelipur lara. Corona tak mungkin mengenal bahasa kalian, paling-paling Corona sekedar tertawa lepas dan angkat topi mendengar cuitan Faisal Basri, bahwa Virus Corona lebih berbahaya dari Luhut Panjaitan, eh maksudnya, Luht Panjaitan lebih berbahaya dari Virus Corona.

Baca juga:  Esensi Asketisisme Beragama

Hari ini pula, akibat banyak yang menyerang pemerintah, banyak orang akhirnya terancam masuk buih. Kabarnya Said Didu yang sangat vokal mengkritisi pemerintah sedang dilaporkan ke Polisi. Negara sedang mengarah ke dalam sikap otoriter. Padahal setelah 32 tahun kita hidup dalam sistem otoriter, kita bersepakat memilih demokrasi sebagai sistem. Di dalam demokrasi, kita semua dituntut untuk hidup dalam keadaan free and fair. Poin utama dalam demokrasi adalah kebebasan. Pada poin ini jugalah negara harus berhenti mengontrol pikiran orang, negara harus berhenti mendikte orang untuk memuji-muji kekuasaan, dan negara harus berhenti bersikap difensif untuk diserang.

Kita sudah sampai pada zaman kebebasan, dimana setiap individu punya hak berpendapat dan tidak boleh dihalang-halangi pendapatnya. Pasal 28e ayat (3) UUD 1945 menyatakan, “setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat.” Baik berpendapat secara lisan maupun tulisan. Artinya, negara harus terbuka untuk dikritik ulang, pejabat-pun apalagi. Karena jabatan itu yang sedang melekat pada seseorang bisa datang dan pergi, sementara yang mutlak dan permanen adalah status rakyat, ia takkan pernah pergi, bahkan sekalipun diserang oleh Corona bertubi-tubi.

Sepeti istilah Muhidin M. Dahlan, ‘Tulisan (sampah) ini segera berakhir’. Tentu saja kita sedang menunggu keajaiban baru untuk segera mengatasi masalah hari-hari. Tetapi kata temen saya, “menunggu itu tidak menyebalkan, tapi sangat menyebalkan”. Sebal atau tidaknya, di situlah kita diuji.

(Poloh Giliraje, Ujung Timur Pulau Madura)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

banner auto