Kelompok Transgender dan Relawan Kebencanaan di Sampang Buka Kembali Kran Kepercayaan Publik

transgender sampang
Kelompok transgender dan relawan kebencanaan di Sampang gelar dialog advokasi dan berjejaring keberadaan transgender di Kota Bahari, Rabu (25/1). (Foto: Alimuddin/MID)

maduraindepth.com – Minimnya akses eksplorasi menjadi alasan digelarnya dialog advokasi dan berjejaring tentang peran serta keberadaan transgender di Sampang. Dialog itu dilaksanakan Yayasan Ekspresi Warna Surabaya (PERWAKOS) menggandeng Forum Pengurangan Resiko Bencana (FPRB) Sampang dan insan pers bersama stakeholder di Kota Bahari.

Wakil Ketua PERWAKOS, Sofa menyampaikan, digelarnya kegiatan advokasi dan berjejaring ini bertujuan untuk dibukanya kembali hubungan baik antara kaum minoritas dengan stakeholder yang ada. Pasalnya, selama ini hubungan antara transgender dengan lingkungan sosial terkesan ada jarak.

banner auto

“Kami ingin hubungan baik komunitas ini terus terjalin dengan Dinas Kesehatan melalui program layanan kesehatannya, serta dukungan relawan kebencanaan dan insan pers agar tetap bersinergi,” ungkapnya, Rabu (25/1).

Ditanya soal stigma negatif masyarakat soal virus HIV yang selalu disandingkan dengan kaum transgender, Sofa menyebut jika anggapan itu tidak benar. Menurut dia, pengobatan bagi penderita HIV sama dengan penyakit diabetes dan hipertensi.

“Tidak ada apa-apa, jadi sama dengan yang lain. Misalnya karena dia positif HIV maka harus minum obat penyembuh seumur hidup. Jadi, apa bedanya dengan penyakit diabetes dan hipertensi,” tuturnya.

Hanya saja, lanjut dia, hingga kini stigma sosial bahwa komunitas transgender dianggap paling rentan terjadi penularan HIV. Padahal, berdasarkan data nasional maupun provinsi, penularan HIV pada kelompok transgender masih berada di urutan bawah.

Baca juga:  750 Tahun Berdiri, Rakyat Belum Jadi Perhatian Utama Pemerintah

“Kita bisa cek di data kemenkes RI, apakah kelompok transgender paling banyak terpapar atau tidak?” tegasnya.

Sementara, Ketua FPRB Sampang, Moh. Hasan Jailani menganggap, kelompok transgender juga memiliki hak bersosial, sama seperti orang lain pada umumnya. Dia khawatir, selama ini terjadi diskomunikasi antara transgender dengan masyarakat. Sehingga menimbulkan stigma negatif.

“Ke depan kita akan lakukan diskusi santai bersama stakeholder yang ada, karena tak sedikit di dalam tubuh para transgender ada nilai positif yang harus kita hormati bersama,” terangnya.

Terkadang, kata lelaki yang akrab disapa Tretan Mamak itu, banyak masyarakat cenderung melihatnya secara sepihak. Padahal kelompok transgender tidak semuanya membawa nilai negatif.

“Belum apa-apa sudah menjustifikasi kalau mereka tidak baik, mungkin sebelumnya tidak ada komunikasi, justru itu kami akan ajak Dinsos dan Dinkes untuk bicara soal transgender,” imbuhnya.

Dia menyebut, sebagai bahan kajian ke depan, FPRB akan melakukan langkah strategis bersama kelompok transgender. “Kita harus melihat pada kacamata yang berbeda, jangan-jangan kita yang selalu anggap mereka lemah ternyata kita yang seperti itu,” pungkasnya. (Alim/*)

Dapatkan Informasi Menarik Lainnya Di Sini

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

banner auto