Ulama Madura Tolak Omnibus Law, Ini Pernyataan BASSRA

maduraindepth.com – Ulama di Pulau Garam yang tergabung dalam Badan Silaturahmi Ulama Pesantren Madura (BASSRA) mengeluarkan penyataan penolakan UU Omnibus Law Cipta Kerja. Pernyataan itu disampaikan kepada publik setelah melakukan beberapa kajian.

Ada tiga aspek yang dikaji oleh ulama yang tergabung dalam BASSRA tersebut. Yakni aspek formal, materi dan sosial. Kajian dilakukan mencermati dinamika politik dan hukum pasca disahkan RUU Omnibus Law Cipta Kerja menjadi UU.

banner 728x90

Bertempat di Pondok Pesantren (Ponpes) Assirojiyyah, Kampung Kajuk, Kelurahan Rongtengah, Sampang, KH. Rahbini didampingi oleh sejumlah ulama membacakan pernyataan sikap. Secara resmi, pada hari ini, Rabu 13 Oktober 2020 BASSRA menolak UU Omnibus Law Cipta Kerja di-undangkan dalam lembaga negara.

KH Rahbini menjelaskan, alasan penolakan para ulama Madura itu berdasarkan tiga aspek yang sudah ditelaah secara mendalam dan komprehensif.

[td_block_video_youtube playlist_title=”” playlist_yt=”rVfBnoyGl68″ playlist_auto_play=”0″]

Tiga Alasan Penolakan Omnibus Law

Bassra
Para ulama di Madura yang tergabung dalam BASSRA. (Foto: RIF/MI)
  1. Aspek Formal Prosedur

KH. Rahbini menjelaskan dari aspek formal prosedur, pembentukan UU Omnibus Law Cipta Kerja telah mengabaikan aspirasi-aspirasi yang berkembang di masyarakat. Karena pemerintah dan DPR RI dalam proses penyusunan maupun pembahasannya kurang terbuka kepada publik.

Bahkan, lanjut dia, terkesan terburu-buru untuk mengesahkan. Padahal sedari awal sudah nyata ada penolakan secara massif dari publik.

Dia menambahkan, pengesahan UU Cipta Kerja juga cacat prosedur. Pasalnya pada 5 Oktober belum ada draft final yang disepakati. Tapi pada tanggal yang sama, DPR RI sudah terburu-buru mengesahkannya.

Baca juga:  Ribuan Pemuda di Pamekasan Demo DPRD Tolak Omnibus Law

Hal itu terbukti. Seperti pernyataan yang dilontarkan oleh pimpinan Baleg DPR RI di beberapa media. Dia menyatakan bahwa draft final masih dalam tahap dikoreski atau finalisasi.

2. Aspek Substansi Materi

Ditelaah dari aspek substansi atau materi, isi dalam UU Omnibus Law itu lebih banyak mudlarat atau bahayanya dibandingkan mashlahat atau kebaikannya. Dikutip dari rilis BASSRA, ketentuan Pasal 65 UU Omnibus Law Cipta Kerja berpotensi akan terjadi komersialisasi pendidikan, sehingga akan berdampak pada pendidikan pesantren.

Dinilai, pasal tersebut juga akan berpotensi terjadinya ketidakadilan dan tidak meratanya pendidikan kepada seluruh lapisan masyarakat.

Semangat untuk memudahkan pembukaan usaha baru agar dapat membuka lapang pekerjaan baru memang harus diapresiasi. Tapi juga harus diikuti dengan semangat yang sama untuk melindungi hak-hak buruh atau tenaga kerja.

3. Aspek Sosial

Dijelaskan, dari aspek sosial pasca UU Omnibus Law disetujui bersama oleh pemerintah dan DPR RI pada 5 Oktober lalu menimbulkan gelombang protes yang massif di kalangan masyarakat. Baik Ormas, perguruan tinggi, mahasiswa, pemuda, buruh dan tenaga kerja.

“Bahkan tidak sedikit telah terjadi aksi anarkis dari kelompok massa tertentu dan tindakan represif dari aparat,” ujarnya.

Dari kejadian itu, lanjut KH Rahbini, seharusnya bisa dijadikan pelajaran oleh semua pihak, khususnya pemerintah dan DPR RI agar tidak tergesa-gesa dalam mengambil kebijakan. Pemerintah dan DPR RI juga harus mendengarkan aspirasi yang disampaikan.

Baca juga:  Moment Ramadhan, Komunitas L300 Lovers Sumenep Berbagi Takjil dan Santunan Anak Yatim

Melaksanakan demonstrasi dan menyampaikan pendapat di muka umum, sambung dia, adalah hak asasi yang dijamin oleh konstitusi. Sebab itu, pemerintah harus menyikapinya secara wajar, profesional dan proporsional sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku.

“Demikianlah pernyataan kami para ulama Madura. Semoga mendapatkan perhatian bapak Presiden Republik Indonesia dan para pejabat terkait demi terciptanya keamanan, ketentraman dan kedamaian masyarakat,” tutupnya. (RIF/MH)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *